Jumat, 05 September 2014

Edisi Burung Punai



Sudah lama nggak beranjang sana ke kantor Jojo, Smandel 80, yang menjadi salah satu klienku di asuransi, MetLife. Jojo merupakan klienku yang tercepat untuk memutuskan memegang polis MetLife. Bayangkan closing sebelum aku sempat dipersilahkan duduk di kantornya.
“Men, MetLife itu apaan? Asuransi ya?”, Jojo berkata sambil memperhatikan kartu namaku sebagai Marketing Associate.
“Iya, Jo!”, dengan sedikit dugaan jangan-jangan ditolak.
“Selamat ya Men!, elo ketemu orang yang tepat”, sambil mengulurkan tangannya untuk menyalamiku, “Gue suka banget sama asuransi”.


Aku juga ingat saat itu aku ditraktir Jojo di rumah makan Padang di belakang kantornya, enak banget, aku kangen makanan itu.
“Men, daripada makanan Padang mending sekalian ke Medan Baru, makan kepala ikan dan burung Punai”, kalimat Jojo di grup WA Tongtek.
“Burung punai apaan tuh Jo?”.
“Udah elo coba aja nanti”.

Nah, grup WA Tongtek adalah komunitas penggemar kuliner, wajar aja banyak yang menyambar mau ikutan.

Hari H, Sekar alias Susi mengirim berita lewat bbm, untung aja pagi itu hapeku baru kutemukan setelah seminggu menghilang.
“Men, Medan Baru patokannya apa?”, katanya.
“Patokannya GPS, gue nanti shalat Jumat di Berlan, kalau mau ikutan tunggu aja di Gramedia”.



Ketika aku dan Sekar sampai, kulihat Liza dan Didut tengah duduk di depan meja yang bersih, nggak lama Jojo datang.
“Gue sama Didut udah makan, tadi rame banget di sini”, sambut Liza.

Pramusaji meletakan beberapa piring makanan dan sepinggan kelapa ikan ukuran besar berada persis di depan mataku.
“Waduh, gue nggak tahu gimana cara makannya?”, aku bertanya.
“Begini nih!”, Didut berdiri mengambil sendok garpu dan memotong kepala kakap menjadi beberapa bagian, “Udah, tinggal ambil aja!”.

Bingkisan dari Jojo, masing2 mendapat 4 punai. Terima kasih ya Jo!.

Mungkin kamu berpikir, norak banget belum pernah makan kepala ikan!. Jujur aja aku dulu nggak suka makan ikan, maaf ya aku biasanya muntah kalau makan ikan yang berkuah. Bahkan pernah aku berkunjung ke kerabatku yang menyajikan pindang kepala ikan, aku hanya bisa bilang, “Maaf ya!, aku nggak bisa makan ikan yang berkuah”.

Lain dulu, lain sekarang, itu ikan enak banget. Mana nih si burung punai?. Aku lihat ada 4 potong di atas piring kecil, seperti biasa kalau unggas aku memilih bagian dada, kok sama semua. Aku ambil satu yang kupikir dada, setelah aku perhatikan ada leher, badan, sayap, dan kaki, eh ternyata si burung punai kecil banget!, aku pikir segede garuda.


Ian, Atik, dan Erma datang menyusul, kulihat Ian makan kepala ikan nikmat banget, sampai dijilat-jilat dan diisep-isep itu tulang kepala ikan.
“Gue baru tahu makan kepala ikan kayak begitu”, kataku.
“Iya gue juga baru tahu!”, Susi nggak mau kalah, “Tahu gitu gue isep-isep juga itu kepala ikan!”.
“Sus, elo mau ngisep-ngisep kepala ikan?, kalau elo mau gue ambilin nih kepala-kepala ikan yang udah dibawa ke belakang”.

Selasa, 02 September 2014

Sepatu Cinderella



Menurut catatan Toro, Smandel 80, aku adalah Smandeler pertama yang mengunjungi farm tempat pembibitan ayam kampung, Warso Unggul. Kunjungan yang tidak berkaitan dengan urusan piyik ayam kampung, bukan juga urusan durian, namun berurusan dengan keandalan sistem kelistrikan di farm yang dikelolah oleh Toro.

Nuansa nepotisme mulai terasa, ketika aku menjumpai Tuti, istri Toro, yang merangkap pegawai di pembibitan ayam. Pantas saja Toro betah dari Senin sampai Jumat di farm, bagaimana nggak betah kemana-mana bareng istrinya, istilah zaman sekarang kemana-mana bawa rantang.



Aku ke sana bersama Nasarudin dan Dani sejawatku untuk memberikan solusi masalah kelistrikan dan hasilnya … te …. ret …. kami memberikan solusi sementara alias solusi darurat, paling nggak investasi mesin yang ber-em-em nggak jadi ember.

Mumpung sudah di situ Toro mengajak kami trekking, nggak jauh tapi pemandangannya bagus banget. Walaupun trekking nggak lama namun bisa membikin kemeringet, maklum sudah jam sebelas siang. Kata Toro bagusnya trekking jam setengah 5 pagi, nah loh!, aku musti berangkat jam berapa dari rumah.

Tuti menawari kami makan siang, hasil masakannya sendiri, sayur lodeh, empal, tempe, tahu, bandeng, sambel terasi dan ditemani kerupuk kampung yang warnanya putih keriting. Enak banget, aku sempat nambah, untung nggak dilarang.
 
Omen siap santap sayur lodeh+daging empal+tempe goreng+ tahu+sambel+kerupuk.... Omen nambah bouw...hehehe
LikeLike · · Stop Notifications · Share
Hari ini aku menjadi orang suci, bukan suci dalam arti keimanan melainkan karena suci hama karena 4 kali disemprot cairan disinfectant dengan pakaian laboratorium dan sepatu Cinderella.

Mengapa aku katakan sepatu Cinderella karena ukurannya tidak sesuai dengan ukuran kakiku, rada sempit. Sedangkan Nasarudin harus rela menggunakan sandal jepit dengan celana digulung soalnya sepatu boot terlalu mungil, mungkin punya Tuti.
 
Ada tamu dari smandel...Chormen Omen...
LikeLike · · Share

Nah, aku punya satu cerita lagi tentang sepatu Cinderella. Biasanya di mobilku selalu ada sepatu safety, jadi kalau aku pergi cukup memakai sandal. Namun tanpa sepengetahuanku sepatuku dikeluarkan dari mobil, padahal ada rapat penting dengan klien bersama Nasarudin.
“Nas, yang rapat elo aja ya! Gue nggak bawa sepatu!”.
“Di mobilku ada sepatu lagi cuma agak kecil, kamu pasti nggak muat, kamu pakai sepatuku yang ini aja!”, jawaban Nasarudin seperti suara dewa penyelamat.

Hasil rapat selama 2 jam cukup menjanjikan, musti mengucapkan terima kasih kepada sepatu Cinderella nih. Seusai rapat buru-buru kami mencopot sepatu, sakit banget!, sepatu-sepatu Cinderella kecil-kecil.

Bagaimana nggak kesakitan, aku yang biasa memakai sepatu nomor 42 atau 43 harus memakai sepatu Nasararudin yang bernomor 38, sedangkan Nasarudin harus rela memakai sepatu olah raga anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.