Kamis, 29 Januari 2009

Kisah Sepenggal Sisir Raksasa

Adriano Rusfi
3 IPA 1 Smandel 83

Saat itu hari Senin, entah tanggal berapa. Tapi yang pasti kelas satu semester dua. Ya, karena saat itu aku sebangku dengan Didi Arifin, Si Keriting nan Kemayu. Berarti jam pelajaran pertama aku akan berhadapan dengan Ibu Galak Tersayang : Ibu Mariana. Ondeh mandeh... berarti aku berhadapan dengan tiga berita buruk sekaligus, ya Ibu Mariana, ya Bahasa Inggris, ya buku Student Book yang maha berat itu (maafin aku ya Bu...).

Buku yang satu ini memang menyebalkan. Ukurannya tak pernah muat di tasku yang kecil. Dan aku harus menentengnya di tangan secara bergantian. Tangan yang, lagi-lagi, juga kecil. Seperti mengangkat barbel sambil berjalan rasanya, dari rumah ke terminal Kampung Melayu, dari Tongtek ke Takitri tercinta : pulang-pergi !. Belum lagi dengan pelajaran Bahasa Inggris yang hingga hari inipun aku nggak kunjung pintar. Tentang ibu Mariana? Ah sudahlah, kita sama-sama tahu. Seh... (Lagi-lagi maafin kedangkalan sikapku Bu...)

Tapi pagi itu ada secercah harapan, semacam Escape from Alcatraz. Seksi Upacara OSIS ada rencana latihan gerak jalan persis pada jam pertama, persiapan lomba gerak jalan se Jakarta Selatan. Kebetulan aku anggota Tim Srigala, nama tim Smandel saat itu. A-ha... berarti tak perlu ikut Bahasa Inggris dan tak perlu bawa Student Book. Bahkan di tasku masih ada lowongan untuk sebilah sisir. Obat ganteng ini biasanya diperlukan sehabis latihan gerak jalan. Wow... I like this Monday (Kalo kalimat yang ini ajaran Ibu Mariana. Makasih Bu…)
Dan tak seperti biasanya, pagi itu aku melangkah riang dan ringan ke sekolah. Membayangkan wajah seorang malaikat penyelamat bernama Benny, kakak kelas yang pelatih Tim Srigala, yang minta ijin ke Ibu Mariana agar aku ikut latihan. Membayangkan langkah-langkah tegap serempak berwibawa keliling Taman Bukitduri sambil berteriak ala srigala : Auuummm. Sementara nun di kelas I IPA 1 sana, terbayang wajah sobat Bahtiar yang terbata-bata melafalkan Good Night, lalu diomelin Ibu Mariana (karena selalu melafalkan ”Gut Naik”...)
Tik...tak...tik...tak...
Waktu beranjak mendekati bunyi bel jam pertama. Aku duduk-duduk di kursi panjang depan kelas yang bersebelahan dengan kantin. Tapi tak ada tanda-tanda latihan akan mulai. Lalu... Kriiiing... bel berbunyi tanpa sehelaipun wajah Benny yang memanggil latihan. Kali ini bunyi bel itu terasa memekakkan. Lebih mirip bunyi alarm tanda bahaya atau semacam lonceng kematian. Apa boleh buat, kaki ini terpaksa melangkah ke dalam kelas. Duduk persis di depan meja guru, gara-gara aturan moving-sit yang diusulkan temanku Nining.
Tik...tak...tik...tak...
Harapan pupus sudah. Bu Mariana sudah masuk kelas dengan sapuan mata tajam.
”Good Morning”, sapanya
”Good Morning, Mom”, balas kami serentak. Untuk kalimat-kalimat standard macam ini aku masih bisa ikutan berteriak.
”Keluarkan Student Book kalian !!!”.
Mati aku. Kitab keramat ini sengaja nggak dibawa.
Tik...tak...tik...tak...
Bu Mariana mulai melangkah memeriksa meja demi meja, beberapa langkah jauhnya dari sebuah meja di mana seorang penghuninya lagi panik. Celakanya beliau bisa berjalan lancar kerena tak satupun yang tak membawa Student Book. Ya, siapa sih yang berani melawan titah Ibu Mariana? Ya Tuhan... kenapa hari ini Engkau jadikan temanku patuh semua???
Tik…tak…tik...tak...
Ah, mana itu Si Benny? Walaupun dia cukup galak saat latihan, tapi kehadirannya saat ini sangat diperlukan. Tak ada tanda-tanda dia akan segera datang. Mataku mengarah keluar lewat jendela, berharap teman-temanku sudah berkumpul. Dan kupingku kini mengarah ke pengeras suara yang ada di depan kelas. Siapa tahu ada panggilan dari Seksi Upacara untuk latihan. Tapi panggilan itu tak kunjung terdengar.
Dan tiba-tiba saja Ibu Mariana telah berdiri persis di sebelahku
”Hey seh, Adriano, mana Student Book loe?!”. Mati aku
“Ketinggalan bawa Bu”. Mencoba berkelit sambil berharap ketukan pintu
“Apa aja sih isi tas loe, sampe nggak bawa Student Boo ??? Coba buka, gue mau periksa isinya !!!”. Seakan malaikat Zabaniyah siap melemparku ke neraka.
Tik…tak…tik…tak…
Aku mulai membuka ritsleting tas dengan pelan dan gemetar. Soalnya, aku tahu apa isinya. Salah satunya adalah ”granat” yang akan meledakkan rasa malu begitu tas dibuka. Dan ”granat ”itu langsung menyembul dari balik ritsleting. Meledak lewat teriakan Bu Mariana,
”Lihat ! Adriano bawa sikat raksasa dalam tasnya !!!”.
Pyar... itu adalah sebuah sisir blow berukuran lumayan besar !!! Saya bawa obat ganteng untuk nyisir sehabis latihan. Dan sisir blow lagi trend saat itu. Tapi, maluuuunyaaaa...... Teman-teman semuanya tertawa ngakak, tapi di kupingku terdengar mirip suara petasan caberawit yang meledak beruntun.
Tik...tak...tik...tak...
Dan ”Pagi Pembantaian” itu belum berakhir,
”Didi, Adriano ini tinggal di mana ? Kok bawa Student Book aja nggak mau ?”. Beliau bertanya ke teman semejaku. Didi sekeluarga memang cukup dekat dengan Ibu Mariana.
“Di Kampung Melayu, Bu”. Aku memang tinggal di Kampung Melayu Besar, tepatnya di jalan Masjid II.
“Lha, nggak jauh kok”.
Wah, pertanda bahwa kesalahan ini nggak termaafkan. Berarti aku harus pasrah untuk sebuah hukuman. Tapi,
“Tok…tok…tok…”. Suara ketukan terdengar jelas dari arah pintu kelas. Juru Selamat itu menyembulkan kepalanya dari balik pintu sambil tersenyum ramah.
”Selamat pagi Bu. Mau minta ijin ngajak teman-teman IPA 1 latihan gerak jalan”.
Ahhh... Benny datang persis sebelum vonis dibacakan. Bak petinju, aku ini Saved By The Bell. Thanks, Ben.

(Oeoet, terima kasih kirimannya)

Tidak ada komentar: