Jumat, 21 November 2014

Soto Gerabah



Selesai makan di Soto Gerabah, Solo, sebelum menaiki kendaraan sang pemilik Soto Gerabah menanyai kami, bagamana kami tahu tentang keberadaan tempat kuliner ini. Syamsi yang mewakili kami menjawab bahwa, Soto Gerabah terkenal banget sampai di Jakarta, kami mendapatkannya setelah ngubek-ngubek internet”.

Si pemilik sudah pasti girang banget, padahal yang sesungguhnya nggak seperti itu, ceritanya begini.


Mas Fajar, penunjuk jalan dan merangkap supir siang ini kami minta untuk mencarikan tempat nasi liwet yang paling top di Solo. Ada 3 tempat dan tiga-tiganya nggak ketemu, yang pertama tutup karena bukanya cuma malam, yang kedua pindah alamat, yang ketiga nggak ketemu karena kesasar. Ya sudah cari yang ada aja dan makanan apa aja, berhubung sudah laper banget.


Di suatu jalan, mas Fajar memberhentikan mobilnya di depan restoran sepi, “Cari yang lain, sepi, nggak laku!”. Tanya tukang parkir katanya mundur 10 meter di seberang ada yang makanannya lengkap, sepi juga dan kayak warung mak Etek di samping sekolah kami dulu, cari lagi. Di jalan yang sama ada tulisan Soto Gerabah, tempatnya agak terbuka dengan interior yang unik, Jawa banget!. Tempatnya sepi. Mengapa semua tempat makan di sini sepi, namanya juga jam setengah tiga!.

Ada andong di dalam ruangan, nggak tahu deh andong keramat apa nggak?, atau andong biasa untuk rakyat biasa, yang pasti si andong menjadi korban narsis kami.


Soto yang menjadi andalan di Soto Gerabah disajikan di dalam mangkuk gerabah dengan warna yang senada dengan warna sendok dari batok kelapa dengan tangkai kayu yang disatukan dengan anyaman bambu, unik!.

Minuman yang aku pilih es jeruk ori, tanpa gula, istilah di sini, disajikan dalam gelas gerabah. Di atas meja tersaji di atas piring gerabah aneka makanan bercita rasa manis yang cocok dengan lidah orang Jawa, ada ati rempela, sate telur puyuh, sate usus yang aku nggak jamah, kolesterol rek!. Selain itu aku coba semuanya.

Ketika ditanya sama pelayan dengan suara halus, ciri orang Solo, “Tambahannya?”. Nah, ini dia, aku harus jawab apa adanya.
“Kerupuk 1, tempe kering 1, batagor 1, tempe biasa 1, pergedel 1, sosis Solo basah 2, sosis Solo kering 2, dan ….. sotonya 2”. Busyet deh banyak amat!. Lahap apa Kalap?, bedanya cuma satu huruf.


Lain lagi Syamsi ketika si pelayan bilang, “Nuwun sewu”, eh dia dengarnya, “Neng Sewu”, pura-pura budek apa emang budek beneran, atau karena genitnya keluar.

Berpikir positif aja lah, mungkin karena suara orang Solo halus, jadi ngomongnya nggak jelas, bisik-bisik apa kumur-kumur.

Kalau kamu mau ke sini, memang agak sulit. Kamu harus kesasar dulu soalnya.

Si Cantik Bernama Mahmud Abas



Acara Temu Jidad Apadela, Pulang ke Kotamu, 21-23 November 2014 nggak cuma pulang ke Jogja, Solopun ikut kecipratan dengan alih-alih mau blusukan.


Ngomongin blusukan di kota Solo, kami berkesempatan menaiki bus pariwisata bertingkat dengan wanita di belakang kemudi nan ayu, katanya bernama Mahmud Abas.

Sebelum berbincang dengan Mahmud Abas bagusnya aku ceritakan dulu tentang bis pariwisata bertingkat yang kamu bisa sewa di Dinas Pariwisata Solo, nggak gratis ternyata.

Sewanya bisa dibilang mahal, bisa juga dibilang nggak, relative sih. Harga sewanya delapan ratus ribu rupiah selama 3 jam. Kelihatannya mahal ya? Tapi kalau kamu bagi dengan jumlah penumpang yang bisa diangkut sebanyak 50 orang, harga sewanya jadi Rp 16 ribu per orang.

3 jam sih cukup untuk ngubek-ngubek kota Solo, rutenya bisa kamu pilih sendiri, kamu bisa puas-puasin deh blusukan di Solo.

Lantai 1 bis bertingkat menggunakan penyejuk udara, sementara di lantai 2 bagian jendela dibiarkan terbuka biar kamu bisa memandang sepuasnya dari ketinggian kisaran 2 meter.


Ini bis unik loh! Berfoto dengan bis kalayak ramai bisa tahu bahwa kamu berada di Solo. Cobain naik deh! Asyik banget pokoke.

Nah, sekarang cerita kita kembali meliputi wanita ayu di belakang kemudi, iya, si Mahmud Abas. Dari namanya kok nama laki-laki, jangan-jangan ……????, aku jadi penasaran.

Jangan bilang sudah ke Solo kalau belum menikmati es puter mas Yono

Biar nggak penasaran aku tanyai deh.
“Kok kamu dipanggilnya Mahmud Abas?”.
Dia menjawab dengan suara nan lembut cirinya wanita Solo, suara halusnya seperti mobil mewah baru di-tune-up. Ini nih jawabannya.
“Aku dipanggil Mahmud Abas, soalnya aku tuh …. Mamah Muda Anak Baru Satu”.

Oala, aku kirain transgender.

Pulang ke Kotamu



Penantian panjang berakhir juga, nggak lama sepulang Temu Jidad Apadela, the Great Wall di awal tahun 2014 rencana temu jidad berikutnya di Jogja mulai digarap, makanya aku nggak ikutan saat diajak kawan eSeMPeku, jadi kurang seru kalau ke Jogja keseringan.


Dress-code Temu Jida Apadela, Pulang ke Kotamu 21-23 November 2014, sudah dibuat sejak lama, dan sudah aku siapkan di lemari kapan tahu. Selepas mandi pagi aku sudah memakai Pakaian Dinas Lapangan Apadela lalu mengemas pakaian ke dalam back-pack yang aku masukkan ke dalam koper, biar sesampainya di Jogja kopernya beranak.

Sayangnya yang di dalam perut belum mau segera keluar, aku pancing dengan setengah cangkir kopi, untungnya berhasil kalau nggak bisa galau sepanjang perjalanan,  dengan konsekuensi sampai terminal Damri di Bekasi Barat sudah terlalu terang.


Waduh gawat nih jalanan macet, kawan-kawan selalu memantau posisiku mulai dari Rawamangun, Ancol, Terminal 1, Terminal 2, sampai Terminal 3 Bandara Soetta tempat parkir pesawat Batik Air yang kami tumpangi. Sesampai bandara langsung menuju tempat pemeriksaan barang bawaan, bayar airport tax, boarding, bener-bener just in time.
 
Danau Kulonprogo
Lama penerbangan kami ditambah 15 menit oleh pak pilot. Pesawat muter-muter tujuh keliling di atas danau yang belakang aku tahu bernama danau Kulonprogo. Kata pak pilot akibat padatnya penerbangan menuju Jogja, padahal kami tahu alasan sebenarnya yaitu pesawat selalu miring ke kiri, dimiringkan ke kanan kembali miring ke kiri lagi, musti dibalancing di bengkel. Penyebabnya apalagi kalau bukan 3 wanita berpostur aduhai, Anna, Ratih,  dan Tatik yang duduk di bangku bagian kiri.



Cerita seru justru aku dapatkan di dalam bis Damri yang mengantarku ke bandara. Ceritanya begini. Begitu bis keluar terminal dicegat calon penumpang kebetulan masih ada 2 bangku yang kosong, disebelahku dekat jendela kanan dan satu baris di belakangku, dekat jendela kiri. Naiklah 2 orang penumpang, sepasang suami istri. Nah, si ibu duduk di sampingku, sang suami di tempat kosong yang lain. Tampaknya usia mereka lebih tua dariku.

Si ibu, sebut saja namanya Nan Tulang, meminta suaminya, sebut saja namanya Tulang, menghubungi anaknya agar tidak perlu mengantar handuk dan sandal yang ketinggalan karena bis sudah berangkat. Dari logat suaranya mereka berasal dari Tapanuli.


Dengan Bahasa Batak mereka berkomunikasi, rasanya kalau aku sebulan tinggal bersama mereka aku bisa menjadi penerjemah Bahasa Batak bersertifikat. Aku dapat menangkap isi pembicaraan, Nan Tulang kecewa dengan Tulang yang tidak memberitahukan berita meninggalnya saudara Nan Tulang di Sumatra Utara semalam dengan segera, akibatnya Nan Tulang pagi ini harus tergopo-gopo terbang ke Kuala Namu dan nggak bisa bareng keluarga yang lain.

Untungnya huru-hara tidak berkepanjangan, apalagi sampai terjadi pertumpahan darah, kini suasana mejadi tenang tenteram. Alhamdulillah.

Eit …! Tunggu dulu, rupanya Nan Tulang mulai menanggis. Rasanya aku ingin membujuk sambil memeluknya, namun aku takut kalau tiba-tiba si Tulang lantas membacokku dari belakang.