Sabtu, 22 September 2012

Nyontek Abis


Pada setiap kesempatan aku berusaha mendapatkan cerita lama yang penuh kenangan untuk aku tuliskan. Katanya yang diucapkan menghilang, yang dituliskan abadi.

Sekarang aku mau berbagi cerita yang aku dapatkan di acara Temu Jidad Apadela HBH 2012, pertemuan yang berbandrol 10 ribu rupiah. Bercanda terus lama-lama perut lapar, kawan-kawan pada bilang, “Men, kita nggak mesen makan nih?”.
“Lah, bayar 10 ribu kok pake makan!”.

Sambil menikmati sapi lada hitam aku bicara dengan Syamsi, “ Syamsi, cerita di kereta waktu kita study tour ke Jogja gue masukin blog ya?”.
“Eh, jangan! Nanti di kantor pada ribut, aku jadi ketahuan dulunya gimana?”.
Waduh, menunggu Syamsi pensiun masih lama, 5 tahun lagi.
Untunglah Syamsi penuh pengertian, dia mau membarter cerita dengan yang nggak kalah serunya, semuanya tertawa ketika mendengarnya. Kini giliran kami berbagi tawa dengan kamu.

Di angkatanku 81, ada 2 orang yang memiliki ranking tertinggi, Hasahatan dan Sugiarto. Kebetulan Syamsi berhubungan dekat dengan Sugiarto, dia punya kesempatan mencontek habis si orang pandai ini. Pernah Syamsi menginap selama seminggu di rumah Sugiarto untuk menjiplak cara belajar, cara makan, cara tidur bahkan cara mandi Sugiarto.
Willem Teddy Usmany Ngumpul terus....!!

Nggak cukup sampai di situ, kali ini mereka pulang bersama berjalan kaki dari sekolah ke rumah Sugiarto di gang Padang, aku menduga Syamsi tengah meniru cara berjalan Sugiarto.
“Jalan Padang deket dong! di Manggarai!”, aku berkomentar.
“Itu mah jalan Padang!, ini gang Padang di deket stasiun Jatinegara”,Syamsi menimpali.

Dari rumah Sugiarto perjalanan dilanjutkan sendirian ke rumahnya di Prumpung.
“Tahu nggak Prumpung di mana?”, pertanyaan Syamsi untukku.
“Gue nggak tahu”.
“Prumpung tuh di Cipinang!”, Syamsi menjelaskan.
Dari jalan raya Syamsi harus menyusuri gang sepanjang 500 meter sebelum sampai di rumahnya. Perjalanan panjang di bawah terik matahari sudah pasti membuatnya dahaga. Secara logika kita akan menuju kulkas untuk mendapatkan minuman dingin, tetapi tidak dilakukannya soalnya Syamsi nggak punya kulkas. Ternyata ada juga anak Apadela yang nggak punya kulkas.

Karena ngak punya kulkas kebiasaan di rumah Syamsi adalah air masak yang sudah dingin dipindahkan dari ceret ke dalam panci, ceret digunakan untuk memasak air lagi.

Nggak mungkin dong kehausan dan kepanasan justru minum air panas, sakin hausnya Syamsi langsung menerjang isi panci dan meminumnya. Tapi kok rasanya aneh!.
Dilihat … airnya kok butek!.
Diteliti … kok ada gumpalan merah dan ada sedikit darah. Yak!.
Syamsipun bertanya kepada sang bunda tercinta.
“Mak, yang di panci air apa?”.
“Syamsi itu air mentah, air itu untuk masak daging!”.

Temu Jidad

Misi mencari Erico Hutabarat 81

Salam kompak, salam sejahtera
Hening hati buka hening kita
Disini hanya ada keceriaan
Yang kita bawa bersama
Dalam pertemuan kali ini
Dan kita ingat kembali kenangan manis di 2 IPA 8
Kenakalan dalam kelas
Kekompakan dari hati ke hati

O, so sweet ….
Rangkaian kata nan puitis dia atas aku ambil dari undangan Reuni tahun 1982. Awalnya undangan tersebut aku ketik, sebelum di-fotocopy dilihat oleh Erico. Pembuat lambang Apadela yang bernama lengkap Erico Hutabarat, pangilannya keong soalnya kalau naik gunung jalannya lelet banget, lemot bahasa anak sekarang.

Undangan tadi Erico salin dengan tulisan tangan, alasannya, Apadela kan anak gunung, makan nggak pakai piring, minum nggak pakai gelas, masa sih undangan pakai mesin tik dan satu lagi kebiasaan anak Apadela kalau ulangan nggak pakai mikir. 


Setelah di-copy baru kami ingat kok nggak pakai Temu Jidad seperti biasanya, sudah terlanjur, fotocopy mahal untuk ukuran kami waktu itu. Kenapa namanya Temu Jidad, soalnya pada tahun itu sangat populer istilah Temu Muka, Temu Kangen, Temu Artis, pokoknya pakai Temu-Temuan segala, jamu aja pakai istilah Temu Lawak. Temu Jidad pakai huruf de biar lebih medok, artinya kalau kami ketemu salamnya dengan mengadu jidad. Apadela banget!.

Itu terakhir kali aku melihat Erico karena saat reuni dia berhalangan datang, nah lewat blog ini kami minta bantu kamu semuanya mencari Erico, orangnya ganteng, kan mana ada anak Smandel yang nggak ganteng.

Erico dengan tas hitamnya

Temu Jidad kali ini sudah banyak diantara kami yang meninggalkan dunia hitam, tetapi soal kampungan masih seperti dulu.

Ari, Erico, dan Gayus

Sebelum Trimar Café dibuka sesuai jadual, jam 5 sore, beberapa Apadelaers sudah datang, sudah mengadu jidad. Ada beberapa orang yang kulihat jidadnya berwarna hitam, mungkin terlalu keras mengadu jidadnya.


Nggak semua hadirin dan hadirat anak Apadela, 2 IPA 8, kelas terkompak dan terbaik Smandel sepanjang masa, ada Yani yang minta disebut namanya di blog, ada Iin, ada yang cukup ekstrim Andy, “Pokoknya setiap acara Apadela gue ikutan”. Kami nggak keberatan. Sama seperti naik gunung tempo dulu, banyak anak kelas lain yang ikutan, spleteran istilahnya.

Banyak yang tidak saling ingat, Ade (Sri Emilza) dan Eny (Nuraeni Kusuma Wardhani) contohnya, setelah cukup lama baru deh Ade bilang, “Eh, ternyata Eni temen sebangku aku dulu!”. Itulah gunanya Temu Jidad.

Ada yang ketika datang bergabung berbunyi nguik, pergi juga nguik. Setelah si nguik menghilang, kawan-kawan pada bilang, “Men, tadi siapa? Gue kok nggak inget!”.
Boro-boro ingat, mereka kenal juga nggak, soalnya Amir nguik Waluyo bukan Smandel 81 tetapi angkatan 90. Pantesan aja!.

Pengemis dan Tukang Becak



Aku menulis di grup facebook tentang Temu Jidad Apadela HBH 2012 di Trimar CafĂ© (Iva), dan seterusnya. Maksudnya mencantumkan Iva dalam kurung, supaya ada unsur kekeluargaan, karena kafe ini punya kerabatnya Iva. Nyatanya informasi tadi membuat Deden dan Dicky kebingungan soalnya sepanjang jalan Tebet Raya mereka bertanya kepada semua orang nggak ada yang tahu, mereka bukannya mencari Trimar CafĂ© tetapi yang dicari Kafe Iva.  Apadela banget!.
Sambil melotot Andrina bilang,"Makanannya diabisin!".

Tentu ada yang bertanya tentang kontribusi, aku jawab aja minimum Rp 10 ribu, murah banget ya?, tetapi tetep aja dari 22 Apadelaers yang hadir hampir sepertiganya nggak membayar, termasuk aku. Bukan karena nggak mampu tapi lupa ditagih sebabnya Andrina si biang repot Apadela istirahat di mobil, gara-gara suara musik hidup di kafe membuat kupingnya jadi rada penging karena kupingnya nguing-nguing.

Nggak tahu deh aku sering banget ditanya mengenai kontribusi, dan aku selalu seolah menjawab seenaknya dan anehnya pada menurut. Contohnya waktu Rini Mulyawati ’84 ketua panitia Reuni Emas Smandel bertanya lewat telpon,
“Men, menurut elo cover charge Reuni Emas pantesnya berapa, terus pinginnya dapet apa?”.
“Kalo menurut gue sih dibawah seratus ribu, terus dapet konsumsi dan acaranya bagus!”.

Beberapa hari kemudian Rini menelpon, “Men, undangan Reuni Emas udah gue cetak, cover charge-nya 80 ribu, seperti kata elo di bawah 100, tadinya sih gue pinginnya Rp 88.888,-, dapet konsumsi dan acaranya sip!”.
“Elo nggak tekor Rin?”, aku jadi bingung, nggak salah nih!.
“Nggak lah! Gue bisa kok nyari sponsornya, gue malah seneng Men kalo minta pendapat elo, nggak kayak orang lain udah ngomongnya muter-muter nggak ngasih pendapat juga!”.
Rini '84

Untuk acara Smandel 81, dari dulu sampai  Reuni Perak, aku yang menentukan harganya yang dari dulu nggak naik-naik Rp 50 ribu melulu walau acaranya diadakan di hotel berbintang 5, Borobudur. Kalau kamu heran, Lucy biang repot Smandel 81 lebih terheran-heran lagi.
“Men, gue nggak salah denger nih? Kata Didut elo udah nentuin bayarnya cuma 50 perak, ini di hotel Borobudur Men!”.
“Iya, 50 ribu”.
“Ya, ampun Men, gue sama Didut elo jadiin Pengemis dan Tukang Beca lagi!”.
Nah, begitulah sejarah istilah Pengemis dan Tukang Beca pernah populer di Smandel 81.
Pengemis dan Tukang Becak

Sekarang Lucy dan Didut sudah nggak jadi Pengemis dan Tukang Beca, panggilan mereka sekarang Angels. Jujur kata acara yang diurus mereka lebih sukses saat mereka menjadi Pengemis dan Tukang Beca.

Begitu side job aku sebagai orang yang menentukan kontribusi. Kalau aku bekerja di Kementrian Perhubungan, aku ditempatkan di mana ya?, mungkin di bagian yang menentukan tarif angkot.

Sabtu, 08 September 2012

Bocoran Reuni 2012


Sms dari Desi Indrati tanggal 4 September sungguh mengagetkan hati, bunyinya,

Dear Friends,

Sesuai dengan jadwal pertemuan yang disepakati pada waktu lalu, pertemuan / rapat berikutnya GR-SMP 3 77 akan diadakan pada

Tanggal  : 7 Sept 2012
Waktu : 1400 (setelah sholat Jumat),
Dst … dst …

Ha …! Jangan-jangan salah kirim, soalnya kan aku bukan panitia, dan Desipun menjawab, “salah ya? gak papa salah Men..datang aja.. gua yg undang..Hehe.. sebenernya siapa aja yg concern welcome koq.. lu bantuin gua di Humas, Men.”.

Djendro Srimuntjar
Mentemenz lg meeting at Vivi's home..bwat reuni 50thn..partisipasi mentemenz bwat datang ya pd hari. Hnya ...twengkiuuuu Om Chormen

Kebetulan aku ada ketemuan di Menteng jam 4 sore, kebetulan juga aku sudah sholat Jumat jadi bisa datang ke rumah Vivi tempatnya rapat, soalnya kan dibilang setelah sholat Jumat. Namun nggak ada satupun yang bertanya apakah aku sudah sholat Jumat apa belum?.

Nah, aku kasih bocorannya nih!. Reuni ini bakalan luar biasa, pertama jauhnya luar biasa dari rumahku, tempat reuninya di Ciputat sudah hitungan Jakarta coret!.

Acaranya luar biasa panjang, butuh stamina untuk itu. Biayanya bukan lumayan lagi gedenya, tapi kamu nggak usah takut, peserta hanya dibebankan seratus ribu perak per-orang, sisanya  biar urusan panitia yang nyari.

Maunya panitia, pesertanya 2 kali lipat waktu reuni di sekolah 6 tahun lalu, bisa nggak ya?.

Panitia akan membuat Directory Alumni angkatan 77, buat kamu yang belum ngasih data dan foto buruan deh kasih ke panitia.

Satu lagi yang bakalan membuat mata kamu terbelalak terutama cowok-cowoknya adalah yang jadi MC pastinya cantik dan usianya kurang dari separuh umur kita, aku nggak berani nyebutinnya sekarang, pokoknya kamu datang aja deh! Ajak yang lain jangan lupa!.

Selasa, 04 September 2012

Cerita Berbonus


Berhubung tempat berkumpulnya di Mal Metropolitan, dekat rumah, aku berangkatnya agak santai. Sms kepada Rike, “Kalau elo udah sampai MM kasih tahu gue ye!”.
Akhirnya dapat juga sms dari Rike yang bunyinya, “Qe udah br3 sm ratih n yeni d dpn body shop”. Baru deh aku berangkat.

Saat aku sampai mereka menunggu di KFC dengan Iin, nggak lama kemudian Ndra dan Rory, Kania berikutnya. Sekarang rombongan dipecah 2, yang keren-keren ikut aku yaitu Kania, Ratih dan Iin, yang lain naik mobil Rory. Karena tempat parkirnya dekat mereka berangkat duluan dan menunggu di depan RS Mitra Keluarga Bekasi.

Mereka menunggu dan terus menunggu soalnya, emak-emak keren yang ikut aku yang mengaku baru aja makan siang nggak tahan godaan. Saat menuju tempat parkir kami mencium aroma menggoda dari booth crepes. “Heemmmm, haruuuummm!!!’.
Mereka pada berhenti sejenak untuk menikmati keharuman crepes yang sedang dipanggang.
“Eh, pada mau ..??”, Kania menawarkan.
Kesimpulannya mereka rela mengantri yang cukup lama untuk mendapatkan crepes yang masih hangat, alih-alihnya sederhana, “Kan mereka bilangnya mau nungguin di Mitra Keluarga”.
Pantes aja emak-emak itu badannya pada bulet-bulet, habis makan …, makan lagi!.

Peserta bertambah 2 orang lagi yaitu Susyanto, bosnya Rory, dan Gepeng yang menjengguk Eli Martina, yang menderita kanker kelenjar getah bening yang cukup akut, di rumahnya. Kankernya sudah menjalar hampir ke seluruh tubuh.

Dokter sudah menyerah, tidak dengan Eli sang pasien, dia tetap semangat!. Kunjungan kami menambah semangatnya berjuang untuk melawan si penyakit. “Semangat !!!”, sambil Eli mengepalkan tangan kanannya.

Kami semua berdoa bersama untuk kesembuhan Eli Martina Darma, semoga lekas sembuh, aamiin.

Kami sampaikan kepadanya bahwa kawan-kawan yang bekerja rencana kan berkunjung hari Sabtu dan Minggu. “Tapi jangan salah!”, Ndra menjelaskan, “Justru yang sekarang membesuk pengusaha-pengusahanya”.

Kami mendapatkan cerita bahwa Rory kepergok Luci dan Liza ketika menonton di Megaria bersama seorang janda muda beranak satu. Rory takut banget kalau nanti kami mendengar cerita yang bukan-bukan, katanya takut kalau oleh Luci ceritanya  akan ditambah-tambahi, sehingga menimbulkan gosip yang berbau tidak sedap.
“Daripada nanti dapat cerita dari Luci, sekarang kan kalian enak, sudah dapat cerita sebenarnya dari Rory”.
Akupun membalas, “Nah, kita kan sudah dapat cerita dari Rory, jadi … kalau nanti kita ketemu Luci, kita tinggal minta cerita tambahannya”.

Sabtu, 01 September 2012

Undangan ber-RSVP


Lusiaji Aris Prabowo '81

Hari ini agak istimewa karena sepulang sekolah aku mendapat undangan ulang tahun yang dicetak sangat lux, biasanya kalau ada kawan yang berulang tahun paling hanya bilang, “Aji, gue ulang tahun, gue traktir elu”, makannya juga nggak jauh-jauh di warung bu Imron atau somay Johny, agak jauhan dikit warungnya Mak Etek.

Aku buka undangan yang tercetak di atas kertas harum, dari Tati Rusmawarni yang berulang tahun ke-17, sweet seventeen. Tati sudah almarhumah 6 tahun lalu, beliau pencetus pengajian rutin angkatanku yang menjadi pengajian rutin pertama di lingkungan alumni Smandel. Terima kasih ya Tati yang membuat angkatan kita bangga karena selalu terdepan.
Bersama Smandelers 81

Selain harum, keterkejutanku bertambah, karena undangan tersebut ada tulisan R.S.V.P. gaya banget yang menjadi undangan berRSVP pertamaku, dan yang lebih mengagetkan ada embel-embel, NB: Wajib Memakai Batik.

Terus terang aku sudah coba semua batik ayahku, semuanya kegedean karena badanku waktu itu kecil banget, tetapi aku nggak perlu takut sebab ibuku pasti membelikan batik untukku, maklum ayahku pernah tinggal cukup lama di Eropa, jadi masalah etika pasti dipegang teguh.

Pelatihan Teroris

Singkatnya aku bersama Haryo, kawan sekelasku saat itu di 2 IPA 7, sudah berada di Cawang Baru Tengah yang letaknya nggak jauh dari rumahku di Otista.

Ternyata yang memakai batik nggak banyak, paling-paling hanya seperlimanya, ada beberapa kemungkinan, nggak punya duit untuk beli batik, nggak punya etiket, atau acaranya sudah bocor. Kayaknya karena acaranya sudah bocor deh!.

Kenapa aku bilang begitu, soalnya kan dulu kami masih malu-malu meong. Celakanya panitia ulang tahun yang dihadiri lebih dari seratus orang itu membidik hadirin dan hadirat yang berbatik.

Nah, kami yang memakai batik dikumpulkan di suatu ruangan, diberi arahan bagaimana cara berjalannya peragawan dan peragawati, kini aku tahu mengapa mereka banyak yang nggak berbatik, sayangnya aku nggak mendapatkan bocorannya. Sial!.


Gilanya kami harus berjalan berpasang-pasangan dan ….. bergandengan tangan, sayang seribu sayang aku nggak dipasangkan dengan ***, cewek yang aku taksir dulu. Aku tulis begini biar kamu penasaran aja!. Kamu pasti penasaran kan siapa cewek yang aku taksir?.

Aku dipasangkan oleh panitia dengan Puspita, panggilannya Ita, cewek yang rumahnya di samping sekolah, rumahnya selalu kompak dengan sekolah, artinya kalau sekolah banjir, rumah Ita pasti kebanjiran juga.


Kami harus berlengak-lenggok keluar ruangan dan kembali ke dalam ruangan, rasanya perjalanannya panjang banget.

Nah, awalnya aku malu banget bergandengan dengan Ita, apalagi Ita memegang tanganku sekenanya, berjalan di depan penonton yang ngeledikin kami. Itu awalnya!, lama-lama aku merasa lebih PD bahkan merasa di atas angin, soalnya aku merasakan Ita lebih malu lagi bergandengan tangan denganku.