Minggu, 11 Maret 2012

Bolbar

Kalau nobar kamu tahu kan? Artinya Nonton bareng. Kalau bolbar? Nah, bolbar artinya bolos bareng. Ini cerita pengalaman kami bolos bareng yang tak terlupakan.

Apadelaers tiba di Sierra pukul 19, langsung menuju tempat yang kami pesan seminggu sebelumnya, letaknya di teras bukan di balkon walaupun cuaca malam ini cerah sekali. Kami dipilihkan di teras mungkin karena usia kami sudah separuh abad, kalau di balkon terlalu dingin dan berangin, sampai di rumah harus kerokan.


2 tahun lalu kami ke sini bersama Smandelers 81, tata interiornya kini sedikit berbeda, live music sedikit lebih lengkap, penyanyinya juga lebih cantik, mungkin mereka antusias menyambut Nursyamsi yang genit.

Steak ala Sierra menjadi pesanan yang dominan, aku katakan kepada waiter, “Mas, saya well-done ya!”.
Willem yang duduk disampingku berpesan kepada si waiter yang sama, “Mas, kalau dia well-done, kalau saya Wellem”. Apadela banget!.

WWW: Well-done, Wellem, Widjarko

Bajaj datang dengan istrinya yang membawa cem-ceman, kini cerita dan dosa lama semakin terkuak.

Bolbar dijalani setelah kami selesai menyaksikan  pertunjukan di planetarium untuk lebih memperdalam pegetahuan kami tentang Geografi, kami semua nggak kembali ke sekolah, kalau tujuannya ke rumah Zanuba di Setiabudi itu atas saran Bajaj yang lagi naksir Zanuba.

Pulang dari rumah Zanuba banyak yang nyasar soalnya pengetahuan Geografi kami cuma sebatas Bukitduri, dikasih jauhan dikit pada nyasar deh.

Willem Teddy Usmany Ibu2 dibawa komando Oom Omen14 March at 10:30 ·

Ada juga yang nggak membolos ke rumah Zanuba, Purnomo namanya, dia bolos untuk menjaga toko kecil di rumahnya. Sayangnya sebelum pulang mampir dulu ke perpustakaan dan kepergok Mak Uwok yang mengajar kelas kami hari itu, jadilah Purnomo berduaan dengan Mak uwok di kelas. Mak Uwok pasti marah besar dilecehkan seperti itu dan mengadukan hal ini kepada bapak Sachroni, wali kelas kami.

Keesokan hari kami tidak boleh istirahat pertama karena wali kelas ingin bicara. Kini pak Sachroni sudah di hadapan. Setelah membalas ucapan selamat pagi, beliau langsung memuntahkan amunisinya. Kalau kamu berpikir pak Sachroni marah kepada kami, kamu salah besar!. Beliau marah kepada Purnomo yang dikira tidak membolos. Hah ....??? Pada mangap deh ...!!!

Kami semua mati-matian menjelaskan kejadiannya, bahwa Purnomo juga membolos hanya nasib sial yang membuat dia kepergok Mak Uwok, eh kami nggak mungkin bilang Mak Uwok deng, kami bilangnya ibu Anifah.
Ketua Dewan Pembina Apadela, Bapak Sachroni, kedua dari kiri

Wali kelas sungguh bangga kepada kami, 2 IPA 8, Apadela yang kompak dan berpesan agar kami selalu tetap kompak termasuk dalam hal membolos. Pesan itu bukan berarti bolbar lagi di kemudian hari. Terima kasih pesannya pak Sachroni, yang membuat kami , Apadelaers, tetap kompak hingga kini.

Jujur aja waktu itu aku takut banget kalau pak Sachroni mencari siapa diantara kami yang harus bertanggung-jawab. Kalau yang paling gede, aku yang kena. Kalau yang paling putih, aku juga yang kena. Kalau yang paling ganteng, sialnya itu juga lagi-lagi aku yang kena.

1 comments:

Himawan said...
Men, " Bolbar " apa artinya, bahasa Indonesia nih ?

Sepandai-Pandainya Tupai Melompat


Cerita purba kala masih merebak, seru juga mendengarnya apalagi sambil menyeruput minuman coklat hangat di Ngopi Doeloe, tempat nongrongnya jiwa muda di Bandung.

Minuman yang aku pilih pas banget dengan udara Bandung yang semakin sore semakin dingin, sakin asyiknya nggak terasa mataharipun tenggelam.


Aku sudah berganti baju dengan kemeja lengan panjang berwarna hijau cilong yang baru aku beli di salah satu FO, label harganya juga baru aku copot. Sesuai dengan dress code kali ini, pakaian warna cerah, cocok banget dengan suasana hati Apadelaers yang tanpa henti tertawa, bahkan cerita sedihpun disambut dengan tawa. Dasar 2 IPA 8!.

Aku lebih suka memilih tupai yang pandai melompat dibandingkan dengan bajing untuk cerita kali ini, soalnya kalau bajing diberi akhiran –an menjadi bajingan, kalau tupai jadinya tupaian, walau aku sendiri nggak tahu artinya apa?.

Untuk memudahkan mencerna kisah ini, aku pinjam foto sekolah bikinan angkatan 85 yang aku comot tanpa izin dari grup FB. Nah, kelasku di bagian kiri foto di deretan kelas yang menghadap ke belakang. Kelasku berseberangan dengan gedung untuk laboratorium di bagian bawah dan aula di bagian atasnya. 


Aula tempat yang biasa kita pakai untuk olah raga senam dan shalat Jumat kalau hari Jumat. Itu mah nggak usah dikasih tahu, semua orang juga paham shalat Jumat yang hari Jumat!.

Sekarang giliran 2 IPA 8 mendapatkan jatah pelajaran olah raga, senam lantai di aula. Perempuan pada mengganti pakaian dimana ya? Aku lupa, abis nggak pernah ngintip sih!. Pejantan pada ganti pakaian di kelas. Semua sudah keluar kelas untuk menuju aula, kecuali tupai Apadela, Azwardi, Budi, Bajaj dan pengikutnya.
“Elo pada nggak ke aula?”, aku merasa heran mereka masih asyik ngobrol di kelas.
“Elo duluan aja, entar juga nyampenya duluan kita!”, jawab salah orang dari mereka.

Apadelaers
Aku keluar kelas, menuruni tangga, ke taman belakang, naik tangga, sampailah di aula. Busyet deh! Ternyata kunyuk-kunyuk tadi, eh tupai-tupai sudah sampai di aula. Kok bisa ya? Perasaan pak Sachroni si wali kelas nggak pernah ngajarin ilmu sihir deh!.

Selesai senam, kami berganti pakaian, aku ditahan para tupai tadi, “Men, di sini aja dulu, biarin aja mereka duluan, entar juga nyampenya duluan kita! Katanya elo pingin tahu gimana caranya biar nyampe duluan”. Setelah sepi barulah mereka beraksi, satu persatu mereka melompat dari aula ke balkon gedung. Alamak mereka lompat dari gedung ke gedung. Di zaman sekarang lompat-lompatan tadi menjadi olah raga ekstrim, Parkour namanya.
“Men, sekarang giliran elo!, ayo katanya elo laki-laki! Katanya elo anak Apadela!”.


Daripada pulang harus memakai rok dan dicoret dari Apadela, akupun melompat dan …….. nyaris jatuh, mereka malah tertawa, “Jangan gitu! Elo abis lompat langsung pegang ini. Jangan takut-takut, jatoh juga ke bawah. Lain kali elo lompatnya yang tenang !”.
“WHAAATTTT ….!!!!, LAIN KALIIIIIII …..!!!”. Sekali aja aku rasanya udah mau mampus.

Nah, pribahasa kan berbunyi sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Sekarang kamu pada berdoa deh, kalaupun ada tupai yang jatuh, paling nggak lukanya nggak parah!.

Menurut cerita mereka Iwan si ketua kelas jatuh dari lantai 2 saat nonton class meeting. Aku nggak menelan mentah-mentah cerita itu, masa sih Iwan bego banget sampai jatuh 2 kali dari lantai 2. Makanya aku konfirmasi lewat milis dan jawabannya adalah …...

Itu fitnah Men, pepatah bilang "jangan terperosok pada lubang yang sama" jadi gw ngk pernah jatuh dari lantai yang sama he he he kecuali dari motor, iye 2 kali.




Varienny eny@jsi.co.id via yahoogroups.com 
11:06 AM (11 hours ago)


Membaca tulisan bapak satu ini, senang banget, ingatan jadi ikutan ke masa SMA dulu (boleh kan ikutan baca..he..he..he..)… sampai kadang ketawa sendiri, ikutan terharu… , apalagi kalau kisah guru-guru dulu… wah…. nggak tahu deh ..rasanya jadi ikut kebawa ke masa lampau ..he..he..he..  padahal aku kan cuma ade kelas yaaa…. kalau lihat foto2nya nggak ngenalin deh teman2nya beliau ini, kecuali itu ada aku lihat foto Heppy Indrayati… nah itu boss di kantorku tuch….   
 

Bodyguard Tongtek


Setahun lebih aku mencari tahu nama kawan yang akan aku ceritakan ini, pasalnya aku nggak pernah akrab apalagi hanya sekali berkomunikasi, tadinya aku ingin sebut the Client aja, sama dengan judul novel John Grisham yang pernah aku baca dan filemnya aku tonton, maklum the Client orang pertama yang menjadi klienku sebagai bos Bodyguard Tongtek.


Belakangan aku tahu dari Hariyanto bahwa kawan yang aku maksud bernama Yuda, dan aku mendapat  penjelasan lebih rinci dari Aria dan Deden tentang klien pertama ini saat kami di Kampung Bakso berbelanja oleh-oleh Bandung, dalam rangka Temu Jidad Apadela: Kongkow Bandung.

Berdiri dakika: Bajaj, Tatiek, Nia, Rina,Syamsi, Ratih, Uun, Ady, Yeni
Duduk dakika: Aria, Deden, Budi, O, Willem
Ratih Puspawati likes this.
“Yuda? Gue inget orangnya putih-putih, rambutnya diginiin”, kata Aria sambil kedua telapak tangannya disapukan di atas kepalanya dari dahi ke arah belakang untuk menggambarkan gaya sisiran Yuda, “Gue inget!, yang kita ikut-ikutan berantem”, Aria menambahkan.

“Bukan begitu Yak, ceritanya begini”, memori di kepalaku berputar.
Kejadiannya di smester 3. Selepas shalat zuhur di mushalah sekolah yang kecil mungil aku didatangi Yuda, “Men, nanti elo pulangnya lewat Tongtek?”, aku jawab “Iya”.
“Elo nanti pulangnya rame-rame bareng temen-temen elo kan?”, aku jawab lagi, “Iya”.
“Kalo gitu gue pulangnya bareng elo ya!”, aku jawab “Boleh aja, tapi gue kan harus praktikum Biologi dulu!”.

Selesai praktikum, aku mencari Yuda bersama Aria, Deden, dan Dicky, semuanya Apadela, anak 2 IPA 8 dan merangkap lulusan 1  IPA 2, kawan perjalananku ke Tongtek, nggak ketemu. Aria yang rada nggak sabaran bilang, “Udah gue cari dimana-mana nggak ada, kita pulang aja yuk!”.

Kami pulang jalan kaki melewati gerbang utama, dulu melewati kantor dan tempat tinggal pak Oher, si penjaga sekolah. Sebelum menghilang di tikungan, Yuda berteriak, “Mennnnn, jangan tinggalin gueee!!!!!!!!!!!!”.

Sekarang kami berlima di separuh perjalanan ke Tongtek ketika lima orang lainnya berlari menuju kami sambil berteriak, “Jangan kabur lo!!!, sini lo kalau berani!!!!”. Kelima orang itu Andrew, ditemani Susilo, Saut, Richard dan Yulis, tukang pukulnya, semuanya alumni 1 IPA 2. Jadi kecuali Yuda seluruhnya lulusan 1 IPA 2, kelas yang paling berandalan di Smandel pada masa itu.

Pantesan Yuda ingin barengan, rupanya dia mau dikeroyok, sekarang posisi seimbang 5 lawan 5, aku dengan Susilo, Aria dengan Richard, Dicky berhadapan dengan Saut, dan Deden dengan Yulis, sedang di panggung utama Yuda melawan Andrew yang tengah berseteru.

Andrew membuka pertarungan dengan memukul dan menendang Yuda bertubi-tubi namun hanya satu tendangan masuk di atas pinggangnya. Yuda giliran menyerang dia mulai ancang-ancang, lantas melayangkan sebuah tendangan telak masuk ke dada lawan, Andrew terpental 3 meter meringis kesakitan.

Yulis bermain curang, membantu Andrew dengan menendang Yuda dari belakang, nggak mempan, kini giliran Yuda memainkan tangan untuk mengganggu konsentrasi Yulis, di saat yang tepat dia menendang, masuk telak di dada Yulis, lawan terpental masuk selokan kering sedalam setengah meter.

Kini giliran Saut menghampiri Yuda bukan untuk menyerang tetapi memisahkan pertarungan, “Udah!, udah! Jangan berantem!”, lalu dia dan kelompoknya membawa Andrew dan Yulis yang masih meringis kesakitan ke arah sekolah. Andrew masih menebar ancaman, “Awas lo ya, lain kali gue hajar lo semua!”, namun pertarungan babak selanjutnya nggak pernah terjadi, Alhamdulillah.

Dari 10 orang yang ada dalam cerita ini hanya 4 orang yang memperoleh ijazah dari SMA terbaik di Indonesia, Aria, Deden, Dicky, dan aku tentu saja. Yuda menghilang saat kami memasuki smester 4, mungkin karena tak tahan intimidasi kelompok Andrew. Sedangkan Andrew, Susilo, Richard, Saut, dan Yulis diminta Kepala Sekolah, Bapak Rosman Harahap, untuk pindah ke sekolah lain saat naik-naikan ke kelas 3. Yulis dan Richard dikabarkan telah tiada, Andrew, Susilo dan Saut belum pernah aku jumpai hingga kini.

Lomba mirip Ali Topan Anak Tongtek
Sayang kami tidak menerima upah walaupun hanya semangkuk bakso atas jasa kami sebagai Bodyguard Tongtek, mungkin Yuda berpikir karena kami belum menanda tangani kontrak kerja, atau dia sedang bokek.

Komentar spontan the Bodyguards 32 tahun lalu, Aria, “Kalau 1 lawan 3 kayaknya masih menang Yuda, tapi kalau nggak seimbang gue ikutan berantem, lah main keroyokan!”.
“Gue juga ikutan”, komentar Deden dan Dicky serempak.

Mereka sigap seperti Charlies Angels. Nah loh! Kalau mereka Charlies Angels, aku yang jadi Bosley dong!.