Sabtu, 26 Januari 2013

Sedekah Pantat



Tulisan ini bukan bermaksud untuk melakukan pelecehan agama apalagi melakukan pelecehan terhadap kaum perempuan, namun tulisan ini merupakan kejadian nyata dan akulah orang yang menerima sedekah pantat itu.

Cerita ini tiba-tiba kembali mencuat di acara Temu Jidad Apadela: Ciampea, 26 Januari 2013, acara mengenang cerita dan dosa-dosa lama sambil makan duren sebagai hidangan pelengkap setelah makan bawal bakar yang lemak nian!.


Sebelumnya aku mau cerita tentang makan duren. Mas Bambang, suami Kania yang menjadi tester, satu persatu duren yang dibuka dirasakannya, aku menyimak komentarnya.
“Dingin …., dingin …., mantap …..!”, keluar dari mulut mas Bambang.
“Coba, mana yang mantap tadi!”, aku meminta belahan duren yang dibilang mantap, wuih!, lemak nian!.
Tatik yang mulai ngeces melihat aku menikmati si durian yang mantap banget, “Men, bagi duren yang kamu pegang!, enak banget ya!”.
“Wuek ….!, jangan Tat, durennya nggak enak!, udah mau busuk!, nanti elo sakit perut!, kalau elo sakit kita-kita yang repot!”.
“Biar aku nggak minta ya …!, pasti enak banget deh …!, tuh kan enak banget …!”.


Dari duren kembali ke cerita tentang pantat. Pemilik pantat namanya Pipin, sekarang dia agak kurusan dibandingkan zaman SMA, jadi ukuran pantat Pipin waktu di SMA jauh lebih gede dari yang sekarang makanya perlu disedekahkan.

Nah, dulu saat Apadela (Anak IPA Delapan 81 dan 82) getol-getolnya naik gunung, aku dan Aria kebagian getahnya harus menyeret-nyeret perempuan yang ikutan, apalagi saat mendekati puncak gunung, terutama di Tanjakan Setan. Aria mendapat giliran menarik, aku di bawah. Pinokio (Vivi Muvida), Gepeng (Tri Utami), Jagung (Fiera Prijantini), Udeng (Puger Indrini), Bluwek (Rian Mega ’82) sudah lewat, tinggal Pipin alias Gede masih nyangkut di Tanjakan Setan.

 Pipin Amarawati.
 Aria sudah kelelahan, “Men, bantuin gue dorongin Pipin dari bawah!”.
“Dorongin gue Men!”, dari suaranya aku merasakan kecemasan Pipin.
Bagaimana Pipin nggak cemas soalnya ada peraturan tak tertulis Apadela, “Kalau nggak kuat naik gunung ditinggal aja!”.

Aku mencoba mendorong kaki Pipin namun sia-sia.
“Men, dorong aja pantatnya!”, pinta Aria.
“Yang bener aja! Masa gue dorong pantatnya!”.


Melihat aku ragu-ragu, Pipin yang sudah pasrah karena kelelahan, dia bilang begini sambil menatap mataku, “Men, nggak apa-apa, dorong aja pantat gue!, Men, just for your information, gue yang punya pantat udah ngizinin!”.

Hari itu, jadilah aku orang pertama di Smandel yang menerima sedekah pantat, berupa pantat Pipin yang tembem!. 

Walaupun dipantatin Pipin sebagai orang timur aku masih bisa bilang, "Untung". Untungnya pantatnya Pipin sudah disekolahin!.



Rian Mega chormen,,, makasiih akhirnya gw bisa liat sunrise di lembah surya kencana, berkat kenekadan teman2 yg mau ngajak gw, kapan lagi liat sunrise di surya kencana yaah, tapi saat ikut gw sempat di cegat jagawana, gara2 ransel yang gak pernah gw gendong diisiin adelweis,,,sampe sekarang gw blm tau siapa yang masukin tuh kembang cantik kedalam ransel
Rika Dewi Ha ha ha, jd inget pengalaman nekat wkt naik gunung dr cibodas , rame2 dikejar petugas krn g dpt ijin tetep maksa naik sp nginjek2 sawah yg baru ditandur diomelin ma p' tani ... walau cuma sampe kandang badak (kalo ga salah tempat gue ampir pingsan) dan ga ada yg bawa minum akhirnya sampe juga di air terjun yg keren ..., capenya gilaaa ..., temen2 masih ada yg inget ga ya ... Bener2 Pengalaman tk terlupakan rasanya masih kelihatan didepan mata .

Kepergok Berciuman di Laboratorium



Rasanya kurang fair kalau aku suka meminta kawanku untuk berbagi cerita lama sedangkan aku sendiri nggak ikutan bagi-bagi cerita.

Nah, aku ingat kisah ini ketika bersama Apadelaers bertemu jidad (bukan salah ketik, tetapi sengaja jidad pakai huruf de) di Ciampea, 26 Januari 2013, sambil menikmati kudapan berupa kacang dan jagung rebus. Jagung tuh termasuk makanan kesukaanku jadi aku nggak menampik tawaran Wati untuk paruhan jagung rebus.

Sebelum berpisah dengan ikan mas  yang berada di 2 kolam yang seluruhnya berwarna hitam untuk selama-lamanya, karena mereka dipanen dan dijual, ikan mas berwarna hitam berbaris di kolam yang airnya yang sengaja disisakan sedikit, seolah memberi salam selamat tinggal.

Ingat ikan, ingat pula Praktikum Biologi.
Di Laboratorim Biologi kami pernah membedah ikan mas berukuran sama dengan yang dipanen cuma beda warna, kuning. Kamu tahu nggak mengapa si korban pembedahan harus berwarna kuning?, sebab yang warnanya kuning anatomi sisiknya lebih jelas dibandingkan dengan yang berwarna lain apalagi yang berwarna hitam, itu kata bapak Dasuki, insinyur lulusan IPB yang mengajar Biologi kami di kelas 2 IPA 8.

Setelah melakukan pembedahan kami diharuskan mengambar anatomi sang ikan, kata pak Dasuki gambarku yang paling bagus dan benar, setiap mengoreksi gambar kawanku selalu beliau berkata, “Coba contoh gambarnya Chormen”, mantap nggak tuh!.
Kania Nursanti Keluarga dan sahabatku ...

“Men, kenapa sih selalu pak Dasuki bilang gambar elu yang bagus, coba lu lihat gambar gue kan lebih bagus dari gambar elu!”, kata Uun sambil menjejerkan gambarnya di samping gambarku.
“Eh, Un mana ada ikan mas yang sisiknya dari depan sampai belakang ukurannya sama!. Lagian gambar ikan elu nggak ada garis putus-putus di atas abdomen dari depan ke belakang”.
“Emang ada garis putus-putusnya”.
“Emang elo nggak lihat!”.

Itulah kesalahan umum saat mengambarkan anatomi ikan, mereka tidak menggambarkan garis putus-putus yang hanya terlihat jelas di sisik ikan mas berwarna kuning.

Kenapa gambar anatomiku paling bagus, ada rahasianya. 


Apadela jika bercanda nggak mengenal lelah, termasuk di Laboratorium.
Nah, di Laboratorium Biologi tuh aku berpura-pura berciuman dengan ikan yang bernasib sial karena mati dibedah, kawan-kawan tertawa geli termasuk pak Dasuki.
“Coba Men, lagi Men!”.
Aku memperagakannya sekali lagi, kali ini tawa kawan-kawan semakin menjadi soalnya ketika aku berpura-pura berciuman tiba-tiba tanganku didorong Ibenk, jadilah aku berciuman betulan dengan si ikan, yak! Jijay banget!.

Itulah mengapa gambar anatomi ikanku paling oke, gara-gara ada chemistry yang kuat dengan ikan yang aku cium kali ya!.

Memancing Ikan Dapat Buaya



Kamu masih ingat nggak pelajaran Memancing sewaktu di SMA?. Kalau jawaban kamu, “ingat”, aku malah jadi bingung, emang ada?.

Aku mau cerita nih serunya memancing bersama kawan satu kelasku di SMA dalam acara Temu Jidad Apadela: Ciampea 26 Januari 2013. Kalau kamu heran kok Apadela kumpul melulu sih!, terus terang aku juga terheran-herin.

Acara ini dimotori oleh Kania, Aria, Iriana dan kawan-kawan. Iriana lagi rajin-rajinnya bikin acara, baru aja dia bikin reuni es-em-pe, dan Bakti Sosial Banjir Smandel 81, Januari 2013.


Nah, pagi-pagi kami janjian ketemuan di luar tol Sentul, ada 6 mobil yang ikutan jadi penumpangnya dipadat-padatin, soalnya tempat parkir di lokasi terbatas. Nggak bisa barengan satu bis sebab jalannya kecil banget maklum lokasinya di perdesaan.

Nyonya rumah kali ini Kania yang esok, 27 Januari, hari ulang tahun bersama kembarannya Aria. Kania sudah menyiapkan ikan bawal yang siap tangkap untuk dibakar. Sambil menunggu si bawal aku mencoba memancing, ada 5 buah pancing masih dibungkus plastik jangan dianggurin aja!.

Aku coba di kolam besar, pasang umpan celup-celup dikit dapat, ikan mas kecil. Aku lepas lagi ikan kecil itu, pasang umpan lagi dan celup-celup dikit dapat lagi ikan mas kecil lagi, ukuran sama dengan yang tadi. Jangan-jangan ikan yang tadi, pasti bego banget itu ikan masa kena pancing sampai 2 kali.

Mata pancing aku arahkan ke kolam lain, celup-celup dikit dapat ikan nila merah ukuran setengah kilogram, ikan aku lepas kembali. Aku coba sekali lagi, sebentar aja sudah dapat lagi nila merah. Busyet deh! Gampang amat! Nggak sampai 10 menit dapat 4 ikan.


Lomba memancing dibatalkan, nggak seru! Mancingnya terlalu gampang, nggak ada tantangannya.

Ada beberapa kawan mencoba, Ratih salah satunya, dia coba berkali-kali tetap nggak dapat.
“Kok gue nggak dapet-dapet sih!”, tampaknya Ratih mulai putus asa.
“Umpannya udah dipasang belum?”, aku sok mengajari.
“Emang harus pake umpan ya?”, sambil ditariknya sang pancing keluar dari kolam, dia kebinggungan, “Umpannya ditarok di mana?”.

Willem yang memperhatikannya tertawa geli, “Ratih, elo gimana mau dapet! Jangankan umpannya, mata pancingnya aja nggak ada! Masa mancing pake benang doang! Kalau begitu sih mancing ikan dapetnya buaya (Syamsi)”.

Ketahuan deh kalau Ratih dulu suka membolos, waktu pelajaran memasang umpan dia nggak masuk. Padahal memasang umpan ada tuh di Diktat Memancing halaman 19.