Senin, 28 Mei 2012

Cerita Berakhir dengan Manis


Sampailah kami di Bandara Adi Sucipto. 


Sebelum panggilan boarding berkumandang kami diminta untuk menuju pesawat untuk berfoto bersama Kapten Heriawan, sejawat sebolos dan sepernyontekan. Istimewa banget!. Sayang sesi pertama pemotretan pak Ugi nggak ikutan.
 
Sambutan pramugara membuatku tersenyum bangga dan bisa bikin GR Alumni Smandel, kami yang pertama merasakan. Begini dia bilang, “Selamat datang para penumpang pesawat Boing 737-400 Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 235 tujuan Jakarta, terutama Alumni SMA Negeri 8 Jakarta”.



So sweet …. Sebuah akhir cerita yang manis!

Sang Photographers


Udah ? Ceritanya segitu aja kang ?
Kirain cerita panjang tentang kisah cinta dua makhluk bukit duri... Hehehe

Selamat lebaran dan mohon maaf lahir bathin buat akang dan semua teman2 disini...


Salam,
Tiza


 Justru inilah adalah kisah manis om Omen...
Karena disambut oleh 'pramugara' ..:D

Kalo yg nyambut pramugari ga akan berakhir manis, jd biasa2 aja...... :))

Piiiisss ya om.........:p


AdeNirmala
Smandel'88


 Bagus ..bagud ..ada kode angkatannya.. (Rudi H)

Om, Namanya ade nirmala.., bukan bagus atau bagud. (Uchan)

Pramugara tuch cowok deh kalo ga salah...:) (Omloy)

Mari Menjahit


Nggak semua kawan menghabiskan pagi hari mereka menemaniku mencari gituan di Malioboro, ada yang asyik berburu tas Dowa, ada yang lebih suka main benteng-bentengan di Vredeburg, dan ada yang memilih meyeruput kopi dalam naungan SCC, Smandel Coffee Club. Foto-foto ini bisa menggambarkan selera mereka.

Sambil menunggu semua peserta kembali ke dalam bis yang diparkir di dekat kantor pos beberapa teman makan bakso di tenda kaki lima, jauh-jauh ke Jogja kok makan bakso.

Kami semua menuju Huma sebuah restoran yang dikomandani Marhaendra yang terletak di jalan Sangaji. Restorannya menempati rumah tua dengan langit-langit yang tinggi dan tembok yang tebal, persis rumah masa kecilku di Berlan, rumah zaman kolonial.

Aku memesan steak iga sapi yang rasanya enak banget, kamu jangan kaget kalau aku menyebutkan harganya yang 18 ribu per porsi, sedangkan minuman aku pilih jus alpukat dan teh es.

Setumpukan flash disc di meja tempat Eneng, Aria, Heppy dan Dea yang tengah mengunduh foto ke dalam gadget untuk selanjutnya di-copy ke dalam flash disc yang bejibun itu, pasti ada yang diprioritaskan, dan aku nggak perlu khawatir karena flash disc-ku didahulukan. Bukan apa-apa, ini perkara narasi, foto-foto kan perlu narasi biar lebih berbicara, ya nggak?.

Kawan SMPku, Yani Wage, ikut nimbrung di Huma, ketika kembali kami diberikan sekardus aneka keripik, tenkyu banget. Kami juga ngasih tengkyu kepada Ira yang meneraktir di Huma.

Aku berputar dari ruangan ke ruangan karena meja makan kami terpisah di beberapa ruangan, untuk mendapat cerita yang pantas aku masukan ke dalam blog, kudapat dari Didut.

“Men, elo masih inget nggak guru menjahit?”, Didut bersedia membuka aibnya.
“Gue mana tahu? Laki-laki kan nggak dapet pelajaran menjahit”, belakangan kami ingat bahwa guru yang dimaksud ibu Anidar.

Hari itu bu Anidar mengambil nilai daster yang dibuat masing-masing murid, dipanggil sesuai nama dalam buku nilai dari atas ke bawah, giliran Diah Krisdianti kok dilompati, “Ada yang nggak beres?”, Didutpun mengendap-endap ke samping meja guru, yang nggak beres ternyata menguntungkannya karena persis di samping namanya tertulis nilai 7 koma 5. Dia tersenyum, karena yang nggak beres ternyata terlalu beres.

Didut kembali ke mejanya untuk memasukan satu per-satu potongan daster yang belum dijahit, potongan itu yang tadinya dipasrahkan untuk dinilai, paling nggak ibu Anidar memberikan ongkos menggunting, dengan pola yang nggak tahu siapa yang buat.

Didut berdiam diri, diam adalah emas, sambil bertanya dalam hati, siapa yang berbaik hati meberikan nilai daster untuknya.
Sekarang giliran Liza dipanggil ibu Anidar.
“Liza Soenar”.
“Bu, kan tadi daster saya sudah dinilai”.

Oh, rupanya nilai daster Liza masuk ke tempat Didut, akhirnya daster Liza dinilai ulang dan mendapatkan nilai 7.
“Liza pinter ngejahit dong Dut!”.
“Semua orang bilang begitu, tapi elo tahu sendiri kan Men, Liza dipanggil Okem, mana bisa dia ngejahit!. Dia nyuruh pembantunya ke penjahit di pasar Cijantung sambil ngebilangin, mbak bilangin sama penjahitnya jangan bagus-bagus takut nanti ketahuan”.





    • Diah Krisdianti Men... gw mesti berterima kasih sama Liza.... mana mesin jahitnya yang pake kuno pula.... mana kubisa....
      2 hours ago · · 1

Minggu, 27 Mei 2012

Ikat Pinggang Marisa Haque

Jam 7 pagi Aria dan aku turun untuk sarapan, sebelumnya aku melakukan ritual ketuk pintu kamar 324, punya Dewi dan Intan, dua orang itu suka iseng kalau lewat kamar kami selalu mengetuk pintu, begitu dibuka orangnya nggak ada. Aria pernah bertanya, “Siapa tuh Men yang ngetok pintu?”.
“Biasa … cewek yang naksir gue”, aku jawab begitu.
Pak Ugi sudah memulai sarapan, pakem masih dipegang teguh, guru nggak boleh kalah sama muridnya, padahal kami murid pertama yang tiba di lokasi sarapan. Sarapan gudeg menjadi pilihan Aria dan aku, enak banget!. Kami sarapan di taman karena Aria seorang ahli hisap.
Iin, Evi, Nia, Udeng, Uun, Sis bergabung. Kesempatan bertemu dengan penulis dimanfaatkan Iin, “Men, cerita elo di SMA macem-macem banget?”.
“Makanya waktu di SMA tuh bandel, jadi punya banyak cerita”, tapi bandel aja nggak cukup, selain bandel kamu harus pintar nasihatku, siapa tahu Iin mau masuk SMA lagi.
“Kalau aku terharu banget waktu baca cerita temen yang nyaris meninggal di jurang”, Evi ikut-ikutan.
“Ini orangnya yang nyaris tewas”, jawabku sambil menunjuk Aria.
Sehabis sarapan bersama Tatik, Rike, Aria, Intan, Nia, Udeng, Dewi, Ratih, Jimbo, kami menjajah Malioboro untuk mencari gituan, bahkan sampai Pasar Beringharjo. Pedagang Beringharjo punya pakem, harga pas nggak bisa ditawar, keqi banget waktu mau beli celana pendek batik selusin bareng Aria dan Rike, begitu kami pergi eh dikasih.
“Men, kok elu dibayarin Aria?”, Rike terheran-heran.
“Itu pake uang kas Apadela”, padahal itu uang aku di Aria belum dikembalikan untuk biaya ke Jogja, waktu transfer ke Weny pakai uang aku dulu.
Keluar Beringharjo Rike, Tatik, Ratih dan Aria makan pecel, ya ampun baru sarapan makan lagi, pastes aja badan mereka pada lebar-lebar.
Nggak lengkap rasanya sudah sampai Jogja nggak beli bakpia Patuk, penganan itu kami beli langsung dari pabriknya dengan naik beca bolak-balik seharga lima ribu.
Jelang makan siang kami meninggalkan Malioboro, tempat aku dulu membeli 2 buah ikat pinggang kulit, salah satunya pernah dipakai Marisa. Kok bisa?
Ikat pinggang kulit berwarna coklat memang cocok dengan seragam sekolah yang krem-krem, nah waktu aku mau turun berpapasan dengan Marisa, “Men, ikat pinggang elo keren banget deh!, buat gue dong!”.
Akupun melepaskan si ikat pinggang dan segera perpindah tangan. Waktu Eny Damayanti tahu cerita ini dia bilang, “Seharusnya kamu langsung minta barangnya Marisa, pasti dikasih. Dia emang begitu”. Ya ..., telat!.
Salah seorang kawanku pernah bilang, “Itu ikat pinggang pasti udah masuk tempat sampah!”.
Menurutku belum tentu juga, siapa tahu Marisa bingkai dan dipajang di ruang tamu, ya kan?


Willem Teddy Usmany Gw stuju sm elo Men, kayax mmg itu ikat pinggang dibingkai dan dipajang diruang tamu. Xixixi....!



Tiza
Selalu menarik baca tulisan kang chormen.
Thank you kang !

Ngumpulin Nyawa


Selesai pertunjukan sendratari Ramayana kami menuju bis untuk kembali ke pusat kota. Bis kami tidak sendiri, dia ditemani banyak bis pariwisata sederajat, pertanda masih banyak orang yang menghargai budaya tradisional, bagus deh!.

Rencana lek-lek-an berjamaah di alun-alun selatan dibatalkan karena sebagian besar dari kami kelelahan dan mengantuk berat.
“Ngantuk pak?”, tanyaku berbasa-basi kepada pak Ugi ketika turun dari bis menuju hotel Whiz, hotel berbintang 2.
“Ngantuk sih nggak”, jawab pak Ugi, dari mata beliau yang merah aku berani bilang bahwa beliau berbohong kecil, beliau pasti mengantuk. Pakem guru nggak boleh kalah dari muridnya dipegang teguh.


Aku diantar Aria menuju kamar 322 karena dia harus membawa kartu eletronik pembuka pintu kamar, dia mau lek-lek-an di alun-alun. Setelah di kamar aku masukan SIM A milikku ke  sensor pengaktif sistem kelistrikan, lampu menyalah. Dompetku kini semakin tipis, aku sengaja tidak membawa KTP dan hanya 1 kartu kredit menemani karena memang cuma satu credit card yang aku pakai secara aktif.

Bada shalat wajib aku naik ke tempat tidur single masih berbatik dan celana jeans setelah mengatur pendingin udara di posisi 22 derajat Celcius, masa bodo ah pergi tidur nggak ganti baju mumpung jauh dari istri. Aku yakin dan berani bertaruh Aria akan melakukan hal yang sama, kan kami Apadelaers, selalu kompak dari dulu, percaya deh dia pasti tidur berbatik dan celana jeans.

Walaupun aku tidur membelakangi, bagun-bangun aku tahu Aria sudah hadir di tempat tidur sebelah dari suara dengkurnya. Tak berapa lama kumandang subuh terdengar, kini suara azan berpadu dengan dengkur Aria, harmonis banget!.

Setelah nyawa sedikit terkumpul aku bershalat fajar dan subuh, nggak lama Aria mengeliat.
“Aria, udah subuh!”.
“Emang udah jam berapa?”, dia langsung bangkit dari tempat tidur, shalat dan mandi. Aku heran cepat banget Aria ngumpulin nyawanya, sementara aku kembali berselimut tidur-tiduran memberi kesempatan nyawaku ngumpul.

Tadi kan aku bilang berani bertaruh kalau Aria tidur berbatik dan celana jeans, kalau taruhannya jadi aku yang menang soalnya Aria terbukti tidur berbatik dan celana jeans, kan kami Apadelaers yang kompak selalu.

Aku yakin dan berani bertaruh kalau tadi aku tidur bersepatu dan memakai helm, Aria pasti tidur bersepatu dan berhelm, ya kan Aria?.

Menangkap Kijang Kencana


Angka jam di hapeku hampir menunjukan pukul 19.30, waktunya untuk menyaksikan pertunjukan wayang orang Ramayana, kamipun bergegas menuju toilet restoran yang hanya ada 1 untuk wanita dan 1 lagi untuk pria. Bukan di toilet ini tempat pertunjukannya. Ketika aku masuk si toilet masih sepi begitu keluar antrian panjang laki-laki yang kebelet pipis sudah mengular.

Aku menyerahkan tiket pertujukan kepada petugas berpakaian Jawa lengkap dengan belangkon, petugas lain mengarahkanku ke tempat duduk, “Alumni SMA 8 di sana pak”. Kok tahu?. Mungkin karena si petugas tahu kalau aku orang pinter.

Bangku yang kami duduki terbuat dari batu agar sesuai dengan latar belakang panggung, si cantik Prambanan, atau karena kami duduk di kelas kambing, yang pasti bukan kelas kambing congek. Kalau si kambing dipanggil nggak dengar bukan berarti si kambing congek, bisa jadi karena si kambing kebanyakan makan gudeg yang membuatnya jadi budek.

Pak Ugi, bapak guru kami, dan ibu ditemani 2 orang kawan duduk di bangku cadangan, eh maksudku bangku VIP.

Pertunjukan dimulai, narasi dibacakan dengan bahasa Jawa, aku nggak ngerti, soalnya kemampuan bahasa Jawaku masih di level basic.  Untungnya co-dalang, Iriana, menjelaskan jalan ceritanya. Fida dan Lizarina khusyuk mendengarkan sang co-dalang.

Jujur aja aku baru sekali ini tertarik menonton wayang, dulu-dulu sih ogah. Sekarang juga kalau nggak nonton bareng aku juga nggak mau. Ternyata pertunjukan yang dikemas dalam 2 babak ini keren banget, apalagi klimaks di babak pertama seru banget, ketika Hanoman membakar istana Rahwana dengan api sungguhan. Wuih, keren!.

Aku ceritakan sedikit tentang upaya Rahwana menggaet Sinta. Pak Raksasa ini mengirimkan Marica, kijang kencana yang memiliki nama kecil Caca, nama lengkapnya Caca Marica.

Sinta ingin memiliki Caca, maka Sinta meminta Rama menangkapnya. Caca  berlari-lari kecil, bukan melaksanakan sai tetapi berlari-lari centil. Rama mengejar. Mana bisa tertangkap soalnya Rama larinya juga centil. Kesatria kok kemayu!.

Caca ternyata berlari ke pintu dekat kami duduk, pikiran jailku mencuat, “Aku tangkep ah!”, aku katakan kepada kawan, akupun berjalan menuju pintu tempat Caca keluar, kawan-kawan memperhatikan.

Marica mulai menaiki undak-undak dan menuju pintu keluar, tempat aku menanti, aku sudah siap,  aku menggerakkan kedua tanganku untuk menangkap si kijang kencana. Marica kaget dan meloncat kebelakang, kawan-kawan tertawa. Kini semua mata penonton mengarah kepada kami, si kijang dan sang pangeran.
“Men, diborgol petugasnya loh!”, teriak salah seorang dari kami.

Aku duduk kembali ke tempatku, “Men, kok nggak ketangkep?”.
Aku memang sengaja tidak ingin menangkap Marica, soalnya kan kamu tahu Prambanan menjadi kiblat sendratari Ramayana, kalau tertangkap bisa-bisa lakon Ramayana berubah menjadi ……. Rama menangkap kijang kencana dibantu pangeran ganteng bernama the O.


Willem Teddy Usmany Apadelaers mmg slalu kompak........!!20 hours ago ·

Prambanan


Kami buru-buru kembali ke hotel mempersiapkan diri ke Prambanan. Kakiku bengkak gara-gara keseleo kumat lagi. Mau naik andong ke jalan Dagen tempat hotel bercokol sedekat itu seharga 35 ribu, nggak salah nih?.

Sampai hotel, mandi lalu pakai batik. Aria sibuk memilih 1 dari 3 batiknya yang baru dibeli, “Bagusnya pake yang mana nih Men? Merah apa biru.”
“Cocoknya yang biru”, saranku, jadi ingat istriku (yang cantik menarik dan menawan hati) kalau mau pergi selalu meminta dipilihkan baju.

Aku berharap perjalanan ke Prambanan nggak macet sehingga kami bisa menikmati matahari tenggelam dan berfoto bersama siluet Prambanan, namun harapan pupus karena saat magrib kami masih di jalan. Telat!.

Meja makan menanti dan terus menanti karena kami sibuk berfoto-ria termasuk foto bareng pak Ugi sebelum lampu Prambanan menyalah, “Tahu ah, gelap!” kata si Prambanan. Nggak berapa lama si lampu menyalah, bagus banget. Foto barengnya diulang? Nggak! Karena nggak pernah ada siaran ulangan untuk acara foto-fotoan.
Tri Utami tks Chormen....foto2nya dari Aria keren2....makasih juga buat Aria....sayang Pipin ga ada ya...

Kehilangan momen sunset, tergantikan, perasaan jenuh untuk memandang Prambanan nggak pernah hinggap, tentu saja karena bapoto.

Masalah kulinernya nggak usah aku certakan deh soalnya makanannya aku nggak perhatikan, pokoknya enak suenak!.

Aku ingat ada 2 orang kawan yang datang ke sini harus naik taksi, pertama Kania yang baru tiba dari Jakarta, yang kedua Andy brewok yang ketiban sial beruntun gara-gara kualat terima honor keamanan tapi dia tidur di kereta.

“Men, masukin dong kesialan Brewok di blog elo”, Gayus memohon dengan penuh belas kasihan di pertemuan Smandel Coffee Club.
“Gue nggak takut, soalnya the O pasti konfirmasi dulu sebelum dimuat di blog”, Brewok menantang.
“Kalau gue masukin blog, langsung aja, nggak pake konfirmasi”, si the O memberi jawaban, percuma juga karena semua orang juga sudah tahu.

Nah, keterlambatan si Brewok tadi gara-gara dia kebablasan tidur sehingga harus merogoh kocek untuk ongkos taksi yang cukup lumayan.
Kedua, waktu di Wisma Bimo, Brewok keluar kamar mandi yang posisinya di balkon lantai 2, tiba-tiba kami mendengar suara “Gedebuk!” keras banget, seperti suara kuda nil terpeleset, semua mata memandang, rupanya si Brewok terpeleset, dia meringis persis kuda nil yang kesakitan.
Ketiga, saat di kereta, dia bangun lantas ke toilet untuk kecing sukencing, dia pegang semprotan dan dipencetnya, airnya muncrat ke muka dan bajunya. Rasain lo!.

Kata orang, setiap kebaikan akan diganjar dengan 700 kebaikan, mungkin juga untuk kesalahan yang akan diganjar dengan 700 kesialan. Ayo Andy siap-siap menerima 697 kesialan lagi. Ceritain semuanya ya!.

Mencari Gituan di Malioboro


Acara ke Prambanan masih lama, aku dan kawan-kawan menuju Malioboro untuk cuci mata, sayangnya di Malioboro aku nggak bisa main mata soalnya kuda penarik andong yang banyak mangkal di sana semuanya memakai kacamata kuda.

Aku, Aria dan Gepeng menuju Mirota, kalau ada Pipin 4 sekawan bisa berpetualang lagi, walau sekarang si 4 sekawan sudah pada gendut-gendut. Aria dan Gepeng memborong kemeja batik lengan pendek, sementara aku nggak mendapatkan apa yang aku cari.
Abis gitu kami ke café masih di gedung yang sama dan memperoleh kawan baru, Swan Awanti, kawan kuliah Gepeng yang kini tinggal di Yogyakarta. Nah, pasti Wanti tahu dimana aku mendapatkan yang kucari.


“Tahu nggak kalau nyari *** dimana?”.
“Ha …! Kok nyarinya gituan!”, Wanti terpengangah, sementara Aria dan Gepeng senyum-senyum kecil, maklum dia sudah tahu tabiatku yang suka cepas-ceplos.
Akupun menjelaskan mengapa aku mencari gituan di Malioboro.


Tahun 1980 saat kami study tour ke Solo, di hari terakhir ada acara bebas, bersama Adit, Vivi dan Iva, kesempatan itu kami manfaatkan untuk mengunjungi Malioboro naik L-300, si raja jalanan tempo dulu.



Di kaki lima ada sesuatu yang menarik, sebuah tas kain dengan 2 buah tali, beli ah!, unik banget soalnya. Aku mencoba kemampuan bahasa Jawaku yang masih di level basic.
“Mbok niki pinten?”, hebat ya!.
Si embok melihatku sambil bengong, mungkin beliau terkesima dengan kemampuan bahasa Jawaku. Turis asing kok bisa bahasa Jawa, begitu yang aku pikir.
“Mbok ini berapa?”, si embok tambah bengong, mungkin beliau heran si turis bisa bahasa Jawa, bisa bahasa Indonesia juga.
“Niki untuk wanito!”, si embok mulai berbicara setelah bengongnya hilang.
“Nggak apa-apa mbok! Untuk wanito untuk wanito, harganya berapa?”, jawabku senang karena si embok ternyata nggak gagu, sambil pikiran nakalku beraksi, dasar si embok orang kuno, nggak tahu kalau di Jakarta tas unisex bisa dipakai wanita dan lelaki.

“Dilihat dulu!”, Embok bersikukuh memperagakan dagangannya, biar aku nggak kecewa di kemudian hari, sambil tangannya membuka lipatan tas tadi, yang ternyata ….. kutang embok-embok, introk dalam bahasa Jawa.
Mukaku pasti merah, malu banget apalagi ditertawakan sejawat si mbok. Akupun meninggalkan mereka segera, sial!.


Waktunya kami kembali ke Solo, artinya aku mau nggak mau aku harus melewati si embok lagi, soalnya Adit, Vivi dan Iva nggak mau menemaniku berjalan di sisi lain Malioboro, habis panas banget karena sinar matahari mengarah ke sana.

Dengan mengendap-endap seperti dalam filem Tom and Jerry, aku berjalan melewati si embok, aman!, si embok nggak melihat.
Namun ……, anak si embok melihatku dan berteriak, “MBOK …, MBOK … ITU ORANG YANG TADI …!!!!”.



Swan Awanti,
Aku lagi bayangin introk itu dipake Chormen...wah pasti jadi sexy, wkwkwkkkk...

Willem Teddy Usmany Wkwkwk.....!!

Chalis hayatni
Oalaaah... kirain apaan 'gituan'.. Ternyata gituan tah.. Lha, akhire dapet ndak gituan e? Aku yo kepingin punya, xixixi...


Rosana Harahap

Chalis,
gituan itu ada ukurannya atau all size?
emang unisex juga ya?  koq si O nyari gituan?
walah...


Himawan

Baru tahu si  OOº°˚˚°ºOO  pakai gituan, sejak SMA lagi...kok baru pada tau ya.

Andy Masrie
The other side of “0“
Paham Ana ??????

Rosana Harahap
yeah ,... pahaammmm  AM !
Chalis Hayatni
Mau gak mau jadi kebayang the O pake gituan, hohoho.. Ukuranx apa ya? 
Himawan
Wah itu sih Andy yang inget!
Masa lalu aku sudah lupa, kalau Andy kan masa kini h3x.