Sabtu, 03 Desember 2016

Bersepeda di Kota Toea



“Bang Omen goncengin aku dong!”, setidaknya ada 2 wanita yang berkata begitu, mbak Toeti angkatan 1973 dan Hikmawati 1982.
“Jangan deh aku nggak berani, aku naik sepeda di gym aja jatoh apalagi di sini”, demikian kelakarku.
Aku memang punya beberapa alasan mengapa aku nggak berani membocengi mereka, pertama dari 4 buah sepeda ontel yang aku coba semuanya nggak enak dikendarai, waktu aku bilang ke bapak tukang ontel, “Pak, sepedanya yang paling enak yang mana?”.
Eh, si bapak ontel menjawabnya, “Semuanya sama, enak nggaknya tergantung bagaimana bawanya”, ternyata sepeda nggak boleh disalahin. Untung aku nggak bisa mendengar suara hati si bapak, kalau saja bisa pasti dia berkata, “Elo aja yang bego nggak bisa naik sepeda, eh sepeda gue yang disalahin”.

Linda Tandjoeng
Linda Tandjoeng Kereeeen Mpi... πŸ‘
Winda Liza
Winda Liza Gak mau nge like ah... abis iri... gak diajak hehehe

Alasan kedua kalau berboncengan tingkat resiko meningkat 3 kali lipat, dan alasan yang paling kuat mengapa aku nggak mau boncengan karena besok, 4 Desember 2016, aku berulang tahun, nah kalau jatuh atau kecelakaan, masa aku ngerayain ulang tahunku di ruang perawatan rumah sakit, nggak mau ah!.

 
Acara keluyuran di Kota Toea ini awalnya dibuat oleh Ikatan Alumni Smandel, tapi nggak tahu kenapa si PIC tiba-tiba mundur sementara peminat sudah cukup lumayan, akibatnya aku yang menjadi sasaran tembak, selalu ditanyain oleh emak-emak gaek angkatan 60an dan 70an, sebetulnya salah alamat karena aku bukan pengurus maupun penggemuk organisasi alumni kita.

Aku coba mencari solusi dengan meminta kesedian Rian Mega, sekondan naik gunung zaman sekolah. Rian Apadelaer rasa original, Anak IPA Delapan, namun berbeda tahun denganku. Dia 1 IPA 8 angkatan 82, sedangkan aku 2 IPA 8 angkatan 81. Rian mau jadi EO Keluyuan di Kota Toea, sayangnya saat disosialisai oleh Ikatan Alumni Smandel peminatnya hanya 6 orang.


Tahun hampir berganti namun belum satupun kegiatan Ikatan Alumni Smandel, berhubung harus pecah telur, acara Keluyuran ini yang paling tepat, dalam waktu seminggu dengan sedikit woro-woro dapat deh 40 orang, hasil yang nggak jelek.

“Ayuk jalan”, ajakan guide sekaligus koordinator ojek sepeda ontel yang kami sewa, mulailah bersepada tidak di jalur khusus sepeda melainkan membaur dengan motor, mobil, angkot, bis, bahkan truk. Rutenya mampir di Toko Merah yang pernah menjadi tempat pembantai salah satu etnis, kemudian ke pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari dan Menara Syah Bandar, jembatan Kota Intan, sebelum kembali ke Museum untuk makan siang di salah satu cafΓ©.


Jalannya full of horror, harus berkali-kali melintasi kendaraan yang segede-gede gaban, jembatan, beberapa turunan dan tanjakan.

Pada suatu turunan sepeda Aziz menyusul sepedaku dan kawan-kawan, ngebut banget.
“Aziz, jangang ngebut-ngebut!, nanti jatuh”, aku menasihati dengan sedikit berteriak.
“Masalahnya gue nggak tahu remnya yang manaaaa …..!!!”, jawab Aziz.
Buru-buru aku mengirim doa agar sepeda bung AA berhenti.
Syukurlah akhirnya itu sepeda berhenti, yang pasti bukan karena doa menghentikan sepeda yang aku lakukan karena doa itu belum sempat diajari oleh ustad Rory. Ternyata si sepeda berhenti di tanjakan karena nggak kuat nanjak.
“Aziz, remnya yang ini”, kataku sambil memegang lampu sepedanya.
“Oh …., pantesan!, gue kira yang ini”, jawabnya sambil menekan bel sepeda mekanik yang berbunyi, “kring … kring …. kring”.




[10/12 22.42] Nung Harahap 887: πŸ˜ŠπŸ‘
[10/12 23.06] Riry Sarifah: kereen Men ..πŸ‘πŸΌ
[10/12 23.12] Evi Puspa Tongtek: Wuiih bagus πŸ‘πŸ»
[10/12 23.17] Abdul Aziz: Manstaaaabbbbb πŸ‘πŸ‘πŸ‘
[11/12 02.46] Marcy Sugeng: Hahaha Chormen lucu , top deh ..... πŸ‘πŸ‘
[11/12 04.41] Najmiah Kosasih: πŸ‘πŸ‘πŸ‘

Tidak ada komentar: