Senin, 28 Mei 2012

Mari Menjahit


Nggak semua kawan menghabiskan pagi hari mereka menemaniku mencari gituan di Malioboro, ada yang asyik berburu tas Dowa, ada yang lebih suka main benteng-bentengan di Vredeburg, dan ada yang memilih meyeruput kopi dalam naungan SCC, Smandel Coffee Club. Foto-foto ini bisa menggambarkan selera mereka.

Sambil menunggu semua peserta kembali ke dalam bis yang diparkir di dekat kantor pos beberapa teman makan bakso di tenda kaki lima, jauh-jauh ke Jogja kok makan bakso.

Kami semua menuju Huma sebuah restoran yang dikomandani Marhaendra yang terletak di jalan Sangaji. Restorannya menempati rumah tua dengan langit-langit yang tinggi dan tembok yang tebal, persis rumah masa kecilku di Berlan, rumah zaman kolonial.

Aku memesan steak iga sapi yang rasanya enak banget, kamu jangan kaget kalau aku menyebutkan harganya yang 18 ribu per porsi, sedangkan minuman aku pilih jus alpukat dan teh es.

Setumpukan flash disc di meja tempat Eneng, Aria, Heppy dan Dea yang tengah mengunduh foto ke dalam gadget untuk selanjutnya di-copy ke dalam flash disc yang bejibun itu, pasti ada yang diprioritaskan, dan aku nggak perlu khawatir karena flash disc-ku didahulukan. Bukan apa-apa, ini perkara narasi, foto-foto kan perlu narasi biar lebih berbicara, ya nggak?.

Kawan SMPku, Yani Wage, ikut nimbrung di Huma, ketika kembali kami diberikan sekardus aneka keripik, tenkyu banget. Kami juga ngasih tengkyu kepada Ira yang meneraktir di Huma.

Aku berputar dari ruangan ke ruangan karena meja makan kami terpisah di beberapa ruangan, untuk mendapat cerita yang pantas aku masukan ke dalam blog, kudapat dari Didut.

“Men, elo masih inget nggak guru menjahit?”, Didut bersedia membuka aibnya.
“Gue mana tahu? Laki-laki kan nggak dapet pelajaran menjahit”, belakangan kami ingat bahwa guru yang dimaksud ibu Anidar.

Hari itu bu Anidar mengambil nilai daster yang dibuat masing-masing murid, dipanggil sesuai nama dalam buku nilai dari atas ke bawah, giliran Diah Krisdianti kok dilompati, “Ada yang nggak beres?”, Didutpun mengendap-endap ke samping meja guru, yang nggak beres ternyata menguntungkannya karena persis di samping namanya tertulis nilai 7 koma 5. Dia tersenyum, karena yang nggak beres ternyata terlalu beres.

Didut kembali ke mejanya untuk memasukan satu per-satu potongan daster yang belum dijahit, potongan itu yang tadinya dipasrahkan untuk dinilai, paling nggak ibu Anidar memberikan ongkos menggunting, dengan pola yang nggak tahu siapa yang buat.

Didut berdiam diri, diam adalah emas, sambil bertanya dalam hati, siapa yang berbaik hati meberikan nilai daster untuknya.
Sekarang giliran Liza dipanggil ibu Anidar.
“Liza Soenar”.
“Bu, kan tadi daster saya sudah dinilai”.

Oh, rupanya nilai daster Liza masuk ke tempat Didut, akhirnya daster Liza dinilai ulang dan mendapatkan nilai 7.
“Liza pinter ngejahit dong Dut!”.
“Semua orang bilang begitu, tapi elo tahu sendiri kan Men, Liza dipanggil Okem, mana bisa dia ngejahit!. Dia nyuruh pembantunya ke penjahit di pasar Cijantung sambil ngebilangin, mbak bilangin sama penjahitnya jangan bagus-bagus takut nanti ketahuan”.





    • Diah Krisdianti Men... gw mesti berterima kasih sama Liza.... mana mesin jahitnya yang pake kuno pula.... mana kubisa....
      2 hours ago · · 1

Tidak ada komentar: