Minggu, 18 Agustus 2013

Lihat Aja 5 Bulan Lagi!



Dress code halal bihalal Smandelers di Pulau Dua yang diprakasai Ikatan Alumni Smandel nggak membuatku bingung memilih baju. Army look aku nggak punya, warna putih nggak punya, warna merah cuma ada 1, jadi yang itu aja yang aku pakai.

Dari balik panggung tempat aku datang sudah kelihatan sekelompok manusia berpakaian warna merah atau putih, dari tawa cekikiknya aku pastikan mereka adalah Smandelers. Mereka cekikikan kayak kuda lumping. Eh, jangan marah! Kuda lumping kan manusia juga, emang kamu mau dibilang cekikian kayak kuda beneran!.


Sederatan meja yang disusun memanjang terisi mulai dari kiri ke kanan, aku salami satu per-satu, tak lama mbak Tuti dan mbak Etty datang, mereka dari angkatan 1961 yang lulus tahun 1962, mereka sama-sama pernah nggak naik kelas. Dari seluruh angkatan mereka hanya 17 orang yang bisa naik kelas. Terlalu!.

Etty '62, Herin '87, Vivi '90, Marsi '62, Toety  '62, Pipi '86

Sesuai urutan aku seharusnya duduk di samping Herin 87, tetapi tempat itu aku berikan kepada mbak Etty dan mbak Tuti, bukannya aku takut Deni 87, suami Herin, cemburu, melainkan karena aku lihat di atas meja itu piring yang berisi fillet ikan, ayam kremes, udang goreng tepung dan cah kangkung sudah ludes dimakan duo Rudi dari angkatan 86. Terlalu!.

Joi dengan 3 rekannya dari angkatan ‘95 membuat nuansa menjadi lebih segar, atau justru sebaliknya membuat kami menjadi terlalu tua.


Pantas saja Smandelers memilih lokasi di depan panggung, Roy ’86, Bakri ’80, Bowi ’87, dll bergantian menyanyi. Seandainya saja pemilik restoran melarang mereka bernyanyi dengan cara menyembunyikan mik sudah pasti menjadi pekerjaan sia-sia, soalnya mereka sudah siap dengan membawa mik masing-masing dari rumah. Terlalu!.


DI HBH ini aku nggak perlu berlari-lari untuk difoto. Percaya nggak aku malah diajak mereka berfoto dengan sekelompok pria yang siap di depan kamera. Tumben!. Aku jadi curiga!.
“Eh, gue nggak mau loh dikerjain!”.
“Nggak kok!. Cuma untuk difoto”, Vivi ’90 meyakinanku, tetapi kalimatnya tidak berhenti sampai di situ, “Inilah manusia kelas berat di Smandel!”. Terlalu!.
Yus '83, Adam '80, Didi '80, Dani '80, Eddy '86, Roy '86

Nih, aku kasih tahu ya. Nggak cuma perempuan yang nggak suka dibilang gemuk, laki-laki juga nggak suka dibilang gemuk. Buatku perkataan tadi bisa menjadi cambuk untuk menjadi lebih baik, juga perkatan dua perempuan berikut ini.

“Men, kok kamu kelihatannya tambah gemuk!”, mbak Tuti bilang begitu.
“Iya, Men elo tambah gemuk!”, Pipi ‘86 menambahi.
“Lihat aja 5 bulan lagi”, aku seolah menantang mereka.
“Emang ada apa 5 bulan lagi?”, kata mereka serempak.
“Gue tambah gemuk”.

Pepes Jambal Walahar



Jujur omong aku nggak suka dengan pepes apapun namanya, tetapi setelah merasakan pepes jambal di Warung Pepes Jambal Walahar H. Dirja di Bendungan Walahar penilaikanku terhadap pepes berubah, enak banget!.


Sayangnya aku ke sana nggak sempat mengajak kamu, namun tulisan ini mungkin bisa meringankan langkahmu membawa lidahmu bergoyang Kerawang. Jangan berprasangka negatif dulu ya!, yang aku maksud mengoyangkan lidahmu untuk menikmati lezatnya masakan Kerawang.

Keluar dari pintu tol Kerawang Timur kamu belok ke kanan, nggak berapa jauh belok lagi ke kanan ke arah pabrik Texmaco, begitu melewati bendungan Walahar, sampai deh di Warung Pepesnya H. Dirja yang memulai usahanya di tahun 1985.


Berhubungan aku baru saja menghadiri halal bi halal Esempe, aku hanya mencoba pepes jambal dan pepes oncomnya. Sebagai teman makan pepes tersedia nasi timbel, lalapan dan sambal pedasnya yang bisa bikin lupa diri.

Minuman yang pas kelapa muda dengan gula cair dan es batu yang disajikan secara terpisah. Aku lebih suka kelapa muda dengan rasa apa adanya, original, orang bule bilang. Rasa manis, campur sedikit asam bisa membikin yang meminumnya merem-melek.

Wisata kuliner ini aku ditemani Iriana, Ratih dan Purnomo untuk mencari lokasi halal bi halal Apadela. Warung Pepes Walahar dari sisi makanan plusnya banyak banget, tetapi dari sisi tempat terkesan agak kumuh. Mempertahankan nuansa pedesaan kata sopannya. Harus cari tempat lain tapi makanannya dari sini, bisa nggak ya?.

Sebagai barang bukti aku ke sini aku pesan beberapa jenis pepes, sewaktu aku mau bayar, ternyata sudah dibayar oleh Purnomo yang membawa kami. Tahu begitu aku pesan yang banyak!.


Sekarang aku ceritakan tentang Purnomo, kawan sekelasku. Dulu kalau pertandingan olah raga antar kelas dia selalu kebagian tugas di pinggir lapangan sebagai pemberi semangat. Gayanya culun, sopan dan formal, nggak pernah ngomong “gue”.

Saat ini dia masih masih mempertahan gaya lamanya, waktu pertama kali berjumpa setelah lebih dari 30 tahun berpisah dia memanggil aku “pak Chormen”. Pakaiannya kemeja dan bercelana hitam bergaya formal. Aku yakin seumur hidupnya dia belum pernah memakai celana jeans. Aku berani bertaruh untuk itu.


Ada sedikit metamorfosa, Purnomo agak funky, dia menyetir mobil tanpa menggunakan sambuk keselamatan, sewaktu aku tanyakan dia menjawab, “Di Kerawang tidak perlu pakai seat belt, kecuali kalau saya menyetir di jalan tol”. Eh, begitu masuk jalan tol, tetap aja dia nggak pakai sabuk.

Satu lagi nih!, di jalan raya ada rambu dilarang belok ke kiri, eh si Purnomo dengan tenangnya belok ke kiri, berjalan contra flow yang membuatku bangkit dari kursi dan menyebut “Astagafirullah”, sambil mengurut dada.

Purnomo, elo bener-bener funky banget sekarang!.

Minggu, 11 Agustus 2013

Sepasang Sumpit



Aku kaget banget sewaktu membuka facebook, ada sebuah message yang aku buka tenyata dari Mei dan Yani, 2 TKW yang pulang kampung, TKW itu sebutan mereka sendiri loh!. Kicauan mereka di FB rame banget.

Arief Mooyoto reuni lulusan SLB kelas cacat mental permanen...
Yani tinggal di Den Hag, Belanda, bersama suaminya yang orang Belanda, penjajah Yani menyebutnya. Sementara si Mei kawin sama orang Amerika dan menetap di Texas.

“Kok, kamu nggak pernah cerita ada lagi yang tinggal di Belanda dan Amerika selain Jhnonk dan Liza!”, istriku bertanya saat aku mau ketemuan dengan Yani dan Mei.
“Kalau yang ini bukan Smandel 81 tetapi angkatan 82”, jawabku.

Sebelum berangkat dari rumah aku berkali-kali mengubungi Arif Mooyoto, kawan seangkatanku yang dicari-cari oleh 2 TKW, eh, nggak diangkat-angkat. Waktu aku sampai di tempat pertemuan, di salah satu kedai kopi di Plaza Senayan, Arif Mooyoto sudah sampai di situ.
“Men, kalau gue angkat telpon elu, nanti mereka tahu dong gue datang ke sini”, begitu penjelasan Arif.
Dasar kunyuk!.

Arif baru saja menjenguk Krisna ’77 yang di rawat di rumah sakit karena dbd, besuknya bareng Beton yang juga ikutan ke Plaza Senayan. Lewat tulisan ini aku doakan, semoga Krisna lekas sembuh.

Nah, si Beton mendapat julukan naughty dari Peter, suaminya Yani.
“Naughty itu apaan?”, Beton bertanya kepada aku, Arif dan Yati.
“Naughty itu cowok macho, pokoknya cool banget deh!”, Yati si kembaran Yani menjelaskan.
“Kalau begitu bagus dong!”, kata Beton si naughty.
 
Special evening with old friends from high school

 Aku tersipu saat Yani bercerita kepada kawan-kawan tentang aku, “Aku dulu suka diganguin Chormen kalau main basket!, kalau sudah deket ring dia suka ngagetin, Hayo loh! Hayo loh! Bikin orang grogi aja!”.
Itulah makanya Apadela juara umum class meeting.

Kami asyik bercanda sedangkan Azis ‘82 serius banget berbicara dengan salah satu rekan kerjanya. Setelah bergabung lagi Azis menjelaskan, “Tuh orang curat karena baru dipecat dari kantornya”.

Mei akhirnya datang juga bersama dua putrinya, Ian ’80 dan keluarga, Dani ’80 dan keluarga, jadi semakin ramai deh!. Sementara aku khawatir Karris, anakku, belum datang menjemputku, aku telpon dia.
“Karris, kamu sekarang ada di mana?”.
“Aku ada di belakang papa”, jawabnya. Oala sudah sampai rupanya.



Anak-anak ngumpul dengan anak anak, orang tua ngumpul dengan orang tua, TKW dengan TKW.


Senang rasanya setelah lebih dari 32 tahun bertemu kembali dengan Mei dan si kembar, Yani dan Yati. Jujur aku ngak kebayang tampang Mei dulu waktu SMA. Dani membantu mengingatkan, “Mei dulu rambutnya dipotong pendek, dulu tomboy banget!”.
Mei sekarang takut banget dibilang tomboy, soalnya dia nggak suka anak-anaknya jadi tomboy.

Kalau Yani dan Yati gampang mengingatnya zaman SMA, mereka yang kurus tinggi suka jalan berdua, ngebayangin mereka berdua .............? Lihat aja sepasang sumpit.




Arief Mooyoto Hahahaha... kocak! kunyuk jg lo Men...
Vivie Muvida, salam buat si kembar men   critanya seruu deh...ha ha