Minggu, 27 Mei 2012

Ikat Pinggang Marisa Haque

Jam 7 pagi Aria dan aku turun untuk sarapan, sebelumnya aku melakukan ritual ketuk pintu kamar 324, punya Dewi dan Intan, dua orang itu suka iseng kalau lewat kamar kami selalu mengetuk pintu, begitu dibuka orangnya nggak ada. Aria pernah bertanya, “Siapa tuh Men yang ngetok pintu?”.
“Biasa … cewek yang naksir gue”, aku jawab begitu.
Pak Ugi sudah memulai sarapan, pakem masih dipegang teguh, guru nggak boleh kalah sama muridnya, padahal kami murid pertama yang tiba di lokasi sarapan. Sarapan gudeg menjadi pilihan Aria dan aku, enak banget!. Kami sarapan di taman karena Aria seorang ahli hisap.
Iin, Evi, Nia, Udeng, Uun, Sis bergabung. Kesempatan bertemu dengan penulis dimanfaatkan Iin, “Men, cerita elo di SMA macem-macem banget?”.
“Makanya waktu di SMA tuh bandel, jadi punya banyak cerita”, tapi bandel aja nggak cukup, selain bandel kamu harus pintar nasihatku, siapa tahu Iin mau masuk SMA lagi.
“Kalau aku terharu banget waktu baca cerita temen yang nyaris meninggal di jurang”, Evi ikut-ikutan.
“Ini orangnya yang nyaris tewas”, jawabku sambil menunjuk Aria.
Sehabis sarapan bersama Tatik, Rike, Aria, Intan, Nia, Udeng, Dewi, Ratih, Jimbo, kami menjajah Malioboro untuk mencari gituan, bahkan sampai Pasar Beringharjo. Pedagang Beringharjo punya pakem, harga pas nggak bisa ditawar, keqi banget waktu mau beli celana pendek batik selusin bareng Aria dan Rike, begitu kami pergi eh dikasih.
“Men, kok elu dibayarin Aria?”, Rike terheran-heran.
“Itu pake uang kas Apadela”, padahal itu uang aku di Aria belum dikembalikan untuk biaya ke Jogja, waktu transfer ke Weny pakai uang aku dulu.
Keluar Beringharjo Rike, Tatik, Ratih dan Aria makan pecel, ya ampun baru sarapan makan lagi, pastes aja badan mereka pada lebar-lebar.
Nggak lengkap rasanya sudah sampai Jogja nggak beli bakpia Patuk, penganan itu kami beli langsung dari pabriknya dengan naik beca bolak-balik seharga lima ribu.
Jelang makan siang kami meninggalkan Malioboro, tempat aku dulu membeli 2 buah ikat pinggang kulit, salah satunya pernah dipakai Marisa. Kok bisa?
Ikat pinggang kulit berwarna coklat memang cocok dengan seragam sekolah yang krem-krem, nah waktu aku mau turun berpapasan dengan Marisa, “Men, ikat pinggang elo keren banget deh!, buat gue dong!”.
Akupun melepaskan si ikat pinggang dan segera perpindah tangan. Waktu Eny Damayanti tahu cerita ini dia bilang, “Seharusnya kamu langsung minta barangnya Marisa, pasti dikasih. Dia emang begitu”. Ya ..., telat!.
Salah seorang kawanku pernah bilang, “Itu ikat pinggang pasti udah masuk tempat sampah!”.
Menurutku belum tentu juga, siapa tahu Marisa bingkai dan dipajang di ruang tamu, ya kan?


Willem Teddy Usmany Gw stuju sm elo Men, kayax mmg itu ikat pinggang dibingkai dan dipajang diruang tamu. Xixixi....!



Tiza
Selalu menarik baca tulisan kang chormen.
Thank you kang !

Tidak ada komentar: