Sabtu, 26 Mei 2012

Mirror, Mirror


Sampai di Yogyakarta agak terlambat mungkin karena penumpang keretanya berisik jadi jalannya pelan. Percaya nggak di kereta ber-AC kami sempat keringatan. Gara-gara AC mati, atau dimatikan, siapa tahu si petugas kesal karena kami terlalu berisik sudah begitu jarang yang jajan soalnya makanan dan minuman lengkap kami bawa dari Jakarta.

Panitia Yogyakarta berbaju merah menyambut, mereka para pembual besar nggak menepati janji, tega-teganya mereka menipu kami!!!. Mana karpet merahnya … !!!.
Kami nggak langsung menuju Soto Kadipiro sesuai yang tertera dalam jadual acara tetapi menuju Wisma Bimo tempat panitia penyambutan menginap, memberikan kesempatan kepada kami untuk bersih-bersih. Pemilik wisma sudah bisa diterka seorang purnawirawan berbintang, beberapa foto ukuran besar terpampang di ruang makan bahkan ada juga yang bercokol di teras.

Aku menawarkan baju merah kepada Aria, diapun menjawab, “Gue udah bawa, gue sangka warnanya harus polos”.
Jadilah si baju merah ngeberat-beratin bawaanku.


Di meja saji tersedia nasi gudeg dengan setoples plastik besar kerupuk kampung, aku ambil separuh kerupuk, enak banget. Aku bolak-balik ke meja saji sampai lebih dari 5 kali, akhirnya aku putuskan mengambil 2 sendok nasi putih, sesendok gudeg, sesendok sambal kerecek, separuh telur, dan sesuir besar ayam, separuh kerupuk dan segelas teh hangat. Masa sih sampai Jogja nggak makan gudeg. Kalau nanti kekenyangan sarapan Soto Kadipiro, itu mah urusan ning buri.


Waktu aku bergudeg-ria, beberapa kawan masih rebutan kamar mandi, aku nggak perlu antri seperti itu, aku kan the O. Maksud lo!


Saat tiba aku langsung bertanya kepada penjaga wisma.
“Kamar mandinya di sini”, penjaga wisma memberi-tahu. Tanpa melepas ransel aku menuju kamar mandi, kloter pertama, nggak pakai antri. Guyuran pertama membasahi kepala, rasanya segar banget. Gantungan baju di pintu kamar mandi pakunya copot satu karena nggak kuat menahan beban ransel. Cerminnya sombong.
“Mirror … mirror on the wall, siapa orang yang paling ganteng?”.
Si cermin tidak menjawab.
“Cermin … cermin di dinding, siapa orang yang paling ganteng?”.
Tetap tidak menjawab, jangan-jangan cerminnya budeg gara-gara kebanyakan makan gudeg, aku ulangi sedikit lebih keras.
“Cermin … Cermin Di Dinding, Siapa Orang Yang Paling Ganteng?.
Tetap nggak menyahut.

Aku nggak putus asa, aku coba sekali lagi.
“Koco … koco nang dinding, sopo sing paling ayu?”, loh kok ayu sih aku menyebutnya, maklum bukan orang Jawa.
“Sampeyan …”, jawabnya. Ternyata cerminnya asli Jogja.

Tidak ada komentar: