Sabtu, 14 Oktober 2017

Berjalan Ala Nepal

Kawan-kawan menjauhiku, mereka semalam kembali ke pulau Jawa, Nina, Aries, Rachma, Cien, Yati, Raihan, Adip, dan Daset, sementara pagi ini aku masih di Kawasan Tamel, Katmandu. Hari ini aku menjadi solo traveler gara-gara telat beli tiket, jadi dapat yang mahal, mending terbang keesokan hari yang tiketnya lebih murah.



Jam 9 pagi aku telpon Ram, yang mengatur perjalanan kami di Katmandu dan Pokhara, soalnya sedan berkaliber 2000 cc yang aku pesan belum datang, dijawabnya “Kan kamu cuma pingin ke Dubar Square dan Garden of Dreams, jalan kaki aja paling cuma 15 menit dari satu ke tempat yang lain”.

Saran itu aku lakoni, eh bener baru 15 menit 7 detik terlambat 7 detik dari prediksi Ram, aku sudah berada di pintu masuk Katmandu Dubar Square. Ada diskriminasi di sini, turis asing bayarnya lebih mahal banyak, sialnya posisku sekarang jadi turis asing.



Oleh salah satu pemandu aku ditawari bertemu Kumari. Kamu tahu apa itu Kumari? Kumari dalam bahasa Sangsekerta berarti Putri. Kumari adalah dewi hidup, living goddess bahasa kerennya. Kalau nggak melihat wujudnya kamu bisa lukiskan nggak di benakmu, perempuan cilik  yang punya ciri pahanya seperti paha rusa, dadanya lebar seperti dada singa dan bulu matanya seperti bulu mata sapi, Sudah bisa membayangkan belum?, jangan-jangan yang kamu bayangkan perempuan jadi-jadian.

Garden of Dreams, disebut juga Garden of Six Seasons, bergaya neo klasik, dibangun tahun 1920 tempatnya enak banget buat nongkrong menunggu waktu yang pas untuk ke bandara, tiduran di rumput di bawah naungan banyang pohon besar, ditemani cerpelai yang lucu, tapi kamu jangan ikuti lucunya tingkah si bajing ya, nanti kamu jadi bajingan. Aku nggak berani terlalu dalam untuk memejamkan mata, takut tidur beneran.



Aku kembali ke kawasan Tamel, untuk berbelanja oleh-oleh, kaos bersablon Nepal, tas, dan baju ala Nepal yang sekali cuci langsung berubah ukurannya dari XL menjadi M, mungkin aku yang kurang teliti bahwa baju yang kubeli ada tulisan Nepalnya yang aku nggak bisa baca, sekali pakai.

Awalnya aku berencana menghabiskan hari terakhir untuk berwisata kuliner, nggak jadi terlaksana karena cita rasanya makanan Nepal kurang cocok di lidah, makan siang terakhirku di restoran halal India.

Taksi tanpa argometer yang kupesan pagi, sore ini sudah siap membawaku ke bandara, mobil mungil buatan India, tarif yang ditentukan pak supir setara dengan 50 ribu rupiah.



Aku setuju aja ketika mas supir bilang bahwa lewat jalan raya bakalan telat, maka jadilah kendaraan mungil ini menjadi mobil off road, melintasi pasar, jalan tikus, terbanting-banting, mungkin mas supir mengangapku sekarung beras. Selesai off road di depanku Tribhuvan International Airport. Solo travelling berakhir di sini.

Pesan istriku aku perhatikan banget, jangan jalan kayak turis entar dirampok, makanya aku berjalan aku usahakan semirip mungkin dengan cara berjalan orang Nepal.

Awalnya mereka menyapaku dengan, “Apa kabar?”, tahu kalau aku turis Melayu. Aku ubah berjalanku biar disapa, “Namaste”.

Usahaku membuahkan hasil, kini aku tidak lagi disapa dengan, “Apa kabar?”, melainkan disapa dengan, “Ni hao”.

Waduh tambah parah.

Kamis, 12 Oktober 2017

Flying with Style @Nepal



Kalau melihat kontur tanah di Nepal yang naiknya tinggi banget turunnya dalam banget sayang kalau tidak menikmatinya dari udara. Banyak yang ditawarkan, naik pesawat beneran atau helikoper di antara puncak tertinggi di dunia, terjun payung, ultralight, atau paragliding.

Naik pesawat atau helikopter nggak dibolehin istriku, terjun payung nggak deh gara-gara melihat youtube ada yang meninggal mendadak saat terjun tandem.


Di Pokhara kami harus memilih paragliding atau ultralight, nggak bisa keduanya karena harus lanjut ke acara trekking setelah itu. Dua orang nggak ikut, Nina dan Rachma karena takut ketinggian. Hanya aku yang mengambil paragliding dengan harga USD 85, Daset, Adip, Raihan, Cien, Aries dan Yati ultralight seharga USD 195/30 menit, USD 295/60 menit. Aku memilih paragliding konon kata orang, “Lelaki sejati terbang nggak pakai mesin”.

Kami memesan dari Jakarta, “Nina, tolong bilangin Ram aku pesen paragliding, pilotnya perempuan cantik ya”. Ram, contact person kami di Nepal untuk urusan pelesiran bersama Smandelers.
“Kalau pilotnya perempuan cantik, aku juga mau”, Daset berubah pikiran.
“Men, kata Ram, kamu dapet pilot perempuan cantik, kalau Daset lagi diusahakan”, Nina memberikan laporan, “Men, bilang apa dong aku kan udah dapetin pilot cantik buat kamu?”, Nina melanjutkan.
Aku berikan jawaban kekinian, “Rejeki anak sholeh”.


Subuh tadi kami dijemput menuju Sarankot untuk menyaksikan matahari mulai menerangi Annapurna range, pengunungan Himalaya, cakep!. Paragliding lepas landas dari puncak tertinggi Sarankot, jadi aku harus kembali ke mari bersama Daset.


Jalannya terjal, satu kali kami harus turun dari mobil karena nggak kuat menanjak. Dari puncak Sarankot terlihat danau Pea Wa, danau terbesar di Pokhara, tempat kami mendarat.

Menunggu angin baik yang membawa kami lepas landas, aku bilang apa ya?, “Up up and away” seperti Superman apa “To infinity and beyond”, kayak Buzz Lightyear. Aku pilih, “Bismillah” dengan ditambah doa dalam hati, “Mudah-mudahan nggak ngompol”, soalnya aku kebelet pipis nih.

Pilotku berpesan agar aku tetap berlari sampai lepas landas, kalau nggak nanti keseret parasut bisa cedera parah karena badanku berat. Tugas itu aku lakukan dengan baik dan benar, akhirnya melayang di udara, asyiknya.

Keren banget, aku terpesona sampai kusadari ada kamera foto dan video, penyakit narsis kambuh lagi, sip banget.


Paragliding bukan pilihan utamaku, sebetulnya aku ingin banget parahawking, ber-paragliding sambil memberi makan elang. Tangan kiri kita dibalut sarung tangan kulit, elang jenis Volture dari Mesir terlatih akan hinggap di tangan untuk diberi makan saat kita di udara, keren banget kan!.

Sedih amat loh waktu Nina bilang, “Men, parahawking sejak 6 bulan lalu sudah dilarang karena dianggap melanggar hak asasi binatang oleh pemerintah Nepal”.

Nah, buat kamu penggemar bonsai bersiap deh karena sebentar lagi bonsai dilarang karena melanggar hak asasi tanaman.

Rabu, 11 Oktober 2017

Bidadari Turun dari Langit



Kalau aku kasih judul Bidadari Turun dari Surga nanti kamu protes kok bidadarinya begitu aja. Kalau aku juduli Bidadari Turun dari Neraka nanti kamu bilang mana ada bidadari di neraka, atau menghina bidadarinya.

Kisah ini kami peroleh saat perjalanan dari Kathmandu menuju Pokhara jaraknya nggak jauh, sepadan dengan Jakarta ke Bandung, tetapi waktu tempuhnya 2-3 kali lipat, sekitar 8 jam disebabkan macet di Kathmandu, jalanan rusak dan relatif sempit padahal boleh dibilang yang dilalui bukan lagi antar kota antar propinsi melainkan antar kota antar propinsi antar negara, karena banyak sekali kendaraan besar berpelat nomor India berseliweran.

Kami beristirahat 3 kali, pertama di rest area, kedua restoran Hill Top untuk makan siang dan yang mau aku ceritakan segera yaitu di air terjun di tepi jalan.

Aku turun sebetulnya males-malesan karena air terjunnya pendek dan kecil, aku pikir air terjunnya kayak gimana gitu, ini kan Nepal gitu loh!. Temenku juga begitu nggak ada yang bawa kamera kecuali Adip, maklum dia punya kamera baru.

Aku melepaskan sandal gunungku sebelum kakiku merasakan dinginnya air terjun, cuci muka seger banget. Semuanya melepaskan penatnya perjalanan, tertawa kecil sampai cekakak-cikikik dan tiba-tiba terdiam.

Wanita Nepal setengah baya, sebut saja namanya Bidadari, muncul seketika seolah turun dari langit menjadi penyebabnya, marah-marah kepada Nina, Cien, Aries, Rachma dan Yati, perempuan rombongan kami.

Wah, ada yang beres nih!, mungkin kami memasuki tempat suci mereka dan melanggar tata tertib ritual. Aku menyingkir mencari sandalku, kok nggak ada, perasaan aku taruh di sini deh, aku cari sampai 3 kali nggak ada juga. Bismillah, jangan-jangan diumpetin makluk halus. Eh, itu sendal ada lagi di tempat semua, “Kok tadi aku cari di sini nggak ada”.
“Tadi dipake perempuan itu om”, jawab Adip.

Aku pakai sandalku, dan ….. eng, ing, eng ….. tiba-tiba perempuan yang kuberi nama Bidadari ada dihadapanku, perasaanku jadi nggak enak, awalnya dia pasang muka senyum, kemudian mupeng, lalu dia mengucapkan kata-kata yang tidak aku mengerti, jangan-jangan jampi-jampi pelet. Pram, supir lokal kami menerjemahkan, dia memahami beberapa kata bahasa Indonesia, “She said, aku cinta padamu, I love you”. Mendengar kata itu aja aku sudah merinding apalagi Bidadari memperagakan porno aksi, kawanku tidak ada yang melihat karena ada di belakangnya.

Aku bejalan ke kanan, dia ke kanan sambil merentangkan kedua tangannya, aku ke kiri dia ke kiri. Kami seperti bermain Galasin, dia jadi gala-nya, aku asin-nya. Aku nggak bisa pulang kalau begini, padahal aku nggak minum air terjun.

Anehnya pada saat genting seperti itu pikiranku justru melayang ke cerita Jaka Tarub yang memperistri bidadari setelah mengambil selendang incarannya, jangan-jangan aku jadi suami Badadari yang memilih sandalku.
Briptu Adip

TIDAK, aku harus pulang, sebagai superhero Briptu the O, karena belum naik pangkat jadi Kapten, aku pakai senjata terbaik andalanku dan satu-satunya yang aku punya, maki-maki.

Bidadari sedikit menyingkir mencari sasaran baru, lelaki bermotor. Wah, cewek matre juga nih si Bidadari, kesempatan ini aku ambil, lari ke mobil, kunci pintu. Kawanku mengikuti.

Ada yang mengetuk-ngetuk jendelaku, eh, si Bidadari lagi, “Jalan …, jalan”, Pram menjalankan mobilnya meninggalkan Bidadari, sedih juga baru dapat 1 penggemar di Nepal sudah ditinggalkan.

“Sudah terbukti dari semua cowok di sini yang paling ganteng Chormen”, kata Nina sementara yang lain mengamini.
“Jangan lupa bikin blog-nya ceritanya pasti seru!”.
Aku jadi teringat bukti autentik, foto.
“Eh, tadi ada yang motret nggak?”, aku bertanya.
Adip yang paling bertanggung jawab karena hanya dia yang membawa kamera menyahut, “Om, kita semua nggak sempet motret karena terpesona dengan kejadian tadi”.



Ternyata ada juga yang bawa kamera
Aries “Tetep foto bidadarinya gak ada ya.. keburu pada 🏃🏻♀🏃”
Rachma, “Iya foto bidadari nya gak ada krn datangnya tiba-2 dan kita semua pd ketakutan jd gak pd fokus unt foto”.