Minggu, 11 Maret 2012

Rugby


Tanpa terasa 2,8 km jalanan menanjak telah kami lalui, sekarang kami sudah di bibir hutan pinus bersama serombongan anak-anak, calon pengganti Lionel Messi, tengah pemanasan untuk bermain sepak bola dengan seorang pelatih muda calon pengganti Jose Mourinho, the special one.


“Jadi inget main rugby, seru banget!, elo masih inget nggak?”, semua lelaki Apadela bilang begitu. Siapa sih yang bakalan lupa peristiwa 32 tahun lalu, peristiwa yang selalu dikenang seumur hidup kami. Itu juga kalau kami belum pikun.

Satu jam pelajaran Olah Raga telah kami habis di aula, lantai 2 di atas laboratorium, berlatih senam bersama bapak Ugi, satu jam berikutnya kami diberi kebebasan memilih. Anak perempuan mengambil lapangan volley, anak laki main basket. Karena lelakinya lebih dari 20 orang nggak mungkin dong main basket bareng, dibuat 2 kelompok, sepuluh orang jagoan main duluan satu babak.

Sisanya kawan yang kurang pinter main basket, omongan mereka nyelekit banget, “Palingan nggak gantian, kita duduk terus nih sampe bel istirahat”. Mendengar selentingan seperti itu, aku nggak bisa pura-pura budek, “Ya udah semuanya masuk lapangan kita bikin 2 kelompok, kita main rugby”.

Dari Buku 50 Tahun Smandel
Aku suit melawan Aria, aku menang. Gampang banget mengalahkan Aria, dia kalau suit yang keluar selalu telunjuk duluan, “Ayo suit, yang menang ikut gue, yang kalah ikut Aria”. Deden suit melawan Iriana, hasilnya Iriana ikut aku.

“Mainnya gimana Men?”, pertanyaan yang lumrah, maklum belum pernah dimainkan di Smandel selama ini.
“Gawangnya di antara 2 ring basket, kita masukin aja ke sana”, zaman dulu tiang ring basket nggak cuma satu.
“Oke, mulai deh”, kawan-kawan mulai bersemangat.
“Eh, tunggu dulu!, ada 1 aturan lagi!, yang kebobolan duluan harus buka baju sampai bel istirahat”, aku paling demen bikin aturan yang aneh-aneh. Mereka pada tertawa.

Apadela vs Apadela, 2 IPA 8 vs 1 IPA 2

Bola basket dilambungkan ke udara, tanda dimulainya permainan, Iriana membobol gawang lawan. Dengan sportif tim lawan membuka kaos olah raga, kini mereka bertelanjang dada, kerempeng semua.

Permainan dimulai lagi, makin lama semakin seru, saling tarik-tarikan, dorong-dorongan, injak-injakan, piting-pitingan, dan teriak-teriakan. Semuanya tertawa, nggak ada yang (boleh) marah, ha ha ha …

Lima menit sebelum bel datang usulan, “Men, udahan dong, 5 menit lagi bel, nggak enak nih nanti dilihatin orang-orang”, karena sudah banyak kelas lain yang nonton di pinggir lapangan.
“Eit …., nggak bisa! Perjanjiannya sampe bel istirahat”.

Bel istirahatpun berbunyi, kawan yang bertelanjang dada memungut kaos olah raga mereka di pingir lapangan berlarian dan berteriak menuju kelas di lantai 2, gaduh sekali. Sementara pak Ugi geleng-geleng kepala di kejauhan.

Maria Hasjim and 2 others like this.

Seminggu kemudian sebelum olah raga pak Ugi memberi briefing, “Belum pernah saya melihat kelas sekompak kalian, kekompakan modalnya kemenangan dalam pertandingan, saya yakin kalian selalu menang dalam pertandingan, tapi olah raganya jangan yang kayak kemarin, apaan tuh … olah raga nggak karuan kayak gitu!”, disambut dengan derai-tawa kami.

Pernyataan pak Ugi memang terbukti, kami menjadi juara umum class meeting, hebat nggak tuh!.

Aku senyum-senyum sendiri kalau membayangkan peristiwa itu, namun ada sedikit penyesalan, mengapa waktu itu aku nggak bikin aturan buka bajunya sampai bel pulang, bisa-bisa mereka belajar sambil telanjang!.

Tidak ada komentar: