Sabtu, 23 Juli 2016

Telanjang Bulat di Puncak Darma



Enam buah tenda sudah berdiri di tanah datar puncak Darma, Ciletuh, Sukabumi, penghuninya hanya 20 orang yang setiap orangnya mendapatkan matras dan sleeping bag sehingga terkesan gemah ripah loh jinawi, sementara agak sedikit menjauh rombongan remaja berjumlah 20 orang hanya dinaungi sebuah tenda, kalau tidur seperti ikan teri yang dijejerkan, dan sebelum dijejerkan dibejek-bejek dulu. Nah ya menghina!. Orangnya nggak denger ini.


Dari sini kita bisa memandang lekukan teluk Ciletuh yang berbentuk tapal kuda dan halimun.
“Gunung Halimun kan di Bogor, emang bisa kelihatan dari sini”, kata yang keluar dari mulutku yang terkesan norak buat lulusan IPB yang merangkap anak Smandel lulusan tahun 1983.
“Omen …….., halimun itu kabut”, penjelasan Nina dan Yani.
Mampus gue, mengaku anak gunung tapi nggak tahu halimun. Oke deh, sebaiknya urusan halimun nggak usah diperpanjang, nggak apa-apa ya?.

Menjelang matahari terbenam, pemandangan terlihat semakin cantik, memang ini yang kami cari.


Sebelum shalat Magrib berjamaah kami mengambil wudhu berjamaah di sungai kecil yang berjarak kira-kira seratus meter dari tenda kami berdiri. Sungai yang esok subuh akan dipakai mandi telanjang bulat oleh Dhyta, Oemi dan Nina. Pembicaraan tentang telanjang bulat kita tunda dulu ya, kan subuh masih sepuluh jam lagi.

Perut malam ini diganjal dengan nasi liwet, ayam bakar dan goreng, ikan, sambal dan lalapan, enak banget walau harganya terkesan sedikit kemahalan di salah warung puncak Darma.


Malam ini kami tidur nggak terlalu larut soalnya malam sebelumnya kami nggak tidur karena menunggu penyu bertelur di Ujung Genteng. Jam 3 pagi aku terbangun, mulai mengeksplorasi tenda mencari makanan, nggak susah karena tenda yang dihuni bersama Irwan dan Adip ini merangkap lumbung makanan. Adip, anaknya Nina, ikut terbangun, mulailah kami berdua memamah biak.
“Adip, kue yang ini enak banget deh, sayang udah tinggal dikit”.
“Bener Om enak bangeeeeet kuenya ……., Om buka yang itu Om kayaknya enak tuh”.



“Hoiiiiii ……, makanannya jangan diabisin”, suara emak-emak di tenda sebelah.
“Waduh, salah narok makanan kita!”, suara emak yang lain.

Menjelang subuh semua penghuni kawasan tenda Ilalang Smandel terbangun tak terkecuali keluarga Aji dan bapak Budi. Air sudah dipanaskan pertanda sebentar lagi kopi disajikan.


Di dekat tenda sudah disediakan ember dan jerigen berukuran 20 liter untuk kami mengambil air wudhu, tetapi Nina, Oemi dan Dhyta, wanita berkepala 5 ini lebih suka di sungai kecil.

Sekembalinya mereka mereka setengah berteriak berkata bangga, “Hoiiiiiii ……., kita dong udah mandi ….!!!, mandinya telanjang bulet ……….!!!”.
Aku di dalam tenda menimpali dengan nggak kalah kerasnya, “Ya iyalah, sekarang mandinya telanjang bulet ……., kalau dulu sih telanjang masih ada bentuknya”.



 [20/11 21.19] Nina Andriani: 😂😂😂😂
[21/11 03.24] Dhyta Devanty: 😂😂😂
[21/11 06.32] Laksmi 883: Omeen... 👍👍
[21/11 06.41] Witdyaningsih 883: 👍👍😆😆
[21/11 06.45] Nina Andriani: Harusnya tambah teh Oemi tuh Men 😜
[21/11 06.51] Riry Sarifah: 😀😀😀👍🏼👍🏼
[21/11 06.54] Chormen: Nanti aku perbaiki, thanks Nina
[21/11 07.02] Oemi: 😂😂😂😂

Tidak ada komentar: