Jumat, 09 September 2022

Ayo Nobar


Sempat bimbang sih, mau magriban di Pacific Place apa di rumah?. Aku putuskan shalat di rumah aja soalnya aku lagi mau pakai sepatu boots yang ribet urusan tali temalinya.

“Men, tiket di gue nih dari Meta”, itu whatsapp yang aku terima dari manusia yang bernama Marhaendra Atmo Idris.


Aku dapat tiket bernomor bangku A2, artinya paling atas dipojokkan pula, untungnya Ningwit ngasih tahu bahwa di sebelahnya kosong di bangku B3, karena Rachma, temen aku trekking di Nepal, kena macet di Bintaro, sementara Benny Respati sekondanku di Apadela mendapatkan kursi di barisan J, dia seneng banget kayaknya bakalan dapat di bagian tengah, dan ternyata, eh ternyata dapat di kursi nomor 2 dari depan, rasanya perlu dioles minyak gosok lehernya sebelum menonton.

Tiket aman, seperti biasa aku ngider menyalami temen2, dari angkatan tuan rumah 891 ada Aswin yang jadi sutradara, Dian, Dape, 893 ada Anita, 886 ada Vini, Rudi, 862 mbak Toety dan Marcy, 892 ada Rery. Aku nggak bisa sebutkan satu-satu, seratus dua puluh orang semuanya.

Waktu aku mau difoto dengan Rery, aku bilang kepada Luthfi 886, “Tolong fotoin dong dengan adik gue Rery”, eh, Tothe si Ketua IAS bilang, “Beneran nih adek kakak!!!!”.

Vini ikutan nimbrung, “Aku juga adiknya”, keakraban kami, Timbuktu, tumbuh bersama pembuatan buku sejarah 50 Tahun Smandel.

Film yang berjudul Kamu Tak Sendiri, nggak jelas jenis film apa?. Awalnya aku pikir film horor, setting-nya malam hari ada adegan perempuan jutek kerja sendirian, bakalan digodain hantu nih aku pikir. Abis gitu suspense seperti kata Tothe, adegan si cewek dengan lelaki yang terjebak di dalam lift yang akhirnya si lelaki mati kerena lehernya tertancap pecahan kaca. Lanjut dengan dialog berlama-lama antara si jutek di dalam lift dengan satpam di ruang kendali, dialognya lucu pantes jika dibilang film komedi, eh buntutnya cinta-cintaan. Film nggak karuan kali genrenya.

Kalau kamu bertanya, “Kok, nyebutnya si jutek, si jutek, sebutin aja namanya”.

Bukan apa-apa kawan soalnya aku belum kenalan.


Nah, kalau aku nyebut-nyebut nama Tothe itu karena Ketua IAS meneraktir, kapan lagi. Jangan ngiri itu kan jatah preman.

Urusan jalan cerita film kamu jangan sekali-kali bertanya kepada Hendra dan Dani 880, percuma!, mereka tidur, mungkin karena kursi bioskop lebih nyaman dari tempat tidur mereka di rumah.

Selesai pertunjukan kami tidak langsung bubar, tapi ada sambutan dan penghargaan buat Aswin si sutradara dari Ketua IAS.


Aku pindah dong ke bangku depan di antara Benny dan Dani, eh Riry berkomentar, “Busyet deh banci kamera udah ada di paling depan”, “Cepet lagi jalannya”, tambah Prismono.

Spot foto yang bagus, kepalaku nyebul diantara Ketua IAS dan sutradara, serta nggak jauh dari Giselle pemeran putri satpan dalam film itu.

“Ssst, jangan digodain, bapaknya dia dengan kita masih tuaan kita”, kata Tothe.


Tapi sampai berita ini dimuat karena, foto fenomenal tersebut belum aku dapatkan, padahal dari foto bisa terlihat perbedaan dengan jelas antara penonton dengan kasta aktor dan penonton dengan kasta figuran.


Sabtu, 03 September 2022

Restoran Gunung

Pukul 5.40 saat matahari baru nyembul dikit aku sudah dalam perjalanan menuju Sentul, menjemput Ika di depan Pizza Hut Kemang, dan mampir beli nasi kuning buat bekal trekking kami berdua.




Aku berangkat pagi karena menurut rencana mobil bak yang mengangkut kami akan meluncur jam 7 dari Jayanti, Sentul, rumahnya Cien menuju titik awal pendakian ke gunung Kuta. Eh, apa mau dikata banyak yang datang terlambat, paling telat datang Didik dan Ina, udah gitu nggak ada kata minta maaf, atau mungkin minta maafnya dalam hati.

Jam sembilanan baru deh 2 mobil bak terbuka bergerak, aku duduk di mobil pertama di samping pak supir biar dibilang bos. Eh, pakai acara menunggu mobil kedua karena supirnya belum tahu jalan. Menunggunya aku pilihkan bukan di tempat yang teduh, tapi di panas terik, “Waduh, baru 5 menit jailnya udah keluar”, begitu kata penumpang bak.


Titik awal pendakian di elevasi 850 meteran, sedangkan puncak gunung Kuta hanya di ketinggian 1.050 meter, termasuk cetek, elevation gain hanya 200 meter.

Jam 10an baru dimulai pendakian yang membutuhkan waktu 2 jam termasuk mampir di warung serta berfoto ria.

Pemandangan dari puncak Kuta biasa aja, nggak ada yang istimewa, memang target kami hanya latihan fisik untuk pendakian ke gunung yang memiliki pemandangan cantik, itu juga buat yang fisiknya masih kuat.

Di puncak Kuta ada perwakilan dari Expa, Apadela, Umsujisu, sayangnya Tothe dari IAS nggak ikutan, “Apa kita coret aja ya Tothe dari Ketua IAS?”. Kami semua tertawa, konon dalam bahasa anak gunung tertawa itu pertanda setuju. 


Peserta dari Expa ada Iman, Pei, Lutfi, Didik, Ina dan aku, dari Apadela ada Darius dan aku, dari Umsujisu, ada Nina, Cien, Riry, Rachma, Niken, Ika, Ina, Harwib dan aku. Wah, ternyata aku ada di mana-mana.

Dari puncak gunung, kami menuju curug Mariung, jalurnya curam amat, aku yang harus menjaga irama jantung tidak lebih dari 140 denyut per-menit agak keteteran, harus banyak berhenti karena arloji pintar sering banget mengikatkan.

Ketika aku sampai di air terjun, aku ditawari NinAd teh manis hangat, sip banget kan!, eh, tak lama tawaran itu dikoreksinya, “Men, kompor yang punya warung rusak, jadi nggak bisa bikin air panas”.

Di dekat air terjun ada 2 warung, sebut aja warung atas dan warung bawah, biar gampang. Kami beristirahat di warung bawah. Sudah jam makan siang, aku buka bekalku yang mewah nasi kuning sepuluh-ribuan, nasi kuning dan telur dadar, enak banget, sejuta rasanya eh salah deng, sepuluh-ribuan rasanya.


Lagi enak-enaknya makan nasi kuning mewah, ada suara-suara yang membuat aku penasaran, di tempat yang nyempil begini, waiter warung atas bolak-balik membawa makanan dalam mangkuk yang ada gambar ayam jago. Pesanan beragam, ada soto mie, mie goreng, mie Aceh, ayam geprek, rendang.

Aku longok pesanan mereka di dalam mangkuk ayam jago, tapi kok bentuknya sama semua, oalah ternyata eh ternyata yang mereka pesan mie instan rasa .......... soto mie, mie Aceh, ayam geprek, rendang. Kalau begitu mah aku juga bisa.


Selasa, 01 Februari 2022

Imlek Pertamaku

Imlek kali ini aku bersama keluarga kecilku jalan pagi di sekitaran Kemang, sekaligus mencoba sarapan di salah satu outlet waralaba terbesar di dunia.

Selepas subuh aku ngopi-ngopi kecil dulu, minum kopi dengan cangkir kecil yang cocok untuk menyajikan seperdua bagian kopi kemasan. Minuman pagi kali ini cold brew kopi Arabica Agopuro yang disajikan ala Americano alias encer. Arabica Agopuro punya rasa asam diujung seruputan.



Baru deh kami berempat berjalan menelusuri Kemang Selatan, Kemang Raya, melewati Kemang Village, muncul di Kemchick, mampir di ATM Bank Mandiri dan setelah 2 kali penarikan tunai kartuku tertelan mesin. Aku gedor deh pintu besi untuk membangunkan satpam yang tidur di dalam Bank.  Sang Satpam yang berseragam mirip Polisi yang menjelaskan prosedur pengantian ATM yang tertelan.

Beberapa langkah berjalan aku coba cek dompetku, eh aku jadi malu sendiri, ternyata sang kartu ATM ada di dompet. Maaf ya pak Satpam sudah mengganggu tidurmu.

Sampai deh kami di outlet waralaba tersebut dan ternyata bukanya masih lama saudara-saudara. Minggu lalu jam 7 sudah buka buat hari Sabtu dan Minggu doang. Terpaksa deh jalan kaki dilanjutkan sampai rumah, total 8318 langkah.

Akhirnya jam 9 kurang kami kembali lagi ke outlet waralaba yang didominasi warna hijau dengan tidak berjalan kaki. Itu kegiatan kami pagi ini di hari Imlek.

Sore hari aku mendapat whatsapp dari Amyta Miranti, mantan Ketua Angkatanku, tumben?. Kalau nggak penting mana pernah dia ngirim WA. Setelah berbasa-basi, aku mendapat kejutan darinya berupa ucapan. “Selamat Tahun Baru Imlek”. Aku berkesimpulan ini perempuan jarang nonton Siaran Berita.

Gegara Amyta aku jadi ingat Imlek pertamaku.

Waktu aku SD bersama Endang Rahadian, Tri Yudiarti, Kristioningsih yang juga kawan SMAku. Dulu saat kami SD hari Imlek bukan merupakan hari libur nasional, jadi kami tetap bersekolah, di berapa kalangan Imlek disebut Lebaran China.

Lagi asyiknya belajar, di hari Imlek, pintu kelas diketuk ibu Jaja, Kepala Sekolah. Setelah berbasa-basi dengan guru kami, ibu Rini, Kepala Sekolah menyapaku, “Chormen kalau kamu mau pulang silahkan, biar bisa merayakan hari raya di rumah”.

Sudah tentu aku bengong karena bingung, teman-teman membantu menjelaskan, “Men, hari ini kan elo Lebaran”, nah loh aku jadi tambah bingung.

“Lebaran kan udah lewat”, jawabku.

“Elo pulang aja ngerayain Imlek di rumah”, kata kawan-kawanku.

“Nah, Imlek itu apaan?”, kebingunganku menjadi.

Wawa, yang bernama lengkap Low Shian Hua, menjelaskan, “Imlek itu Lebaran China, lebarannya kita”.

Kini aku mengerti, aku dikira orang Tionghoa, dan jadilah hari itu, Imlek pertamaku.