Minggu, 27 Desember 2015

Kecak Misbar



Begitu asyiknya ngupi-ngupi di Pomegranate Café sampai lupa kalau tak lama lagi matahari mulai terbenam padahal acara berikutnya menonton tari Kecak, Mau ke Uluwatu atau Batubulan kejauhan, cari aja di sekitar Ubud, dapatlah di salah satu Puri yang mempertunjukan tari Kecak setiap Kamis malam.


Tari Kecak kali ini agak berbeda, Kecak Misbar namanya, lakonnya tentang Rama dan Shinta. Aku awalnya agak malas-malasan menontonnya, mau menunggu di mobil kelamaan, akhirnya aku ikutan menonton sendratari yang berbandrol 75 ribu per orang, berempat dengan Inka, Karra dan Karris. Apalagi aku belum pernah menyaksikan Kecak Misbar.

Penotonnya nggak banyak, hanya kursi bagian depan yang ditata berbentuk huruf U yang terisi. Sementara pemainnya ratusan. Bagi-bagi honornya bagaimana ya?, urusan merekalah.


Cak …, cak …., cak …., rombongan pemain lelaki bertelanjang dada mulai memadati arena, cerita Rama dan Shinta dimulai, sayang bulan purnama tertutup awan, dan si awan semakin pekat dengan ditandai gerimis kecil.

Mailaikat yang menurunkan hujan seolah memutar tombol cuaca yang merubah gerimis kecil membesar, aku sempat pindah duduk ke tempat yang beratap sebelum pimpinan sendrati tari memperbolehkan penonton berbaur dengan pemain utama berfoto-ria.

Kami menuju mobil dengan Komang yang siap di belakang kemudi, aku baru sadar kalau kalau lakon tadi belum sampai Rama membebaskan Shinta dibantu Hanoman. “Tariannya dipotong pak karena hujan”, Komang menjelaskan.

Aku teringat pada dahulu kala ada yang bernama bioskop misbar, kali ini aku menyaksikan tarian Kecak Misbar, ya ada embel-embel misbar alias gerimis bubar.


Gerimis masih menemani kami berbelanja dan memasuki kamar hotel, yang dipilihkan dengan lokasi yang terbaik oleh sang receptionist. Paginya pilihannya terbukti di depan kamar dengan teras yang luas bertengger kolam renang di tepi sawah dengan padi yang merunduk, bagus banget.

Alunan musik hidup gamelan memeriahkan peresmian pura baru di hotel yang kami diami, persis di hari Natal 2015, aku duduk di teras kamar menyaksikan beberapa rombongan bergantian membawa sajen dan menyipratkan air suci di beberapa tempat.


Suara gamelan Bali seolah menyeretku ke arahnya, beberapa tarian Bali dipentaskan, bagus banget, dan gratis nggak pakai gerimis.

Beberapa pendeta Hindu berdoa di posisinya masing-masing, sesekali aku duduk di pelataran tempat pendeta muda dengan tumpukan sajen mengelilinginya. Hari ini puncak upacara yang digelar sejak seminggu lalu.

Seorang perempuan menyuguhkan minuman berupa teh dan kopi, pisang goreng dan kue basah. Sudah nonton pertunjukan gratis, nggak pakai gerimis dapat kudapan pula, asyik nggak tuh!.


Semula aku ragu mengambilnya, karena kamu tahu kan Bali selalu menjaga keindahan. Nah, cangkir minuman ditutup dengan anyaman, apalagi kudapannya, piring kecil dimasukan ke dalam ayaman yang cantik sekali, Bali banget pokoknya. Itu yang membuat aku ragu dan terperangah sejenak, karena aku kira disuguhi sajen.

Liburan Naik Kursi Roda



Cerita liburanku bersama keluarga kali ini memang sedikit agak horor, abis selain naik pesawat aku juga naik kursi roda, ini bukan bercanda loh!.


Kali ini aku hanya duduk manis, nggak mengurus tiket, penginapan dan transportasi, semuanya sudah diatur oleh sang EO, Karra, Karris dan ibu Inka. Urusanku cuma mengemas pakaianku sendiri, yang disupervisi setiap hari oleh wanita yang menemaniku berumah tangga lebih dari seperempat abad, “Udah ngepak belum?”, atau “Kok, belum ngepak juga!”, bayangkan setiap malam padahal Belandanya masih jauh!. Di malam terakhir sebelum kami berangkat ke esokan harinya, 24 Desember 2015, tugas mengemas pakaian aku selesaikan nggak lebih dari 5 menit.

Pesawat penerbangan kedua sehari menjelang Natal yang bertempatan dengan libur Maulid Nabi Muhammad SAW, terlambat satu jam. Sesampainya di tujuan sudah lewat tengah hari, mobil sewaan yang dikemudikan oleh Komang sudah menanti, “Mang, ke Ubud” kata istriku yang menjadi pelanggan Komang, putra Bali asli. Karris juga memanggil Mang tidak hanya kepada Komang tetapi kepada semua lelaki Bali yang disapanya. Emangnya di Sunda manggil Mang.


Ubud menjadi tujuan paling jauh liburan kami kali ini, selebihnya pantai-pantai di daerah selatan, Pandawa salah satunya. Jujur aja aku sebetulnya kurang suka pantai abis panas dan pliket, apa boleh buat aku nggak ikutan bikin itinerary-nya.


Selepas makan siang dengan nasi Bali, check in penginapan, mengunjungi museum Blanco, dilanjutnya dengan acara ngupi-ngupi di Pomegranate Café. Yang terakhir aku sebutkan ini mencarinya agak susah, banyak yang nggak tahu lokasinya walaupun penduduk asli Ubud sekalipun.

Untung aku membawa handphone pintar keluaran terbaru, sudah tentu cocok dengan orang pintar sepertiku. Katanya dari museum kami harus berjalan kaki, emang nggak bisa naik mobil?.
Bisa sih naik mobil tapi nggak berapa lama ketemu gang yang hanya bisa dilalui naik motor atau berjalan kaki, “Nggak salah nih?” kuucapkan pertanyaanku.


“Nggak salah pak, emang ini jalannya” begitu ucapan yang terlontar dari jawabannya. Kamu jangan buru-buru bilang, “Hebat banget HP pintarmu Men!”, karena jawaban yang kuterima tadi memang bukan dari HPku tapi dari wanita Bali yang naik motor nggak pakai helem.

Nah, jalan kakinya menurut google maps selama 21 menit, mana harus bolak-balik menyusuri jalan setapak yang di kiri dan kanannya persawahan Ubud, bagus banget, padahal keseleo di kakiku belum sembuh betul, ini salah satu penyebabnya aku sesampainya di Bandara Soetta harus naik kursi roda sampai taksi, hiks.


Sakitnya hati ini, eh sakitnya kaki ini terbayar dengan liburan menyenangkan, menapak-tilasi bulan madu 25 tahun lalu, namun sekarang bersama 2 buntut.

Nah, beberapa tahun lalu kami juga ke Bali dengan oleh-oleh kakiku pincang sesampainya rumah nggak bisa jalan, gara-gara asam urat, mungkin karena enaknya berkuliner di Bali. Berhubung itu pertama kali kena asam urat, jadi aku nggak mengira karena penyakit tetapi karena pengaruh mistis.

“Jangan nakut-nakutin gitu dong! Emang pengaruh mistis apa!”.
“Gara-gara aku nginjek sajen di Pasar Sukowati”.