Jumat, 21 November 2014

Pulang ke Kotamu



Penantian panjang berakhir juga, nggak lama sepulang Temu Jidad Apadela, the Great Wall di awal tahun 2014 rencana temu jidad berikutnya di Jogja mulai digarap, makanya aku nggak ikutan saat diajak kawan eSeMPeku, jadi kurang seru kalau ke Jogja keseringan.


Dress-code Temu Jida Apadela, Pulang ke Kotamu 21-23 November 2014, sudah dibuat sejak lama, dan sudah aku siapkan di lemari kapan tahu. Selepas mandi pagi aku sudah memakai Pakaian Dinas Lapangan Apadela lalu mengemas pakaian ke dalam back-pack yang aku masukkan ke dalam koper, biar sesampainya di Jogja kopernya beranak.

Sayangnya yang di dalam perut belum mau segera keluar, aku pancing dengan setengah cangkir kopi, untungnya berhasil kalau nggak bisa galau sepanjang perjalanan,  dengan konsekuensi sampai terminal Damri di Bekasi Barat sudah terlalu terang.


Waduh gawat nih jalanan macet, kawan-kawan selalu memantau posisiku mulai dari Rawamangun, Ancol, Terminal 1, Terminal 2, sampai Terminal 3 Bandara Soetta tempat parkir pesawat Batik Air yang kami tumpangi. Sesampai bandara langsung menuju tempat pemeriksaan barang bawaan, bayar airport tax, boarding, bener-bener just in time.
 
Danau Kulonprogo
Lama penerbangan kami ditambah 15 menit oleh pak pilot. Pesawat muter-muter tujuh keliling di atas danau yang belakang aku tahu bernama danau Kulonprogo. Kata pak pilot akibat padatnya penerbangan menuju Jogja, padahal kami tahu alasan sebenarnya yaitu pesawat selalu miring ke kiri, dimiringkan ke kanan kembali miring ke kiri lagi, musti dibalancing di bengkel. Penyebabnya apalagi kalau bukan 3 wanita berpostur aduhai, Anna, Ratih,  dan Tatik yang duduk di bangku bagian kiri.



Cerita seru justru aku dapatkan di dalam bis Damri yang mengantarku ke bandara. Ceritanya begini. Begitu bis keluar terminal dicegat calon penumpang kebetulan masih ada 2 bangku yang kosong, disebelahku dekat jendela kanan dan satu baris di belakangku, dekat jendela kiri. Naiklah 2 orang penumpang, sepasang suami istri. Nah, si ibu duduk di sampingku, sang suami di tempat kosong yang lain. Tampaknya usia mereka lebih tua dariku.

Si ibu, sebut saja namanya Nan Tulang, meminta suaminya, sebut saja namanya Tulang, menghubungi anaknya agar tidak perlu mengantar handuk dan sandal yang ketinggalan karena bis sudah berangkat. Dari logat suaranya mereka berasal dari Tapanuli.


Dengan Bahasa Batak mereka berkomunikasi, rasanya kalau aku sebulan tinggal bersama mereka aku bisa menjadi penerjemah Bahasa Batak bersertifikat. Aku dapat menangkap isi pembicaraan, Nan Tulang kecewa dengan Tulang yang tidak memberitahukan berita meninggalnya saudara Nan Tulang di Sumatra Utara semalam dengan segera, akibatnya Nan Tulang pagi ini harus tergopo-gopo terbang ke Kuala Namu dan nggak bisa bareng keluarga yang lain.

Untungnya huru-hara tidak berkepanjangan, apalagi sampai terjadi pertumpahan darah, kini suasana mejadi tenang tenteram. Alhamdulillah.

Eit …! Tunggu dulu, rupanya Nan Tulang mulai menanggis. Rasanya aku ingin membujuk sambil memeluknya, namun aku takut kalau tiba-tiba si Tulang lantas membacokku dari belakang.

Tidak ada komentar: