Minggu, 16 Desember 2012

Perkara Mata



Mungkin aku orang yang paling beruntung dalam Baksos Kacamata Smandel 81 yang bertajuk "Mata Sehat Jendela Dunia", soalnya Amita saat memeriksa pasien cilik selalu mengucapkan, “Coba matanya lihat om yang ganteng”, om yang ganteng dimaksud Amita tentu saja aku. Waktu aku ceritakan kepada kawan-kawan saat di dalam bis, terdengarlah paduan suara, “Terang aja …! Mata Amita katarak …!”.

Keberuntung masih berpihak kepadaku, baru 5 menit menjadi asisten Amita, aku sudah mendapatkan gelar DMG alias Dokter Mata Gadungan. 

Nah, enaknya lagi, aku nggak perlu lari-lari untuk dipotret, sebab Amita kan salah satu bintang Baksos kali ini, kamera selalu menuju ke arahnya, kalau dia dipotret paling nggak aku kena cipratan lampu kilatnya. Hal itu yang membuat kawan-kawan merasa aneh, soalnya biasanya kan aku selalu ada di lapak foto mereka.
“Waduh Men, kita foto-fotoan elo nggak ada!”.
“Bukannya elo pada seneng kalau nggak ada gue-nya”.
“Justru sebaliknye, kalau nggak ada elu-nya, kite-kite siapa nyang nyeritain!”.


Ilmu tentang kesehatan mata menarik banget, Amita dengan senang hati menjelaskan persoalan yang dihadapi pasien cilik kita.
“Anak tadi menurut pemeriksaan seharusnya dapet kacamata, tapi aku nggak kasih, percuma soalnya saraf matanya harus diperbaiki dulu, waktu masih kecil kena (virus) Tokso... Coba lihat deh, mata anak ini ada (lapisan lebar) katarak, musti cepet dioperasi sebentar lagi kataraknya sampai ke tengah padahal umurnya baru 9 tahun, nggak sesuai teori kan kalau katarak itu penyakitnya orang tua... Anak barusan pasti nggak bisa ngikutin pelajaran walaupun dia punya kacamata, kacamatanya masih yang 3 tahun lalu, sekarang matanya kiri-kanan minus 10, sementara kacamatanya masih minus 3... Anak ini masih bisa ngeliat dengan jelas tapi kasihan matanya yang kerja cuma 1, yang kiri normal sementara yang kanan minus 6, sebentar lagi (dengan kacamata) kita buat matanya kerja bersama-sama... Coba lihat mata kanannya sayu karena syaraf matanya lemah”.
“Anak ini dianterin orang-tuanya, kita sampein aja ke orang-tuanya sekalian”, saranku.
Bapak si anak seneng banget, penyebab keluhan mata si anak kini terjawab sudah.

Ada satu anak yang matanya normal dari pemeriksaan awal oleh Smandelers, tetapi bapaknya ngotot karena kadang-kadang anaknya kesulitan membaca, bahkan bukunya diletakan di dekat matanya saat membaca, akhirnya diperiksa ulang oleh crew Aini. Dari staf perempuan, sebut saja namanya Suster, dia bilang kepadaku begini, “Dok, tadi ada anak laki-laki waktu saya periksa pertama bisa baca, eh belakangan kesulitan, kami berkesimpulan anak itu maling ring. Kalau mau tahu jelasnya bisa tanya dokter Amita”.
“Maling ring?. Maling ya maling!. Anak tadi sebetulnya matanya normal cuma pura-pura ada kelainan di matanya supaya dapet perhatian orang tuanya ”, Amita menjelaskan.

Nggak lama setelah pemeriksaan berakhir, Suster mendekatiku, kalimat yang keluar dari mulutnya membuatku lemas, “Dok, 1 dari  3 berkas pemeriksaan hilang”. Nah loh! Bagaimana mau bikin kacamata kalau berkas pemeriksaannya hilang.
Aku coba membantu mencari, nggak lama Suster mendekatiku lagi, “Dok, berkasnya sudah ketemu”.
Kini aku mengerti apa yang dinamakan maling ring, jangan-jangan Suster mailing ring juga!. Kok, aku jadi ge-er  sih, siapa tahu berkas tadi hilang beneran!.

Alat yang kami bawa cangih-cangih, biar baksosnya nggak setengah-setengah. Ada alat yang namanya aku lupa, fungsinya untuk melihat isi bola mata, ibarat mau melihat daging kelapa yang berwarna putih kita nggak perlu membuka sabut dan membelah batoknya, canggih ya!.
Aku meminta Amita memeriksa bola mataku dengan alat yang baru aku ceritakan, yang hasilnya membuat jantungku hampir copot.
“Waduh, gawat!. Matanya musti cepet-cepet dioperasi!”, suara Amita.
“Jangan nakut-nakutin gitu dong!”.
“Ih, beneran … musti dioperasi”.
“Emang kenapa?”, sambil menahan jantung biar nggak copot betulan.
“Tadi aku lihat ….., di mata kamu banyak keranjangnya!”.

Tidak ada komentar: