Minggu, 14 Februari 2016

Pilkada 4 Putaran, Emang Ada?



Emang ada Pilkada yang sampai 4 putaran? Ya nggak ada lah kecuali kalau yang dimaksud dengan Pilkada yang artinya Pilihan Kaos Idaman, kan Pilkada juga disingkatnya.


Memilihnya harus pakai voting dan debat segala, untung ributnya hanya di What Apps Group, kalau debat di lapangan terbuka bakalan rame pastinya, rame ditimpukin yang nonton.

Mulai nih dari pilih warna yang ngejreng, kuning atau oranye?. Pemenangnya kuning.
Pakai logo almamater apa nggak?. Terpilihlah pakai logo tapi kecil aja.
Warna kaos polos apa pakai rahlan?. Pakai rahlan yang menang
Warna rahlan merah atau hijau?. Kalau yang ini aku nggak perlu jawab, lihat fotonya juga tahu.


Berhubung acara yang paling dekat ke Garut maka digeberlah pembuatan kaos idaman, tanpa melanjutkan Pilkada, karena ada usulan kenapa rahlannya bukan warna abu-abu. Tapi itupun belum tentu selesai, nanti ada kelanjutannya kalau yang menang abu-abu. Berikutnya abu-abu tikus apa abu-abu monyet?. Abis gitu bisa jadi monyetnya betina apa jantan?. Lanjut dengan jantannya tulen apa LBGT?

Kalau kamu mau bergabung dengan Ilalang boleh-boleh aja asal kamu tahu Ilalang adalah komunitas nyari susah.


Kalau kamu melihat pose mereka pasti kamu bilang gaya banget, tapi begitu giliran diajak trekking buru-buru deh pada daftar jaga Pos 1 alias nunggu di warung. Eh, emang gitu!.
Kalau ditanya, alasannya, “Biar nggak nginjek gituan”.

Banyak juga nih yang sudah memperhatikan Ilalang, mbak Toety angkatan 1962 diantaranya, beliau bilang lewat telpon, “Chormen, kelompok kamu jangan macem-macem”. Mbak Toety berpanjang lebar tentang macem-macem itu. Aku manggut-manggut aja, cuma kalau lewat telpon mbak Toety tahu nggak ya kalau aku manggut-manggut.
Dalam hati aku menjawab, “Di Ilalang orangnya nggak macem-macem, orang-orangnya cuma semacem …… susah semua”.


Nginjek Gituan



Dalam dunia Dinamika Kelompok disebutkan bahwa ciri komunitas yang kompak diantarannya memiliki jargon yang hanya dimengerti oleh komunitas itu sendiri. Nah, Ilalang punya bahasa kalbu seperti itu, malah bertambah banyak dengan “nginjek gituan” menyusul “jebakan Betmen” dan “remed Papandayan” yang sudah ada. Berhubung cerita ini aku tulis tertunda 2 minggu banyak yang penasaran dengan arti nginjek gituan. Gituannya apa sih yang diinjek?.


Nah, nginjek gituannya aku ceritain deh sekaligus melanjutkan kisah setelah berendam air panas di Cipanas, Garut. Sekarang kami semua sampai deh di rumah Rike untuk makan malam dan beristirahat. Istirahat?. Pertanyaan yang sulit dijawab.

Urusan makan seharian selalu berjumpa dengan sahabat lama, pete, tapi di rumah Rike petenya nggak dalam bentuk papan melainkan sudah dikupas, dipotong dan dicampur dengan lauk dan sayuran jadi susah menghitung siapa yang makan petenya yang terbanyak. Paling-paling yang juara orangnya yang itu-itu juga.

Acara selanjutnya pembagian kaos Pilkada, kaos yang proses pemilihannya sampai 4 tahap. Mas Tomo juga dapat dan kebetulan aku yang diminta kawan-kawan untuk menyerahkannya.


Jam 10 malam mas Tomo pamit sekaligus mengantar Heppy dan Rika menginap untuk menemani Tatik. Sementara di rumah Rike semakin malam kampret-kampret Ilalang pada keluar menemani dentingan gitar Arief. Kenapa aku bilang kampret? Karena semakin malam penyanyi dadakan dan gratisan ini semakin segar, NinAd, Mundi, Rosana, Beton, Basit, Jaya, Nilam, Unny, Marlina, Rike, Lucky, Rachma, Indil, Dhyta, Nita, Ida. Kok semua orang disebut?. Aku udah nggak lihat lagi siapa yang nyengnyong, yang aku dengar suaranya doang, maklum PW.

Mereka menyanyi segala genre, dari lagu wajibnya anak petualang, Country Road, Annie’s Song punya John Denver, dangdut, Chriesye sampai Nonton Bioskopnya Bing Slamet dengan koor yang kompak di lirik terakhir ngijek gituan.

Jadilah nginjek gituan jargon yang populer. Aku yakin kalau Ilalang belum punya nama, kumunitas ini bakalan dinamakan Nginjek Gituan, ya kan? Ah, cerita nginjek gituannya anti kllimaks, kirain apaan, sudah nunggu-nunggu nggak tahunya gitu doang! Pembaca kecewa!.

Gitaran berakhir pukul 02.30 dini hari, entahlah mas Hari, suami Rike, si pemilik rumah ditegur Kepala Desa karenanya, kami mohon maaf kalau hal itu sampai terjadi.

Mengenai trekking pendek di kawah Kamojang, dan wisata kuliner aku nggak perlu banyak bertutur, fotonya Arief sudah bekoar-koar lebih dari sekedar bercerita.

Sisi menarik justru perjalan pulang yang penuh horor karena hujan badai di sekitaran Jabotabek yang menyebabkan jalan tol Cikampek-Jakarta terputus karena banjir dan gerbang tol Cikunir 2 ambruk gara-gara angin ribut. Hampir kami mengubah arah pulang melalui puncak untungnya mbah Google dan TMC Polda Metro Jaya tetap menyarankan lewat tol.


Di tengah perjalanan yang mendebarkan jantung, cieileh, kayak jatuh cinta aja jantung berdebar-debar, Bagas putra Lucky, sahabat cilik kami, menyanyikan lagu cinta. Waduh, kecil-kecil nyanyi lagu cinta, jangan-jangan Bagas lagi jatuh cinta, dan jangan-jangan …….... yang ditaksir Bagas temen emaknya.

Sabtu, 13 Februari 2016

Sakitnya Tuh Di Sini



Setelah ishoma di rumah Tatik, kami melanjutkan perjalanan menuju Cipanas untuk berendam air panas. Kebetulan arah yang dilalui melewati sentra kulit Garut. Rike yang mewakili Bupati Garut berkata, “Pada mau mampir beli kerajinan kulit nggak?, mumpung kita lewatin”.
Gayungpun bersambut.


Kebetulan aku lagi butuh sepatu formal karena sepatu kulitku mangap, sedangkan sepatu yang lainnya hilang satu gara-gara jatuh dari mobil. Oalah, bisa-bisanya jatuh dari mobil.
Aku beruntung ditemani orang yang punya Garut, Rike, nggak tahu deh pedagangnya kalau melihat Rike harganya jadi murah, sayangnya sepatu nomor 43 nggak ada. Kasihan deh.

“Mas Omen, mas Omen ...., harganya murah banget!”, komentar Indil yang mendapatkan tas dan jaket kulit warna merah Ferrari. Beli jaketnya dulu abis gitu beli mobilnya ya Indil. Nggak dapat sepatu kulit akhir aku hanya beli kerupuk kulit.

Kawan yang lain nggak kalah gesit berburu kerajinan kulit, ada yang bertigaan beli sedal kulit yang sama, Nilam, Rosana dan Mundi. Seketika kaki mereka naik kasta dari bersandal jepit kini bersandal kulit.


Nggak terasa sudah lebih dari 10 jam meninggalkan Jakarta, kawan-kawan tetap semangat dan tidak terlihat lelah. Tidak menggantuk apalagi tertidur. Kalau nggak percaya ini buktinya, mereka tetap bugar kan?.


Matahari sudah hampir tenggelam dan hujan rintik-rintik menemani kami memasuki tempat pemandian air panas milik hotel Tirta Gangga dengan bandrol 25 ribu seorang, baik berenang atau jaga Pos 1, alias jaga barang. “Aku aja yang jaga Pos ! karena aku lagi nggak berendem”, kata NinAd. Itulah Ilalang Smandel, di mana-mana selalu rebutan jaga Pos 1.

Tempat berendamnya ada beberapa dengan temperatur yang berbeda, kolam renang dengan air suam-suam kuku, kolam kecil yang airnya panas banget ketika baru menyelupkan anggota badan, setelah beradaptasi rasanya mantap banget, pegel-pegel bisa hilang. Ada pula pancuran yang memancarkan air panas dari atas dan ke arah punggung, serasa dipijit jadinya. Buat yang malu-malu kucing bisa berendam di dalam bilik rendam.


Selesai beredam aku ke kamar ganti lengkap dengan ranselku, ada 4 buah kamar mandi dan harus mengantri. Antri!!!, nggak juga, antri belum menjadi budaya negeri ini. Ketika aku menyiapkan shampo dan sabun cair, tiba-tiba kamar mandi giliranku disambar orang lain.
Aku siap-siap jangan sampai diserobot lagi, bener juga ada yang nyerobot, kini karakter anak Berlan aku tunjukan. “Pak, rasanya saya duluan deh yang ngantri di sini”.
Tuh orang, buka kunci kamar mandi, keluar untuk memberikan kesempatan kepadaku.
“Berani juga loh Men!, namanya juga anak Berlan!”.
“Bukan begitu kawan, tuh orang badannya jauh lebih kecil”.

Buat semuanya aku kasih tahu ya Arief selesai berendam nggak mandi, dia ganti baju aja, “Gue ganti baju aja, semua barang gue bawa, odol, shampo, sabun, kamera, gitar, sound system, eh handuk gue nggak bawa”, tutur Arief kepadaku.

Ketika aku beberes di Pos 1, nggak sengaja sebuah payung kesenggol tanganku dan jatuh, aku pungut dan bertanya kepada Dhyta yang berdiri di sampingku, “Dhyta, yang jatuh ini payung siapa?”.
“Punya Indil, udah elo tarok aja di sini”, sambal tangan kanannya menepuk meja.
“Bukan gitu!, ini payung jatohnya pas di jari kaki gue!, sakiiiit bangeetttt!”. Sakitnya tuh di sini!.