Minggu, 19 April 2015

Bromo Bagus

Selepas menonton pertunjukan matahari terbit, kamipun mengambangi mobil masing-masing. Aku masih dengan mobil yang sama yang dikemudikan oleh pak Martono. Dari agamanya, Hindu, bisa dipastikan pak Martono keturunan Majapahit yang menyingkir ke pegunungan Tengger akibat serangan pasukan Raden Patah yang memporak-porandakan Majapahit.


Lagi-lagi pak Martono mempertunjukan keahliannya mengemudi, kalau kamu takut cerita horror kamu bisa melompat ke alinea berikutnya. Bagaimana nggak horror?, coba bayangkan pak Martono bilang begini saat di turunan curam, “Nah, mas sekarang saya pakai perseneling 4 kali 4, nggak pakai rem”.
“Whaattttt ……..!!! Nggak pakai rem ……!!!”.

Sampailah kami di padang pasir Bromo, tempat tukang kuda menawarkan tunggangannya menuju kawah Bromo. Kami bermain game untuk menghilangkan kepenatan dan stres akibat naik mobil nggak pakai rem.

Tak lupa berfoto-ria, dengan berbagai gaya termasuk lompat-lompatan, dan kini aku tampilkan foto gaya melompat yang terbaik. Nggak deng, itu foto aku tampilkan gara-gara ada akunya kok.

Kami nggak menuju kawah yang harus mendaki 250an anak tangga, maklum sudah pada lewat setengah abad.

Kami nggak naik kuda di sini, sebagai gantinya naik kuda di bukit Teletubbies. Aku pikir dinamakan Teletubbies karena tempatnya berpelukan, tapi percuma juga yang dipeluk nenek-nenek. Ternyata nama Teletubbies karena bukit di Bromo seperti bukit dalam film Teletubbies.


Naik kuda di sini separuh dari harga naik kuda menuju kawah Bromo, karena jarak tempuhnya lebih dekat. Yang penting bisa fotoan dengan (tukang) kuda.

Tujuan selanjutnya Pasir Berbisik yang ada batu Singa, batu yang dilihat dari kejauhan persis Singa. Nama Pasir Berbisik sesuai penjelasan pak Martono (ayo masih inget nggak pak Martono itu siapa?), pasir di sini kalau tertiup angin mengeluarkan suara seperti berbisik. Tapi kali ini nggak soalnya semalam hujan turun di Bromo sehingga pasir di sini basah sulit diterbangkan oleh angin, jangankan bersisik, buka mulut aja nggak mau.

Rasanya males banget beranjak meninggalkan Bromo kalau saja pak Martono nggak mengingatkan kami bahwa sarapan menanti di Java Banana paling lambat jam 10.


Aku kasih tahu ya kepada kamu semua, kalau ada kesempatan, berwisata deh ke Bromo, bagus banget!, dari semua gunung yang pernah aku lihat, Bromo yang paling bagus!.
Emang elu pernah ke gunung apa aja Men?”.
“Anak gunung ditanya gitu!, kalau aku sebutin jangan kaget ya!, .............. baru Bromo doang!”.

Matahari Rasa Bromo



Percuma aku memasang alarm jam 02.45 soalnya baru jam setengah tiga morning call berdering 15 menit sebelumnya. Nggak rela nih harus bangun jam setengah tiga pagi.


Semalam kami baru tiba di Java Banana di atas jam sepuluh, langsung bersih-bersih, dan siap dengan pakaian lengkap untuk pagi hari, jadi begitu bangun langsung berangkat, nggak mau rugi kehilangan waktu tidur.

Begitu keluar kamar jam 3 pagi sesuai perjanjian Feds sudah pada siap menaiki 3 Toyota hardtop yang membawa kami ke Penanjakan, pos penantian bagunnya si matahari Bromo.

Pak Martono, pengemudi yang membawa 6 orang di antara kami menuju pos, melewati rute on road dan off road, melewati tanjakan lengkap dengan jurang-jurangnya. Pak Martono lebih dari 25 tahun mengemudi si hardtop, begitu berpengalaman dan ahli sampai pantangan mengemudi hardtop tua dilanggar yaitu mengoper perseneling dari gigi 2 ke gigi 1 nggak pakai berhenti dan nggak ada bunyinya. “Mas, sekarang sudah masuk gigi 1 lagi”, katanya pamer.


Setengah jam berlalu, akhirnya kami sampai di salah satu pos saat azan subuh berkumandang, aku segera menuju musolah langsung berjamaah karena sebelum berangkat aku sudah mengambil wudhu, takut kedinginan kalau berwudhu di sini. Menggigil tubuhku saat subuhan sambil mendengarkan alunan suara sang imam, bukan karena khusuk tapi kedingininan, berrrrrrrrrr ...

Dari sini harus berjalan lagi, atau naik ojek seharga 20 ribu. Aku memilih berjalan kaki. Di sepanjang perjalanan para tukang ojek silih berganti menawarkan jasanya, sampai akhirnya mereka menurunkan tarif menjadi 10 ribu rupiah, untung aku nggak tergoda karena 10 ribu hanya untuk menikung ke kanan yang jaraknya nggak lebih dari sepuluh meter dari tangga menuju pos pengamatan.


Langit mulai kemerahan, seolah sang alam tengah menggelar karpet merah untuk menyambut keluarnya sang mentari. Perlahan tapi pasti tabir malam terbuka, semua mata memandang ke arah timur, di depan mata mulai terlihat relief alam.

Matahari yang ditunggu masih belum mau muncul, mungkin karena penonton tidak ramai-ramai melakukan ritual Ciluk Ba.


Penonton alias pengunjung banyak banget sampai nggak kebagian tempat duduk. Norak banget kaya belum pernah melihat matahari aja.

Matahari yang muncul ternyata sama dengan matahari yang aku lihat sehari-hari, tadinya aku pikir matahari di Bromo berbeda dengan matahari yang biasa kulihat, aku pikir begitu muncul mataharinya pakai bikini.

Jumat, 17 April 2015

Wisata Museum



Tiga dekade lalu seorang kawanku ogah banget ketika ditawari untuk mengunjungi beberapa museum di Belanda, “Nggak asyik banget!”, ujarnya.

Kini giliran aku membaca itinerary jalan-jalan ke Surabaya dan Malang dari tanggal 17-19 April 2015  bersama Feds yang isinya mengunjungi 3 museum, kalau aku pergi sendiri aku bakalan bilang, “Idih, males banget!.

Museum pertama yang kami kunjungi Museum Sampurna di Surabaya, dari namanya kami bisa menerka jeroan museum ini pasti isinya berkisar rokok merokok. Lokasinya di paberik rokok Sampoerna yang pertama. Kalau kamu membaca tulisan paberik itu memang aku sengaja biar lebih kental nuansa museumnya, jadi bukan karena salah ketik, paham ya!.

Pintu museum dibuka dari dalam oleh 2 dara manis, aroma menyambut kami, “Tembakau”, ujar beberapa dari kami. Bel di dalam hatiku berbunyi, “Tet ..tot”, salah. Walaupun di ruangan ada beberapa keranjang tembakau tapi buka aroma tembakau yang dominan melainkan aroma cengkeh yang menyengat. Semeriwing cengkeh sampai ke lantai 2.

Kita mulai dari lantai 2, seolah berdiri di balkon kamu bisa melihat aktifitas pabrik rokok beneran dengan peralatan zaman dulu lengkap dengan buruhnya, kalau kamu datang antara pukul 8 sampai pukul 13, kamu juga bisa membeli merchandiser. Di lantai 1 ada laboratorium, oven pengering, drum band Sampurna yang berjaya di era awal 1980an, dll. Di museum ini kamu nggak perlu takut kepanasan karena ruangannya pul AC.

Museum berikutnya, Museum Angkut di Batu, Malang. Namanya museum angkut ya isinya alat angkut  dari becak, gerobak, delman yang made in Indonesia, replika sepeda dengan ban mati, mesin uap, motor, mobil, dll, dan nggak ketinggalan kendaraan yang menjadi saksi sejarah perang dunia.

Buatku yang menarik Mercy Batman, Mercedes Benz tahun 1960an berwarna hitam dengan 2 ujung bagian belakang runcing seperti mobil Batman, aku dulu pernah punya soalnya. Kalau nyetir mobil itu serasa menjadi orang paling kaya di dunia.

Nah, nggak mau kalah sama isi museum, Feds memakai dress code zaman dulu di era 1950an, mereka bikin video clips segala. Bagus dan kreatif!.

Museum yang ketiga adalah Museum Malang Tempo Doeloe, sayangnya si empu museum yang merangkap pemilik rumah makan di sampingnya menutup museum dan restoran untuk persiapan acara khitanan pemiliknya, eh putra pemiliknya. Kami kecele!.

Sebagai hadiah hiburan kami diperkenankan berfoto ria dengan tempat makanan kaleng yang biasa dipakai penjajah kue baskom, bagus buat foto-fotoan.

Sayang ya museumnya tutup. Mungkin si pemilik punya alasan …… takut isi museumnya kalah antik dibandingkan kami.