Minggu, 29 Mei 2011

Mana Jempolnya


Pedagang oleh-oleh khas Banten diboyong ke pabrik batik sehingga kami tidak usah susah-susah mencari buah tangan, aku sempat membeli 2 buah sate bandeng ternyata hanya itu otak-otak bandeng yang tersisa.

Dari lokasi batik kami menuju restoran taman dengan berjalan kaki, kuat? Iyalah, Cuma 20 meter sudah sore pula. Dua acara terakhir ini diadakan gara-gara aku protes ke bunda. Begini nih, si bunda mengirimkan itinerary ke panitia melalui email, aku sendiri nggak tahu mengapa aku juga dikirimi padahal aku bukan panitia apalagi bunitia.

Kelihatannya mereka cuma manggut-manggut, seminggu kemudian mereka masih manggut-manggut, nggak tahan aku sampaikan keberatan, “Neng, pulangnya kecepetan!, masa masih sore udah sampe Jakarta, paling cepet pulang dari Serang abis magrib”.

Ternyata bacotku menyuarakan bacot hati kawan-kawan, waktu di bis saat pulang mereka berharap jalan macet terus sampai Jakarta, supaya bisa berlama-lama bercengkerama.

Di restoran taman kami makan icip-icip, sate ayam, sate bebek beserta lontongnya, nasi sumsum, dan bakso. Icip-icip kok banyak banget!. Semuanya enak terlebih sate bebek, sayang baksonya nggak enak.

Aku curiga baksonya bakalan nggak enak sejak pramusaji meraciknya. Daun sawi dan toge tidak direbus tetapi hanya disiram dengan kuah bakso yang suam-suam kuku, jadi yang aku makan sayuran mentah. Kalau ini kuliner baru aku akan menamakannya selada bakso, bukan berarti setelah aku namakan makanan ini menjadi enak.

Sebelum matahari jatuh kepelukan malam, kami berfoto berjamah yang dilakukan oleh Wawan Gumay Senja, dan seperti biasa banyak titipan kamera gurem. Saat kamera gurem beraksi, gaya kami gurem juga, kalau kamera serius sudah pasti kami serius juga.

Aku berpesan untuk mengacungan jempol pada pose terakhir, saat itu tiba Wawan sang photographer berkata, “Ini yang terakhir”, seolah mengintruksikan, “Mana jempolnya …, mana jempolnya …”.
Jadinya keren ya!.

Atas dakika: Zaenal, Titi, Tri, Iriani, Mundi, Tatik, Fiera, Iin, Puger, Rosana, Nia, Kasfiana, Yeni, Ratih, Gaus, Iriana, Tono, Rahmadi, Anto, Heppy, Rory. Tengah: Ockty, Titut, Liza, Tri, Diah, Rike, Fida, Eni. Bawah: Hary, Roy, Haryo, Adji, the O, Andy, Eneng, Iwan, Hendra, Luci







Untuk acara berikutnya bagaimana kalau aku usulkan berpose dengan gaya, “Mana mata genitnya …, mana mata genitnya …”, sambil ngedip-ngedipin mata. Aku yakin Neni ’87 pasti ngiri.

Inget Batik Inget Mak Uwok

Kami mengunjungi pabrik batik bukanlah kali pertama, namun yang satu ini tempat pembuatan batik Banten. Aku hanya lihat-lihat aja nggak berbelanja batik, soalnya nggak ada ukurannya. Kemeja batik yang ada paling besar berukuran L untuk ukuran pria Banten, kalau ukuran baju yang biasa aku beli batik tadi berukuran M.
Tukang jemur batik sedang bergaya

Kemeja batik lengan pendek dibandrol dengan harga Rp 175 ribu, menurutku terlalu mahal, tetapi mungkin aja karena aku yang nggak tahu harga.

Motifnya sederhana, nggak jelimet, tipenya batik pesisir, aku kurang suka. Tulisan ini bukan upayaku untuk tidak mau membeli batik Banten loh.

Aku mencoba untuk mewarnai batik, awalnya ragu-ragu karena takut blobor. Si perajin batik batik memperagakan acara mewarnai dengan benar, nggak sulit ternyata.

Aku juga melihat ketrampilan perajin melukis batik, tangan mereka cekatan sekali, di sampingku Susyanto turut memperhatikan.
“Men, gue jadi inget karya tulis gue”
“Guru pembimbing elo siapa?”
“Mak Uwok”.
“Elo cuma dapet enam ya?”.
Susyanto menganguk dan tersenyum malu.

Aku buka rahasia angkatanku ya, bukan karena Mak Uwok, yang bernama asli ibu Siti Anifah, yang kecam menilai karya tulis murid yang dibimbingnya dengan nilai paling mentok kepala 6.
Mak Uwok pasti bosenlah karena hampir separuh murid yang study tour ke Jogjakarta membikin karya tulis tentang batik. Emang nggak bisa bikin karya tulis selain batik.

“Elo juga dapet enem ya?”, Susyanto mencari teman.
“Enak aja!, nilai gue 8”.
Karya tulisku dibimbing pak Dasril, aku beri judul Taman Nasional Ujung Kulon, dengan Rhinoceros sondaicus, badak jawa, sebagai master piece-nya.

Kalau kamu bikin karya tulis tentang batik, bacanya sambil senyum-senyum ya?, soalnya cuma dapat 6 sih!.

Pangeran Kodok


Bis kami memasuki halaman kantor mantan Gubernur Jendral Bantam, sebutan Banten di zaman kolonial. Van Bronckhorst salah satu sang Gubernur Jendralnya.

Sudah barang tentu kami berkunjung bukan untuk menemui arwah sang Gubernur Jendral dalam rangka uji nyali, lagian ngapain juga!.

Kami ke sini apa lagi kalau bukan untuk bapoto. Cukup kreatif mencari tempatnya, rasanya belum ada foto angkatan lain yang lokasinya seunik ini. “Bagus”, kalau mengingat pak Tino Sidin.

Sebulan sebelum berangkat aku dibilangin bahwa nanti kami photo session di tangga, aku pikir tangganya agak tinggi sehingga aku bilang kalau kami dipotret dari atas dengan format 81, eh, panitianya, kak Iwan, kak Ros, dan bunda pada ngomel, “Nggak ada waktu! Susah ngaturnya!”. Rasanya seperti dimarahi nenek sihir, maklum mereka kan sudah nenek-nenek.

Akhirnya kami berfoto dengan gaya pejabat teras, maksudku pejabat yang bekerja di teras.

Aku jadi ingat kakak kelasku yang 10 tahun lebih tua, dari jurusan Sipil, beliau bekerja di teras rumahnya, komputer dan perlengkapan kantor lainnya bercokol di teras, prinsipnya urusan rumah nggak mengganggu urusan kantor, begitu sebaliknya

Nah, kalau kamu bertamu ke rumah, eh kantornya, kamu harus pipis dulu. Soalnya kalau kamu kebelet pipis kamu harus pipis di musholah dekat rumahnya, kan urusan kantor nggak boleh mengganggu urusan rumah. Minumannya, biasanya teh hangat manis dalam cangkir, dibeli dari warung di depan rumah, begitu juga urusan makan siang.
@ Kantor Gubernur Banten
Untung aku dua kali ke sana istrinya lagi ke luar kota, jadi aku diizinkan pipis di dalam rumah.

Kembali ke cerita awal, tentang potret-potretan.
Kalau kamu melihat foto di atas aku kok nggak berada di deretan paling depan, nggak seperti biasanya, sudah pasti ada sejarahnya. Ketika aku berdiri di depan, nenek-nenek sihir pada protes, “Meennnn, elo jangan di depan teruuussss ….!!!”.

Akupun bergeser ke deretan belakang karena takut disihir jadi kodok. Aku menduga keras kalau aku disihir akan berubah menjadi kodok, soalnya pangeran ganteng kalau disihir biasanya berubah menjadi kodok, ya kan?

kamipun berfoto-ria. Keren ya!
Nggak percuma, angkatan 81 gitu loh yang punya prinsip.
Urusan semangat ….. nggak ada matinya!!!
Urusan narsis ….. nggak ada malunya!!!

Uang Gobang


Naik bis lagi menuju Banten Lama untuk menunaikan shalat zuhur berjamaah. Dari tempat parkir bis ke mesjid melewati ratusan pedagang tetapi pembelinya boleh dibilang nggak ada. Ada yang bilang karena hari Sabtu, kalau Minggu Banten Lama dipenuhi pengunjung dan peziarah.

Sehabis menitipkan alas kaki secara kolektif kami menuju tempat berwudhu, airnya sejuk banget serasanya ingin berlama-lama berwudhu kalau perlu mandi sekalian.

Di dalam mesjid ternyata panas banget apalagi kami nggak tahu cara menyalakan kipas anginnya, sebetulnya shalatnya pingin ngebut, tetapi nggak bisa soalnya berjamaah. Tubuhku mulai berpeluh.

Setelah selesai pak imam bilang, “Sekali lagi ya, sekalian ashar”, artinya bertambah lagi nih keringat.

Setelah selesai, kami keluar mencari udara dingin, paling nggak lebih dingin daripada di mesjid, terdengar ucapan syukur, “Alhamdulillah”, suara Aji, “Tadi gue pikir cuma gue yang shalatnya kepanasan, gue pikir karena gue banyak dosa, syukur deh kalau gitu ternyata elo juga pada kepanasan”.
Kami menuju kaki menara untuk berfoto, aku di bagian depan duduk di lantai yang panas banget sudah kayak ikan asin dijemur, nggak apa-apa yang penting bergaya.

Dari puncak menara kita bisa melihat laut Jawa, kami tidak naik menara karena harus gantian berhubung tangganya sempit banget kita tidak bisa berpapasan dengan yang turun.

Ketika aku kebelet pipis, aku didatangi Iwan, “Men, punya duit kecil nggak? Gue pingin kencing”.
“Gue nggak punya, gue juga lagi kepingin kencing, itu ada Heppy, coba kita minta Heppy”.
“Men, ada nih!”, Iwan memberi laporan.
Akhirnya kami bernafas legah, bisa pipis.
[Attachment(s) from Andy Masrie included below] Engga boleh liat pohon dikit dah lupa daratan...... (Heppy "Uang Gobang" Indrayati)

Menuju bis Heppy dikuntit terus oleh anak-anak kecil, sambil berkata, “Minta dong bu …, minta dong bu”.
Kawan-kawan pada keheranan kok hanya Heppy yang dikuntit, “Heppy, kok elo diikutin terus sama anak kecil”.
“Ini gara-gara Chormen sama Iwan tadi mereka minta duit receh untuk ke toilet”.

Itulah teman kami Heppy, kawan yang baik hati di mata kami, namun di mata anak-anak kecil, mereka melihat Heppy sama aja melihat uang gobang.

Tri


Cerita tentang makanan sudah, sekarang aku cerita tentang minuman. Kami memesan minuman dari bis dalam perjalanan menuju Serang, sampai saat ini minuman belum juga dibuat, aku memesan kelapa muda lengkap dengan batoknya.


    • Eneng Nurcahyati Kakak Rosa menikmati kelezatan Kuliner sampai ke jari2nya

    • Rosana Harahap betul banget... jemari gue jilat terus sampe bersih (gak perlu air pencuci tangan !!) ... hehehe .., makasih Bunda untuk makan siang yang uenaakk dengan kelapa muda & gula arennya .... mantabb deh (kalo berakhiran 'B' ... bener2 mantap nih)
Berjejer sudah kelapa muda batok di lesehan kami, ada endapan berwarna kecoklatan di dasarnya, gula merah. Aku bilang kepada pelayannya, “Mas, punya saya nggak pake gula ya!”.
Si mas menganguk.

Si mas kembali dengan membawa 3 kelapa muda, semuanya dengan gula merah, “Mas, punya saya mana yang nggak pake gula merah?”. “Sebentar pak”, jawabnya singkat.

Lagi-lagi si mas kembali dengan kelapa muda, masih dengan gula merah, “Mas, punya saya mana?”. Si mas sambil berjalan menjawab singkat, “Kelapa yang nggak pakai gula habis!”. Konyol!, bukankah kelapa bergula berawal dari kelapa polos.
Kurang enak, aku lebih suka rasa kelapa muda polos.

Abis makan sudah pasti jeprat-jepret.
Aku sudah berganti kaos, panas banget bok! Kaos kunyitku sudah berpeluh.

Susiyanto yang baru sekali ikut perlu diplonco, ketika dia mau masuk ke lapak foto, aku bilang, “Sus, ini khusus untuk orang yang pakai kacamata”, diapun pergi.
Sebelum menjauh aku memanggil, “Sus, gue cuma becanda, sini ikutan”.

Giliran aku foto dengan duo Tri, Kartiningsih dan Utami, aku bilang, “Yang difoto yang namanya Tri aja ya!”.
Muncullah beberapa Tri yang lain.
“Gue ikutan!, gue Tri Soenarwati”.
“Gue juga!, kalau gue Tri Luciana”.
Giliran Fida juga mengaku bernama Tri, setelah dijepret baru dia bilang, “Men, gue juga namanya Tri, kalau gue Tri … engh, Tri … Tri Masketir”

Pecak Bandeng



Peresmian Taman Bacaan Masyarakat sederhana saja, ditandai dengan pengguntingan pita oleh seorang pejabat Pemda Banten yang mewakili Gubernur Banten. Semoga masyarakat Serang bisa bersenang-senang.

Katanya kita pecinta lingkungan makanya nggak acih kalau nggak ada penanaman pohon. Agak berbeda dengan di SMA 8 yang ditanam 8 pohon langkah, di sini yang ditanam 10 pohon, bukan berarti yang menanam anak SMA 10 loh.

Dari sini acara beralih ke sebuah saung yang berjarak nggak lebih dari 100 meter, kira-kira satu slepetan dari lokasi Taman Bacaan Masyarakat, berhubung teriknya minta ampun, banyak yang menempuh jarak sedekat itu dengan memakai payung. Aku sendiri nebeng mobil Gaus, “Men, ikut nggak?”.
“Nggak deh, jaraknya deket banget. Tapi …… gue ikut elo aja deh, nggak tahan ... panas banget”.

Sebuah pernyataan yang nggak konsisten, pertama bilang nggak deh, akhirnya bilang ikut. Waktu aku bilang, “Nggak deh”, aku melihat beberapa kawanku asyik bapoto di tengah perjalanan, ketika aku mau ke sana, eh, acara bapotonya sudah selesai, makanya aku beralih naik mobil. Dasar!.

Ternyata nggak hanya kami, yang lainpun banyak yang naik mobil, bahkan ada juga yang nunut bis.

Saungnya sederhana banget, tanpa dinding dan berlantaikan tanah, atapnya dari untaian daun kelapa. Di kiri dan kanan dipasang panggung untuk tempat kami makan sambil lesehan. Panggungnya sendiri dibagi beberapa sekat. Sekat itu yang membuat kami terpecah-belah. Aku menempati lesehan terbesar di bagian kiri yang menurutku ditempati kawan-kawan yang makanya sedikit, ternyata dugaanku salah besar.

Nasinya pulen banget mungkin hasil panenan persawahan di sekitarnya, lalapannya segar, sayur asemnya sudah dingin, tahu tempe gurih, sambalnya pedes banget pas buat cocolan bandeng bakar, enak banget!. Daging bandengnya padat mungkin karena si bandeng rajin fitness.

Eneng bangga banget dengan bandeng Serang, hasil produksi tanah airnya, dia bilang bahwa bandeng Serang nggak bau tanah. Memang bener sih bandengnya nggak bau tanah, tetapi aku curiga di Serang justru tanahnya yang bau bandeng.

Gundala Putra Petir

Semua sudah berkumpul di bawah tenda dan sekitarnya, pejabat Pemda Banten, Kepala Sekolah, guru, murid, Smandelers 81 dan masyarakat. Wow, ramai amat!.

Acara pertama sambutan dari berbagai pihak, sengaja nggak aku liput di sini, jujur aja aku nggak suka cerita tentang acara resmi terutama sambutan-sambutan, bukannya apa-apa aku takut salah tulis yang tadinya sambutan bisa berubah menjadi sambitan.

Acara berikutnya seserahan, penyerahan secara simbolik buku bacaan dan perlengkapan perpustakaan serta seperangkat komputer supaya masyarakat melek internet dan ....... mudah mengakses blogku. Maksud lo!.

Sambil mengisi waktu kami memberikan kuis untuk masyarakat dengan hadiah yang menarik pastinya, pertanyaannya berupa pengetahuan umum, kak Mundi yang menjadi emsi. Nah, Mundi punya cerita seru waktu SMA nanti aku kasih tahu ke kamu deh.
“Meeeeennnnnnnn, jangan diceritain! Awas ya!”.

Kami bergiliran memberikan pertanyaan, aku juga mendapat giliran, “Men, itu disuruh Mundi”, emak-emak di sebelahku mengingatkan.
“Abis ini, Roy udah duluan maju”.
Roy memberikan pertanyaan kebapaan banget, maklum namanya juga bapak-bapak, anaknya aja ada 2, orang semua.

Mundi melihatku dan berbicara lip sync
“Men, maju!”.
“Pertanyaannya?”.
“Udah gue siapin”.
Aku maju ke depan diiringi dengan sambutan meriah, “Jangan ada yang motret ...! Jangan ada yang motret ....!”, duh, sentimen amat. Untung kami membawa photographer profesional, nggak terpengaruh yang kayak gitu-gituan.

Aku sedikit demam tanah, karena aku berdiri di atas tanah, bukan di atas panggung. Aku mulai beraksi sebagai Sri Panggung, eh Sri Tanah.
“Siapa mau mendapat hadiah harus lari ke sini. Harus lari ya!”, sambil aku tunjuk sejumput tanah berumput di sampingku. Penonton tertawa, aku jadi geli sendiri, perasaan barusan aku nggak bermaksud ngelawak deh!.

“Pertanyaannya gampang, kapan ibu Kartini dilahirkan?”.
Syuuuut ... dengan serta-merta berdiri seonggok manusia di sampingku, larinya cepat amat, jangan-jangan Gundala Putra Petir, eh ternyata onggokan manusia tadi perempuan, mungkin adiknya Gundala yaitu Gundali yang bernama lengkap Gundali Putri Petir.

“21 April”, kata beliau di depan moncong mik, padahal aku baru mau bertanya, “Nama ibu siapa?”.
Ya, udah dapat hadiah. Akupun menyerahkan hadiah ke ibu guru yang pandai ini.

“Men, kalo yang ini gue rela motretnya”, Andy bersuara sambil memainkan kameranya, dia meneruskan suaranya, “Tadi gue perhatian si ibu udah dari tadi ancang-acang mau lari ke samping elu! Kepingin banget berdiri di samping orang ganteng!”.
Andy loh yang bilang.
Gundali Mundi, Gundali Rosana dan Gundali Eneng menyerobot lapak fotoku

Tiba-tiba syuuuut ... syuuuut ... syuuuut .... Gundali-Gundali lain ikut beraksi di depan masyarakat dan pejabat Pemda Banten, mereka nebeng aksi di lapak fotoku.

Penyesalan selalu datang terlambat, rugi rasanya mengajari mereka “Teknik Photography”.
Mereka bagai pribahasa, “Guru kencing berdiri, murid ...... ngencingin guru”.
Arti dalam bahasa sederhana ......... kebangetan

Piiiiisssss ......

Pintu keluar tol Serang sudah kami lewati, di pertigaan seharusnya belok kanan tapi tidak kami lakukan karena jalannya sempit soalnya bisnya kegedean. Lewat jalan kiri agak memutar, tetapi yang penting nggak jalan kaki bok!.

Sampai deh di desa Sawah Luhur, dari namanya terkesan jauh banget, sudah desa, sawah pakai tambahan luhur lagi. Bagiku seolah di Negeri Entah Berantah. Jangan bilang-bilang, nanti Eneng tersinggung!.


Roy kita ini mau Baksos, bukan mau tawuran....Liiizzz  tahan  emosi,
Chormen jangan malah jadi profokator.

Romannya panas nih! Aku mengambil sebotol air mineral kemasan 600 cc, aku titipkan di tas Tatik, tasnya gede baget, kayaknya semua barang masuk kesitu seperti kantong milik Doraemon aja. Rasanya pingin sekali meriksa isinya, tapi nggak sopan meriksa-meriksa tas perempuan. Kalau diizinkan aku yakin timbangan badan pasti aku temukan.

Kami berjalan menuju tenda peresmian Taman Bacaan Masyarakat, jaraknya hanya 50 meter tetapi harus ditempuh selama 10 menit, bukan gara-gara jalannya rusak melainkan karena sebentar-sebentar photo session, kamseuk! Jangan bilang-bilang, nanti angkatanku tersinggung!.

Di bawah tenda sudah berbaris kursi lipat berbaris ke belakang, walaupun di bawah tenda kehadiran radiasi sinar mentari kuat sekali, panas!. Rasa haus mulai menyapa, untung aku punya air mineral dalam botol, kalau kak Ros bilang, “Aqua botol dalam kemasan botol”, aku heran yang kayak begini mau ikutan kuis Ranking 1.

“Tatik, gue minta minuman gue dong!”.
Tatik mengeluarkan minumanku yang masih utuh, Alhamdulillah!. Aku sempat cemas ketika Tatik mengeluar tangannya dari dalam tas besarnya, aku khawatir minuman yang tadi dimasukkan ke dalam tasnya ketika dikeluarkan berubah menjadi kelinci.

Aku minum sendirian, karena air mineral gelas belum disajikan, enak bener minum sendirian di depan orang kehausan, “Men, elo dapet minuman dari mana?”. Ah, nggak tega meneruskan ceritanya.

Bisa jadi karena kepanasan dan kehausan kawan-kawan nggak ada yang bergairah main potret-potretan, tidak denganku. Ketika rombongan anak sekolah berseragam pramuka bergabung di bawah tenda. Aku meminta mereka berkumpul untuk bergaya.
“Jangan ada yang mau motret!, Jangan ada yang motret!”. Bener-bener nggak ada yang memainkan kamera.

Aku nggak khawatir, nggak percuma aku the O yang kayak Mc. Gyver, selalu punya Plan B. Aku mengeluarkan kamera saku dan meminta Heppy untuk memotret.
“Ayok kita bilang piisssss ....!”.
“Piiiiiiissssss ......!”, keluar dari mulut mereka dengan nada yang keras.

“Men, bisa aja elo ngibulin anak-anak!”.
Aku hanya tersenyum, dan dalam hati aku berkata, “Emang belum pada tahu? Kalau ngibulin anak kecil adalah satu-satunya keahlianku yang bisa aku banggakan!”.
Piiiiissssssssss ........