Kamis, 22 Januari 1981

Gerak Jalan Santai

Seperti yang sudah-sudah bada ulangan umum diadakan class meeting, untuk urusan olah-raga kelasku 2 IPA 8, Apadela, sudah lumrah kalau basket dan voli putra dan putri masuk final, kelasku memang kompak sih!. Cuma kalau gerak jalan nanti dulu, perlu latihan keras.

Untuk melatih tim gerak jalan putri sih gampang sebab mereka mudah diatur dan begitu kompak. Buat mengatur tim putra Adi Tri Tyasmadi, yang lebih sering dipanggil Adi tetek (Adi TT), pusing 7 keliling. Mending WO aja deh! Percuma nggak menang juga.

Panitia nggak kehilangan akal, buat kelas yang tidak mengikuti lomba gerak jalan diberi denda Rp 20 ribu untuk 1 tim, jumlah yang sangat besar bagi kami waktu itu, sebagai gambaran makan di warung bu Imron 200 perak sudah kenyang.

Agar nggak kena denda peserta harus unjuk kebolehan di lapangan basket dan berjalan memutari sekolah minimal sekali dari 3 putaran. Sekarang saatnya perlombaan, Apadela tanpa persiapan.

Tim putra Apadela yang aku ingat Aria, Deden, Edi bajaj, Edi kumis, Agus ponco, Benny kris dan Adi tetek yang jadi komandan dengan 1 misi, kelas nggak didenda, pertahankan 20 ribu perak sekuat tenaga.

Eh, saat parade di lapangan mereka bercanda bahkan lebih tepatnya melawak. Penonton pada tertawa, mereka mengerumuni lapangan basket dengan gelak tawa.  Bagaimana penonton nggak geli, diperintahkan hadap kiri ada yang hadap kanan, diperintahkan hadap kanan ada yang hadap kiri, bahkan mereka berdiskusi saat lomba. Pasukan yang sungguh berani, maksudku berani malu.

Sekarang harus mengelilingi sekolah ada perintah komandan, “Pasukan siap! Maju jalan!”, langkah pertama langkah tegap setelah itu jalan santai. Percuma aja Adi memberi aba-aba tu, wa, ga, pat, kiri, kanan, mana ada jalan santai aba-aba itu. Penonton makin terpingkal-pingkal.

Keluar gerbang belok ke kanan mengelilingi sekolah masih dengan jalan santai, sekarang sudah satu putaran penuh Adi masih dengan aba-aba tu, wa, ga, pat, kiri, kanan sementara pasukan sudah bubar. Buat kami nggak harus mendapat hadiah, nggak didenda sudah cukup, mission accomplised!.

Pengumuman pemenang diadakan saat upacara, kelas 2 IPA 8 mendapatkan hadiah juara 2 basket putra, juara 1 voli putra, juara 2 basket putri, putri juara 1 voli putri, juara 2 gerak jalan putri.Apadela juara umum. Hebat kan?.
Pengumuman yang dibacakan Prety Multiharlina ’81 belum berakhir masih ada 1 yang tertinggal, begini bunyinya, “Pengumuman berikutnya juara favorit lomba gerak jalan ...... 2 IPA 8”.

Hebat nggak tuh Apadela, bercanda saja dapat hadiah.




Tatik Budiharti 02 January at 10:56 Reply • Report
Perasaan kl volley gue suka masuk team deh.
Krisyantobenny Benny 02 January at 20:17 Reply • Report
ha ha ha xi xi xi gue ngak pernah ikut ikut olah raga
Iriana Wihardja 03 January at 22:57 Reply • Report
Beneran juara apa karangan omen aja yaaaaa...yyaaaaaa
Tatik Budiharti 03 January at 23:01 Reply • Report
Ini kayaknya memang omen yg ngarang,omen pelajaran bu Ani kan sll dpt nilai 8.
Ratih Puspawati 10 January at 11:23 Reply • Report
hahahaha..... kok ngga inget sama sekali yah??????

Sabtu, 03 Januari 1981

Akibat Kepergok Makan Tahu

Akibat Kepergok Makan Tahu
Chormen
Angkatan 1981
Buku 50 tahun Smandel
Masih ingat pak Sunyoto? Guru bertubuh kurus tinggi, berkacamata, dan selalu naik motor Lambretta tua kalau datang ke sekolah. Jika diperhatikan dengan seksama, pada cat biru tua yang membungkus motornya terdapat tarikan kuas yang rapih, mungkin dipoles sendiri oleh beliau. Maklum pak Sunyoto guru gambar.

Di beberapa bagian cat yang terkelupas terlihat beberapa warna menandakan si Lambretta sudah beberapa kali ganti warna. Tapi mesinnya selalu tokcer dan terawat. Pantaslah kalau beliau juga menyandang predikat guru mesin yang termasuk pelajaran pilihan.

Cerita ini terjadi sewaktu aku duduk di kelas 2 IPA 8, kumpulan anak urakan. Tapi soal kompaknya jangan ditanya deh. Hampir setiap malam minggu kami berombongan naik gunung. (Baca: APADELA, persahabatan lintas kelas dan angkatan).
Bahkan pernah merayakan ulang tahun seorang teman, satu kelas yang urakan itu juga naik gunung (“Ini kejadian pertama di Smandel,” kata almarhum Danar, Ketua Umum Festival 8 yang wafat beberapa bulan silam).
APADELAERS, Willem, Deden, Ponco, Gaok, Iyus, Umbul, Ai, Erico, Pacet, Ade, Azwardi, Sulis, dkk

Wali kelasku saat itu Pak Sachroni, guru bahasa Jerman yang mengingatkanku pada lagu Iwan Fals, Umar Bakrie, karena beliau selalu datang ke sekolah dengan menggenjot sepeda. Satu kali Pak Sachroni cuti mengajar selama tiga bulan karena pergi ke Jerman. Penggantinya adalah ibu Frida yang saat itu masih mahasiswi, baru pertama kalinya mengajar, dan, aduh, sedang ‘segar-segarnya’. Keruan saja suasana kelas nggak pernah bisa serius belajar, tapi selalu ‘serius’ kalau mengamati sang pengajar. Lho, kok malah ngomongin ibu Frida padahal judulnya pak Sunyoto?

 
Balik ke kisah utama, di kelasku ada stereo sound system bawaan teman (rasanya pertama juga di Smandel), beberapa guru mengijinkan musik diputar kalau sedang menyalin catatan, termasuk guru kimia pak Tatang. Mungkin juga karena hal itu membuat mereka rileks. Begitu juga dengan pak Sunyoto. Apalagi gambar dan musik sudah seperti saudara kandung, jadi beliau lebih tidak keberatan lagi untuk urusan ini. Begitulah, setelah memberi tugas, pak Sunyoto mengijinkan kami menyetel musik. Lalu beliau meninggalkan ruangan.

Setelah itu, satu persatu teman kelasku keluar mencari jajanan. Karena makin lama makin sedikit jumlah murid di kelas, tergoda juga imanku sehingga memutuskan ikut keluar. Aku beli gorengan tahu isi di kantin. Celakanya, tiba-tiba pak Sunyoto lewat di depan mukaku persis ketika gorengan itu, glep, masuk ke dalam mulut.

Sejak itu oleh pak Sunyoto, di belakang namaku ditambah tulisan makan, lengkapnya Chormen Makan, seolah Makan menjadi margaku. Untungnya aku yakin pak Sunyoto pasti baik hati, bukan tipe guru pendendam.

Aku jadi senang menggambar. Gambar proyeksi dan perspektifku masuk hitungan. Pak Amri yang juga guru gambar pasti membenarkan. Lalu satu ketika aku lewat depan kantor saat pak Sunyoto selesai memeriksa ujian menggambar. Kudengar pak Amri menyapa beliau dan bertanya, “Jadi yang paling bagus Chormen ya pak?”
“Iya,” jawab pak Sunyoto mantap.
“Eh itu orangnya lewat,” Mata pak Amri rupanya sigap juga melihat sosokku yang mendadak salah tingkah. 
Sumpah mati, senang banget aku mendengar. Dan, gara-gara ‘glep' aku punya nilai 9 (sembilan) di atas ijazah SMA terbaik di Indonesia.

Senang? Nggak juga. Aku bahkan sedikit menyesal, mengapa waktu itu nggak kepergok pak Sunyoto lagi makan ketoprak?