Minggu, 17 Mei 2009

Mesjid Agung Cirebon

“Kita shalat disini aja”, sambil berjalan ke musolah keraton ketika azan berkumandang namun sang pemandu keraton menyarankan untuk shalat di Mesjid Agung yang dibangun oleh Sunan Gunung Jati, “Itu sudah kelihatan” sembari menunjuk ke mesjid yang berjarak tak sampai 200 meter, disebelah kiri keraton.

Terbit liurku melihat es kelapa muda yang dijual di tepi jalan, untung teringat bahwa perutku belum mengenal virus dan bakteri Cirebon, bukan yang pertama, tadi pagi di Pasar Pagi aku nyaris tergoda oleh si minuman favoritku.

Menurut hikayat di pelataran mesjid Syek Siti Djenar tewas dieksekusi dengan menggunakan mata keris Sunan Gunung Djati. Menurut hikayat pula Sunan Gunung Djati yang menentukan arah kiblat di jaman belum adanya kompas dan konon mesjid ini yang arah kiblatnya paling tepat diseantero mesjid di pulau Jawa.

Tempat wudhu para wali dan santri kami lewati ketika memasuki bangunan mesjid pertama di Cirebon, harus melalui pintu berukuran kecil dengan membungkuk.

Ustad Arif merangkap pemain band, kini menjadi imam wisata rohani. Musti memilih lokasi yang tepat kalau tidak bisa terantuk palang antara tiang penyanggah yang terbuat dari kayu jati. Kalau berjalan aku sesekali merunduk sementara ustad Arif bisa berjalan dengan tegak. Supaya menghormati sang imam mungkin maksudnya, atau karena sang imam tidak tinggi, aku tidak bilang kecil loh, meminjam istilah Himawan.

Tawaran pemandu wisata lokal kami tolak karena acara kami cukup padat, namun lembaran rupiah kami sisihkan kedalam baskomnya.

Ada yang mengganjal saat aku berwudhu tadi, beberapa rekanku bertanya lokasi toilet, seorang bapak di lokasi wudhu berkata, “Kalau wc disana, kalau disini khusus seni”. Buat yang asli Cirebon apa sih yang dimaksud bapak tadi “Khusus seni”.

Tidak ada komentar: