Sabtu, 31 Januari 2009

Guru Top 80

Liza Soenar ‘81

Pada tahun 1980 aku duduk di kelas 2 IPA 7, pada umumnya gerombolan anak nakal di kelas duduknya di deretan paling belakang. Kali ini aku duduk berdekatan dengan Luci dan Marisa.

Pak Husein mendapat giliran mengajar, apalagi kalau bukan Fisika, mondar-mandir sambil terus menerangkan menjadi cirinya. Sementara bandel menjadi ciri kami, dua hal yang saling bertolak belakang, namun tidak dapat dipisahkan.

Aku menulis di secarik kertas kecil tulisan GURU TOP 80 kemudian kuoleskan lem di belakangnya. Selanjutnya tinggal membuat tantangan siapa yang berani menempelkannya di punggung pak Husein.
Marisa duduk paling kiri

Marisa mendapat giliran pertama dan menyangupinya, singkat kata tulisan GURU TOP 80 menempel di punggung beliau. Ketika berjalan ke depan cekikian bermunculan, makin ke depan makin ramai sampai akhirnya ….. Gerrrrrrrr seisi kelas.

Suara gerrrrrrr sirna seketika, pak Husein muaraaaaaaaah besar walaupun gayanya sedikit lucu. Tidak sulit untuk mencari pelakunya, tersebutlah 3 nama aku, Luci dan Marisa.

Mungkin karena aku dan Luci sangat akrab dengan beliau hanya Marisa saja yang dibawa menghadap bu Hilma, sang Kepala Sekolah.

Di kesunyian kelas pintu terbuka munculah wajah Marisa tengah menangis mendayu-dayu dengan terus menyalahkan aku dan Luci.

Senakal-nakalnya kami pasti semua guru mendoakan anak didik mereka agar sukses di kemudian hari termasuk pak Husein. Mungkin berkat doa beliau tak lama kemudian Marisa memperoleh kontrak iklan dengan produsen obat jerawat yang melambungkan namanya. Marisa menjadi selebriti ternama di negeri ini.

Kenangan bersama Marisa meninggalkan sedikit penyesalan ………… mengapa tidak kutempelkan sendiri tulisan itu di punggung pak Husein.



SCHUBANFebruary 1, 2009 5:07 AM

Bukannya Pak Hussein yang nyesel .....???
Kenapa gak gua tempel balik ke dada nya Marissa........, duhhhh......kalau tau dari dulu Marissa bakal begini.........

alumni smandel juga
(link ini gua dapet di FB )

Everybody screams when I kiss the teacher

Liza Soenar ‘81

Penggalan lirik lagu ABBA memang tidak pernah kulakukan, namun bisa menggambarkan kecintaan kami kepada pak Husein, guru Fisika yang berlogat Sunda kental, sangat lucu dan kamipun dibuat gemas karenanya.




Itulah yang membuat aku bersama Lisa Eka, Novia Luciana, Ario Aranditio mengikuti les atau dalam istilah sekarang bimbingan belajar setiap Minggu pagi di jalan Condet Raya, di rumah Lisa Eka. Kusebut lengkap Lisa Eka karena takut tertukar dengan namaku Liza Soenar.

Setiap kali ingin ulangan kami merayu beliau atau lebih tepatnya sedikit memaksa walaupun tidak sampai terjadi tindak kekerasan, untuk memberikan contoh soal berikut jawabannya. Sudah pasti seluruh kelas 2 IPA 7 akan memperolehnya.




Soal ulangan tidak jauh berbeda, hanya diganti angkanya saja, tentulah satu kelas tidak punya angka merah di Fisika karena tinggal ketrampilan bermain kalkulator yang dibutuhkan, kecuali satu orang yang memang terlalu nakal yang harus tinggal kelas.

Seperti biasa pak Husein membuka sepatu saat memberikan les, beliau duduk sementara kami lebih suka melantai. Tiba-tiba ada yang keluar dari kaos kaki pak Husein. It’s a plane? It’s a train? No…. it’s Superjempolnya pak Husien.

Nggak bandel bukan anak SMA, begitu kira-kira falsafah kami. Siap komandan begitu dalam hati Ario saat kumohon. Laksanakan!

Pak Husein teriak karena kaget dan setelah itu lucunya tertawa bersama selepas Superjempolnya pak Husien tersundut rokok Ario, walaupun mungkin tertawa bercampur malu, jengkel dan teman-temannya.

Untungnya beliau tidak marah dan terus melanjutkan pelajaran. Tuhan, maafkanlah kami sekaligus terima kasih yang memberikan kenangan tak terlupakan bersama pak Husein yang amat kami cintai. Pak Husein, I love you so much!

Kamis, 29 Januari 2009

Kisah Sepenggal Sisir Raksasa

Adriano Rusfi
3 IPA 1 Smandel 83

Saat itu hari Senin, entah tanggal berapa. Tapi yang pasti kelas satu semester dua. Ya, karena saat itu aku sebangku dengan Didi Arifin, Si Keriting nan Kemayu. Berarti jam pelajaran pertama aku akan berhadapan dengan Ibu Galak Tersayang : Ibu Mariana. Ondeh mandeh... berarti aku berhadapan dengan tiga berita buruk sekaligus, ya Ibu Mariana, ya Bahasa Inggris, ya buku Student Book yang maha berat itu (maafin aku ya Bu...).

Buku yang satu ini memang menyebalkan. Ukurannya tak pernah muat di tasku yang kecil. Dan aku harus menentengnya di tangan secara bergantian. Tangan yang, lagi-lagi, juga kecil. Seperti mengangkat barbel sambil berjalan rasanya, dari rumah ke terminal Kampung Melayu, dari Tongtek ke Takitri tercinta : pulang-pergi !. Belum lagi dengan pelajaran Bahasa Inggris yang hingga hari inipun aku nggak kunjung pintar. Tentang ibu Mariana? Ah sudahlah, kita sama-sama tahu. Seh... (Lagi-lagi maafin kedangkalan sikapku Bu...)

Tapi pagi itu ada secercah harapan, semacam Escape from Alcatraz. Seksi Upacara OSIS ada rencana latihan gerak jalan persis pada jam pertama, persiapan lomba gerak jalan se Jakarta Selatan. Kebetulan aku anggota Tim Srigala, nama tim Smandel saat itu. A-ha... berarti tak perlu ikut Bahasa Inggris dan tak perlu bawa Student Book. Bahkan di tasku masih ada lowongan untuk sebilah sisir. Obat ganteng ini biasanya diperlukan sehabis latihan gerak jalan. Wow... I like this Monday (Kalo kalimat yang ini ajaran Ibu Mariana. Makasih Bu…)
Dan tak seperti biasanya, pagi itu aku melangkah riang dan ringan ke sekolah. Membayangkan wajah seorang malaikat penyelamat bernama Benny, kakak kelas yang pelatih Tim Srigala, yang minta ijin ke Ibu Mariana agar aku ikut latihan. Membayangkan langkah-langkah tegap serempak berwibawa keliling Taman Bukitduri sambil berteriak ala srigala : Auuummm. Sementara nun di kelas I IPA 1 sana, terbayang wajah sobat Bahtiar yang terbata-bata melafalkan Good Night, lalu diomelin Ibu Mariana (karena selalu melafalkan ”Gut Naik”...)
Tik...tak...tik...tak...
Waktu beranjak mendekati bunyi bel jam pertama. Aku duduk-duduk di kursi panjang depan kelas yang bersebelahan dengan kantin. Tapi tak ada tanda-tanda latihan akan mulai. Lalu... Kriiiing... bel berbunyi tanpa sehelaipun wajah Benny yang memanggil latihan. Kali ini bunyi bel itu terasa memekakkan. Lebih mirip bunyi alarm tanda bahaya atau semacam lonceng kematian. Apa boleh buat, kaki ini terpaksa melangkah ke dalam kelas. Duduk persis di depan meja guru, gara-gara aturan moving-sit yang diusulkan temanku Nining.
Tik...tak...tik...tak...
Harapan pupus sudah. Bu Mariana sudah masuk kelas dengan sapuan mata tajam.
”Good Morning”, sapanya
”Good Morning, Mom”, balas kami serentak. Untuk kalimat-kalimat standard macam ini aku masih bisa ikutan berteriak.
”Keluarkan Student Book kalian !!!”.
Mati aku. Kitab keramat ini sengaja nggak dibawa.
Tik...tak...tik...tak...
Bu Mariana mulai melangkah memeriksa meja demi meja, beberapa langkah jauhnya dari sebuah meja di mana seorang penghuninya lagi panik. Celakanya beliau bisa berjalan lancar kerena tak satupun yang tak membawa Student Book. Ya, siapa sih yang berani melawan titah Ibu Mariana? Ya Tuhan... kenapa hari ini Engkau jadikan temanku patuh semua???
Tik…tak…tik...tak...
Ah, mana itu Si Benny? Walaupun dia cukup galak saat latihan, tapi kehadirannya saat ini sangat diperlukan. Tak ada tanda-tanda dia akan segera datang. Mataku mengarah keluar lewat jendela, berharap teman-temanku sudah berkumpul. Dan kupingku kini mengarah ke pengeras suara yang ada di depan kelas. Siapa tahu ada panggilan dari Seksi Upacara untuk latihan. Tapi panggilan itu tak kunjung terdengar.
Dan tiba-tiba saja Ibu Mariana telah berdiri persis di sebelahku
”Hey seh, Adriano, mana Student Book loe?!”. Mati aku
“Ketinggalan bawa Bu”. Mencoba berkelit sambil berharap ketukan pintu
“Apa aja sih isi tas loe, sampe nggak bawa Student Boo ??? Coba buka, gue mau periksa isinya !!!”. Seakan malaikat Zabaniyah siap melemparku ke neraka.
Tik…tak…tik…tak…
Aku mulai membuka ritsleting tas dengan pelan dan gemetar. Soalnya, aku tahu apa isinya. Salah satunya adalah ”granat” yang akan meledakkan rasa malu begitu tas dibuka. Dan ”granat ”itu langsung menyembul dari balik ritsleting. Meledak lewat teriakan Bu Mariana,
”Lihat ! Adriano bawa sikat raksasa dalam tasnya !!!”.
Pyar... itu adalah sebuah sisir blow berukuran lumayan besar !!! Saya bawa obat ganteng untuk nyisir sehabis latihan. Dan sisir blow lagi trend saat itu. Tapi, maluuuunyaaaa...... Teman-teman semuanya tertawa ngakak, tapi di kupingku terdengar mirip suara petasan caberawit yang meledak beruntun.
Tik...tak...tik...tak...
Dan ”Pagi Pembantaian” itu belum berakhir,
”Didi, Adriano ini tinggal di mana ? Kok bawa Student Book aja nggak mau ?”. Beliau bertanya ke teman semejaku. Didi sekeluarga memang cukup dekat dengan Ibu Mariana.
“Di Kampung Melayu, Bu”. Aku memang tinggal di Kampung Melayu Besar, tepatnya di jalan Masjid II.
“Lha, nggak jauh kok”.
Wah, pertanda bahwa kesalahan ini nggak termaafkan. Berarti aku harus pasrah untuk sebuah hukuman. Tapi,
“Tok…tok…tok…”. Suara ketukan terdengar jelas dari arah pintu kelas. Juru Selamat itu menyembulkan kepalanya dari balik pintu sambil tersenyum ramah.
”Selamat pagi Bu. Mau minta ijin ngajak teman-teman IPA 1 latihan gerak jalan”.
Ahhh... Benny datang persis sebelum vonis dibacakan. Bak petinju, aku ini Saved By The Bell. Thanks, Ben.

(Oeoet, terima kasih kirimannya)

Jumat, 23 Januari 2009

Kandang Laki

18:45 mulai kukendarai mobilku dari rumah, sampai di lokasi pukul 19:40 teman-temanku beberapa sudah menunggu, kecuali Ratna semuanya bapak-bapak karena akupun sudah bapak-bapak.

Wisata kuliner kali ini bersama teman E81, inisial yang mudah dihafal namun memiliki terjemahan yang cukup panjang yaitu yang pernah kuliah di Fakultas Teknik Universitas Indonesia jurusan Elektro angkatan 81.

Tempatnya sengaja aku tidak sebutkan karena sebaiknya begitu disamping sang pemilik tempat kami berkuliner belum membayar uang promosi. Masakan Jepang yang disajikan, bagi yang tidak jelas bisa bertanya kepada Ratna yang peranakan campuran Bali dengan Jepang, tapi jangan bertanya kepada Ucup Strauss yang campuran dedak dengan bekatul.

Jaman kuliah kalau berkuliner nggak banyak mikir, tinggal jalan ke bengkel, cari tempat duduk dan teriak “Yamin” datang deh penjual mie ayam membawa yamin dengan kuah terpisah, daun bawangnya agak banyakan kalau pesanan itu untukku.

Aku memilih set menu Sukiyaki yang disajikan bersama meat ball goreng, cawan musi, beserta nasi, irisan buah segar dan oca hangat. Sebetulnya aku ingin Tepanyaki set sayangnya disajikan tidak bersama cawan musi, sayangnya lagi si cawan musi kurang oke dibandingkan dengan di Jobu Sushi. Jobu punya asyik banget.

Makan sambil bercanda dan cela-celaan itu tradisi kami dari dulu, bahkan konon cela-celaan bagian dari ektra kulikuler anak Teknik, STMnya UI.

Saat kami membicarakan facebook, Ucup bilang begini “Elo jangan nyari Omen di fesbuk, mana ada ............ Adanya tante Karra”, kini giliran aku yang kena.


Sehabis makan kami berkaraoke di tempat yang sama. Lagu pertama Gereja Tua karya Panbers, tapi suaranya nggak semerdu Panjaitan Bersaudara, yang ini suaranya agak terkesan ngos-ngosan, mungkin Panbers gaya kami adalah gaya Panjaitan Bersepeda.

Aku belum bilang ya kenapa aku memakai judul Kandang Laki. Bukan karena lokasinya dekat Kandang Badak atau Kandang Batu. Bukan juga karena yang ikutan 1 perempuan ditemani 11 lelaki. Ah, nanti deh akan tahu sendiri.

Kami berencara Reuni E81 hari Jumat malam tanggal 24 April untuk itu kalau ada teman kerja, kakak, adik, bapak yang termasuk E81 kasih tahu kami ya.

23:30 kaki mulai meninggalkan lokasi, tempat pertama yang dicari toilet, sudah dikunci semua kecuali satu tempat persis di bawah restoran. Sebuah klub malam yang dapat dilihat dari vide or void restoran.

Menuruni tangga kami menuju toilet tersebut. Tersedia 2 toilet duduk dan 1 toilet kencing berdiri. Dodo masuk tapi tak lama keluar. “Udah selesai Do?”.
“Mana bisa gue kencing begini, masa kencing sambil main liat-liatan”
Tak lama 2 pemuda keluar dari toilet yang Dodo masuki, mungkin mereka yang bermain mata dengan Dodo.

Di tempat cuci tangan terpampang iklan lowongan pekerjaan dengan gambar pria tampan, yang menarik adalah tulisan “Gay is a must”. Toilet ini memang punya klub malam khusus kaum gay.

Melalui tangga darurat kami turun menuju tempat parkir di basement, pintu yang dijaga oleh 4 orang satpam. Aku tidak sempat bertanya apakah satpam tadi direkrut dengan persyaratan “Gay is a must” juga nggak ya?.

Mereka tersenyum kepada kami rombongan lelaki, pelanggan baru mungkin pikir mereka. Mereka memberikan senyum manisnya juga nggak ya kepada Ratna yang memakai jilbab, aku tidak memperhatikan.

Tepat 10 meter dari pintu darurat terparkir mobilku. 24:30 sampai rumah, bermain fesbuk dulu sebelum tidur, teryata teman-teman chatting sudah tidur duluan atau sedang dalam perjalanan menuju Kandang Laki.

3 comments:

  1. selamat men,gaya tulisannya oke.ditunggu tulisan berikutnya.
    ReplyDelete
  2. Dimana tuh men restonya? Apa di dharmawangsa ato gdg Jaya?

Selasa, 20 Januari 2009

Rebutan Isi Ransel

W.B. Iriansyah '83

Masa penjurusan di I 8 di tahun 1980 telah berlalu, saya masuk ke jurusan IPA dan beruntungnya masuk I IPA 8. Pada suatu pagi saat istirahat pertama, Benny Gaok beserta beberapa temannya secara informal bertanya kepada kami sekelas apakah ada yang mau bergabung masuk APADELA untuk ikut mendaki Gn. Gede pada hari Sabtu menjelang. Saya W.B Iriansyah atau biasa dipanggil Ian saat itu langsung setuju ikut pendakian, karena memang saya suka mendaki sejak SD (1976) dan juga sudah mengenal Benny beberapa tahun sebelumnya. Dari seluruh kelas I IPA 8 (angkatan 1983) hanya saya yang ikut serta.


Pada Sabtu yang ditentukan setelah pulang sekolah, saya ke rumah Benny Gaok di bilangan Tebet. Seperti biasa "anak2 gunung" pada tahun 70an dan awal 80an selalu menumpang truk gratis dari lampu merah Cililitan sampai ke Cimacan dan langsung ke Cibodas.

Setelah berdoa mulailah kami mendaki dari Pos di luar Taman Cibodas (kalau tidak salah pendakian dari dalam Taman Cibodas harus memiliki ijin dari PPA sejak 1978). Beberapa saat setelah melewati Kandang Batu, rombongan kami menemukan sebuah ransel besar yang ditinggal begitu saja di atas batu, setelah menunggu sejenak siapa tahu ada rombongan lain sebagai empunya ransel, kami pun mulai membedah ransel, beberapa tangan masuk ke dalam ransel termasuk saya dan Benny. "Ini buat gue" ujar Benny sambil memegang sweater dengan kualitas baik dan pasti mahal harganya, sedangkan yang lain mengambil jaket parasut. Giliran tangan saya masuk ke ransel langsung terasa sebuah botol dan saya ambil, "Yang ini buat gue" ternyata sebotol Martini yang masih utuh.

Beberapa anggota rombongan meminum Martini untuk mengusir rasa dingin dan disisakan 3/4nya. Karena saya yang memegang, maka sepanjang pendakian saya minum terus sampai habis yang menyebabkan saya mungkin agak mabuk (ya pastilah 3/4 botol Martini sendirian..hahaha). Saya baru benar tersadar saat sampai di Air Panas, Benny mulai mengikat pinggang kami satu persatu dengan tali yang terhubung satu dengan lainnya , sambil berujar "Hati-hati ya...badan condong ke kiri"...Air Panas dengan batuan yang licin...kalau jatuh ke sisi kanan berupa jurang pastilah "Good Bye" jadi saya fully konsentrasi, untuk menghilanglah pengaruh alkohol, ini urusan nyawa bung.

Dina Malik wrote at 19:02 on 27 February 2009
I can't get no....
Ian Gomper wrote at 20:00 on 27 February 2009
Inget aja loh...hehehe yes... no satisfaction....hahaha
Prahashinta Dewie wrote at 23:24 on 05 July 2009
Ooohh ini tho wajah Ian G....ya..ya..gw inget deh
Ian Gomper wrote at 23:26 on 05 July 2009
Ya iyalah Chin...sptnya satu kelas di 2ipa10 ya...

Setelah melewati Tanjakan Akar (sekarang oleh tim SMANDEL PAS 50 dinamakan Tanjakan Setan Ngehe), sampailah kami di puncak Gn. Gede, kami berkumpul menantikan Matahari Terbit sambil saling meledek dan bercanda.
Saat Matahari naik cukup tinggi, Benny memimpin Doa Bersama untuk keselamatan, "Oke kita sekarang turun" kata Benny sambil menunjuk ke arah Bibir Kawah.
Bibir Kawah...?? "Ben kita turun ke mana" tanya saya (biasanya saya naik Gn. Gede turun melalui rute yang sama yaitu Cibodas). "Cipendawa lewat Surya Kencana...ayo berangkat" jawabnya. Saya ikut saja.... sejurus langkah saya baru menyadari kenapa ada acara Doa Bersama lagi...ternyata perjalanan menuju Surya Kencana membuat nyali ketar-ketir...jalan setapak (lebar 50cm) sisi kiri kawah...sisi kanan jurang leher kawah...ditengah jalan kami sempat tiduran di sebuah ceruk yang hanya muat untuk satu orang...anginpun menerpa cukup kencang membuat badan kadang condong ke kanan dan kiri.

Tapi perjalanan meniti bibir kawah tidak percuma, semua terbayar dengan pemandangan spektakuler Surya Kencana...dari atas, bagi saya Surya Kencana bulat putih seperti bekas UFO mendarat. Kamipun mengambil sejumput kecil Edelweiss untuk kenangan. "Ambil sedikit aja, masukin kantong celana" ingat Benny

Di Pos Cipendawa bawaan kamipun diperiksa, tapi karena kami simpan di celana dan cuma sedikit, maka loloslah rombongan dari pemeriksaan. Tetapi terkejut kami ketika ada rombongan (sebuah sekolah di Jakarta- tidak etislah menyebut namanya..hehehe) menanyakan apakah kami menemukan sebuah ransel di perjalanan yang mereka tinggal karena tidak kuat untuk membawanya. Keruan dengan kompak kami menjawab tidak..hehehe...ya sudah..menurut hukum internasional harta karun yang berada di perairan internasional kan milik penemunya...ya kan...ya kan hahahaha.

Begitulah sedikit pengalaman saya dengan APADELA yang membuat saya dapat melihat dan menjejakkan kaki di SURYA KENCANA.

NB : Bagi yang merasa ikut rombongan pendakian ini dan punya fotonya boleh berbagi dengan saya



2 comments:

Ines Muljawan said...
Kak Ian,
Kandang batu kan letaknya kalo dari arah Cibodas itu setelah Air Panas .. Jadi kalo kak Ian nemu Martininya setelah Kandang Batu, berarti cerita diatas kurang akurat.
Mungkin kak Ian & kawan2 menemukan ransel tsb di track antara Pondok Pemandangan & Air Panas ..
Ian Gomper said...
iya ya benar juga (padahal sdh dikoreksi The Omen)......ya kalau begitu setelah melewati danau biru sebelum air panas....thanks koreksinya maklum 30 thn yg lalu hehe

Kamis, 08 Januari 2009

CHORMEN

za ada resep nya nih silahkan mencoba ya bu.
kali2 aja bisa enak. (Lucy)

Ok bozz amaaaaan "jompo resto" (Liza)

Cy,
lau dae resep...kuat g? gw ud rd lmes ni...... pse urgent!
sp watu ogut siba lsg nyupa cucu ky DHS......(ky jasa kurir)
HP

tolong terjemahin dong emailnya Mas Haryo, waduh gue langsung kaya orang gugup deh kalau baca emailnya HP (Jhnonk)

Cayang, (???)
Elu ade resep...kuat, nggak? gua udah rada lemes nih...... please urgent!
siapa tau gua bisa langsung punya cucu kayak DHS......(kayak jasa kurir) (Penyok)

Ini resepnya, asli berguna... 1 kuning telor bebek, 1 sendok kecil air lemon atau jeruk nipis, 1 sendok makan madu dan sedikit kopi semua diaduk dan langsung diminum... Selamat mencoba.. Asli gue ghak boong krn bininya sohib gw yg ngomong.. Bagi temans yg ikut coba please share ama temans yg lain.. Badan jg jd enak katanya... (Liza)

Kalau ngelemesin gimana? (the O)

Chormen atau Karra, percuma loe tanya2 pelemes segala, selama elo masih minum obat kuat seperti ini ( see attm ). (Iwan)



From: himawan
To: sma8_81@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, January 07, 2009 7:58 PM


mohon maaf, kiriman sebelumnya salah kirim :

Chormen, jangan tanya masalah obat pelemes, kalau loe masih suka mengkonsumsi bahan penguat seperti ini ( lihat gbr )'