Minggu, 15 Januari 2017

Itinerary: Tidur Bersama Istri Orang



Menjelang azan subuh berkumandang penghuni temporer Citalahab menuju desa sebelah untuk menunaikan shalat subuh di masjid. Hujan gerimis menemani perjalanan, sesampainya di desa tetangga disambut 3 ekor anjing kampung yang menggogong tak henti sejak 100 meter sebelum kami tiba di pintu desa, untungnya para anjing berhenti menggonggong ketika kami menuju masjid, mereka tahu kami orang baik-baik.


Di lapangan nan luas kami menanti munculnya mentari pagi, dengan harapan yang sangat tipis karena di langit tidak setitikpun bintang terlihat. Kalau dilihat dari sisi menanti terbitnya matahari, mending menemani bang Ucu yang lebih suka menarik selimut, selain bertugas bersih-bersih tenda karena masih tergolong yunior, Nining, seorang yunior juga tadi laporan sudah mencuci sendok.

Blue hour sudah lewat, sang mentari lebih doyan menarik selimut ketimbang  bangkit dari tempat tidurnya, sementara pertunjukan harus tetap berlangsung, mari sama-sama membuka jaket di kelilingi dinginnya udara pagi pegunungan dan kecangnya angin bertiup.

Bapoto dengan aneka tenun tradisonal, batik, ikat, jumputan dan lainnya. Katanya mencintai tenun tradisional termasuk sebagian dari pakem pecinta alam, bener nggak sih?.


Berfoto dari gaya menulis diary, berkibarlah benderaku, tim sepakbola, sampai gaya Syahrini tiduran di rerumputan, nggak tanggung-tanggung gaya tiduran bersama istri-istri orang sebelum dilanjutkan dengan acara tea walk.
“Yah, cerita tidur bersama istri orang gitu doang!!!, pembaca kecewa!!!”.

Saat ber-tea walk-ria, handphone berdering, di layar terpampang foto wanita sang sangat aku kenal, kamipun berbicara. Ketika tahu yang menelpon istriku, Riry dan beberapa kawan yang jalannya paling belakangan menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun. Aku memberikan sang hape kepada Riry untuk berbicara dengan Inka.
“Mbak, suaminya dikasih SP-1 nih, masa istrinya ulang tahun malah ditinggal trekking!”.
“Udah!, malahan udah dikasih SP-3”.
7 jam lalu, pukul 23.15, 45 menit menjelang tanggal berubah menjadi 15 Januari 2017, aku sudah nggak kuat lagi menahan kantuk, begitu mata kupejamkan langsung tertidur, mengalahkan Nobita si jago tidur, karakter dalam film Doraemon.

Untung alarm tubuh membangunkanku 2 menit menjelang tengah malam yang kutahu saat menghidupkan smartphone, perlu waktu 4 menit untuk si hape bisa siap digunakan karena jaringan internet lemot banget, terlambat 2 menit dari waktu yang kuharapkan, pukul 24.00, buru-buru aku pencet nomor telepon yang kumau.
“Terima kasih ya”, jawaban di seberang sana buka halo atau assalamualaikum karena lawan bicaraku tahu apa yang akan aku ucapkan, “Kuenya bagus, baru aja tiup lilin bareng anak-anak”.
“Selamat ulang tahun ya sayang ….. bla, bla, bla ….”, kuucapkan.
“Amen, tadi ngapain aja? ….. bla, bla, bla ……”.

“Eh, Amen itu siapa?”.
“Amen itu pangilan sayang dari istriku untukku”.
“Kok, panggilannya Amen? Nggak ada yang kerenan lagi?”.
“Udah bagus dipanggil Amen, daripada dipanggil Betty!!!”.

Sabtu, 14 Januari 2017

Itinerary: Tumbuhan Bersinar Nyata Ada



Waktu menyaksikan film Avatar di layar lebar, ada seciprat pertanyaan, “Emang tumbuhan bersinar ada? Ngayal banget nih film”. Kalau binatang bersinar aku pernah lihat walaupun cuma satu jenis, apalagi kalau bukan kunang-kunang.

Di Cikaniki  Research Station kami ber-mannequin challenge, daripada bengong. Mau ke air terjun Cimacan yang berjarak hanya 200 meter sudah menjelang magrib, nggak bisa didokumentasikan, lagian sudah pernah melihat air terjun di Ciletuh Geopark nan cantik-cantik sih. Sombong!.


Selesai pak Asep dan Syaiful menunaikan shalat magrib kami kembali menuju Cikaniki Canopy Trail, kata mereka tempat berkumpulnya jamur bersinar. Pak Asep meminta kami mematikan senter, apa yang bakalan terjadi?.

Masyaallah, kami menyaksikan ribuan bintang berwarna hijau, bukan di langit yang tinggi melainkan di ranting pepohonan, termasuk ranting yang berguguran di atas tanah lembab hutan primer Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Cantik banget!.

Kawanan jamur bersinar ini bentuknya kecil mungil, kamu perlu kamera yang peka dan lensa macro untuk mengabadikannya, untungnya aku membawa kamera yang nggak kalah mungilnya dengan si jamur namun peka cahaya. Kamu bisa saksikan di video clip di bawah ini.

Jamur jenis ini hanya ada di 7 lokasi Taman Nasional, salah satunya ya di Taman Nasioanal Gunung Halimun Salak, sisanya kamu tanya aja mbah Google.


Sayang di sayang canopy trail mangkrak perlu perbaikan, rencananya tahun depan, 2018, akan dilakukan perbaikan. Kalau melihat dari atas suasananya pasti lebih indah, so pasti!.

Oh, iya aku kasih tahu ya nggak semua orang beruntung seperti kami, Rosana, anak Smandel 81, misalnya, zaman mahasiswa ke Halimun nggak melihat owa Jawa, surili, apalagi jamur bersinar. Jujur aku sempat persimis, 35 tahun lalu aja nggak melihat apalagi sekarang. Usut punya usut rupanya salah jalur, bukan jalur peneliti sih!.

2 pohon Rasamala, gerbang menuju dunia lain

Tadi sore di dekat sini, kami sempat berfoto-ria di antara 2 pohon Rasamala besar seolah menjadi pintu gerbang memasuki gunung Halimun, begitu besarnya Rasamala sehingga Tini ingin memeluk salah satu dari mereka, tiba-tiba Riry melarang.
“Jangan dipeluk!”.
“Emang kenapa?”, Tini penasaram.
“Jangan dipeluk aja!”, Riry menegaskan, tanpa memberikan penjelasan.
Belakangan dari whatsapps grup Aji bilang bahwa, istrinya merasakan dan anaknya melihat sesuatu. Hi, seyem, untung tahunya sudah sampai rumah.

Buat kamu yang sering berpetualang, aku kasih tahu nih, “Jangan kencing sembarangan”, siapa tahu pohon atau batu yang kamu kencingi ada penghuninya. Jangan sampai penghuninya marah, apalagi balas ngencingin.



Nina Adriani:
Men....beribu ribu nih glowing mushroom nya 😁😁
Tapi lucu tuh tulisannya 👍

Itinerary: Mencari Jamur Bersinar Halimun



Dari pintu gerbang di persimpangan jalan menuju Citalahab, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, hanya berjarak 9 km, dengan mobil dibutuhkan waktu hampir 1 jam karena jalanan berlubang di sana sini. Mobil Elf sewaan kami berkali-kali bumpernya menatap jalan karena begitu dalamnya lumbang yang harus dilalui. Untungnya sepanjang perjalanan disuguhi pemandangan alam yang Indonesia banget, bahkan desa yang kami lalui tertata keren.


“Asyik banget ya kalau naik flying fox bisa cepet sampai”, begitu kata Rachma setelah melihat 3 buah tali terbentang dari bukit ke bukit.
“Rachma, emang mau mati apa?, itu bukan flying fox, tapi tiang listrik”, Riry menjelaskan. Tanda-tanda Rahma kehabisan oksigen dan perlu nafas buatan sudah terlihat.


Sampai deh di homestay Citalahab, tempat menginap Plan B, untuk ishoma. Kamu berpikir Plan A pasti lebih bagus, ternyata yang dimaksud Plan A adalah menginap di tenda, biar nuansa alamnya lebih dapet begitu alasannya. Padahal Plan B tempatnya hangat, tersedia kasur dan selimut, ada kamar mandinya juga. Begini nasib kalau NinAd yang menjadi EO, kalau bisa dibuat susah kenapa harus mudah?, sesuai motto.

“Men, aku pesen makanan dari homestay tapi ibunya bilang karena lokasinya terpencil dari mana-mana, cuma bisa nyediain telur dadar dan nasi aja, tapi kita bawa makanan cukup banyak kok”, NinAd menjelaskan. Aku jadi teringat perjalanan bersama Apadela, kelasku 2 IPA 8 Smandel 81, ke Beijing dan Shanghai 3 tahun lalu, kawan-kawan ada yang nggak suka ikan, ada yang nggak suka ayam, ada yang nggak suka bebek, tapi giliran telur dadar pada demen semua, jadi selama dalam perjalanan kami makan telur dadar 3 kali sehari deh.


Habis makan kami mendirikan 7 buah tenda, dilanjutkan dengan acara utama trekking dari Citalahab menuju Cikaniki melewati jalur peneliti dipandu oleh pak Asep dan Syaiful petugas Taman Nasional.

Sepanjang perjalan kedua petugas menjelaskan jenis tumbuhan, yang bisa dimakan sampai yang tidak boleh disentuh karena getahnya beracun yang menyebabkan kulit terasa panas selama 1 kali 24 jam.

Aku sempat mencoba memakan begonia, rasanya  mengetarkan seluruh tubuh karena begitu asamnya, seperti belimbing wuluh. Pak Asep bilang bisa dimakan, bukan berarti enak dimakan.

Jalur yang kami lalui nggak terlalu panjang hanya berjarak 1,8 km, kira-kira 1,5 jam perjalanan karena asyiknya melihat owa Jawa dan surili bercengkrama di atas pepohonan, menikmati jenisnya air yang menurut pak Asep berdasarkan hasil penelitihan airnya lebih bersih daripada air mineral kemasan.


Kami sampai di lokasi canopy trail yang tidak layak dinaiki karena harus diperbaiki, jamur bersinar bertebaran di sini, belum terlihat sinarnya karena hari belum gelap. Kami bisa saja menunggu gelap di sini namun petugas menyarankan kami beristirahat di Cikaniki Research Station yang berjarak 100 meter, karena kurang tepat saat magrib berada di dalam hutan.
Cristiano Ronaldo aja yang lagi asyik main bola begitu magrib disuruh pulang oleh emaknya.