Akibat Kepergok Makan Tahu
Chormen
Angkatan 1981
Buku 50 tahun Smandel
Buku 50 tahun Smandel
Masih ingat pak Sunyoto?
Guru bertubuh kurus tinggi, berkacamata, dan selalu naik motor Lambretta tua kalau datang ke sekolah.
Jika diperhatikan dengan seksama, pada cat biru tua yang membungkus motornya terdapat tarikan kuas yang rapih, mungkin dipoles
sendiri oleh beliau. Maklum pak Sunyoto guru gambar.
Di
beberapa bagian cat yang terkelupas terlihat beberapa warna menandakan
si Lambretta sudah beberapa kali ganti warna. Tapi mesinnya selalu
tokcer dan terawat. Pantaslah kalau beliau juga menyandang predikat guru
mesin yang termasuk pelajaran pilihan.
Cerita
ini terjadi sewaktu aku duduk di kelas 2 IPA 8, kumpulan anak urakan.
Tapi soal kompaknya jangan ditanya deh. Hampir setiap malam minggu kami
berombongan naik gunung. (Baca: APADELA, persahabatan lintas kelas dan
angkatan).
Bahkan
pernah merayakan ulang tahun seorang teman, satu kelas yang urakan itu
juga naik gunung (“Ini kejadian pertama di Smandel,” kata almarhum
Danar, Ketua Umum Festival 8 yang wafat beberapa bulan silam).
Wali
kelasku saat itu Pak Sachroni, guru bahasa Jerman yang mengingatkanku
pada lagu Iwan Fals, Umar Bakrie, karena beliau selalu datang ke sekolah
dengan menggenjot sepeda. Satu kali Pak Sachroni cuti mengajar selama
tiga bulan karena pergi ke Jerman. Penggantinya adalah ibu Frida yang
saat itu masih mahasiswi, baru pertama kalinya mengajar, dan, aduh,
sedang ‘segar-segarnya’. Keruan saja suasana kelas nggak pernah bisa
serius belajar, tapi selalu ‘serius’ kalau mengamati sang pengajar. Lho,
kok malah ngomongin ibu Frida padahal judulnya pak Sunyoto?
Balik ke kisah utama, di kelasku ada stereo sound system bawaan
teman (rasanya pertama juga di Smandel), beberapa guru mengijinkan
musik diputar kalau sedang menyalin catatan, termasuk guru kimia pak
Tatang. Mungkin juga karena hal itu membuat mereka rileks. Begitu juga
dengan pak Sunyoto. Apalagi gambar dan musik sudah seperti saudara
kandung, jadi beliau lebih tidak keberatan lagi untuk urusan ini.
Begitulah, setelah memberi tugas, pak Sunyoto mengijinkan kami menyetel
musik. Lalu beliau meninggalkan ruangan.
Setelah
itu, satu persatu teman kelasku keluar mencari jajanan. Karena makin
lama makin sedikit jumlah murid di kelas, tergoda juga imanku sehingga
memutuskan ikut keluar. Aku beli gorengan tahu isi di kantin. Celakanya,
tiba-tiba pak Sunyoto lewat di depan mukaku persis ketika gorengan itu,
glep, masuk ke dalam mulut.
Sejak
itu oleh pak Sunyoto, di belakang namaku ditambah tulisan makan,
lengkapnya Chormen Makan, seolah Makan menjadi margaku. Untungnya aku
yakin pak Sunyoto pasti baik hati, bukan tipe guru pendendam.
Aku
jadi senang menggambar. Gambar proyeksi dan perspektifku masuk
hitungan. Pak Amri yang juga guru gambar pasti membenarkan. Lalu satu
ketika aku lewat depan kantor saat pak Sunyoto selesai memeriksa ujian
menggambar. Kudengar pak Amri menyapa beliau dan bertanya, “Jadi yang
paling bagus Chormen ya pak?”
“Iya,” jawab pak Sunyoto mantap.
“Eh itu orangnya lewat,” Mata pak Amri rupanya sigap juga melihat sosokku yang mendadak salah tingkah.
Sumpah
mati, senang banget aku mendengar. Dan, gara-gara ‘glep' aku punya
nilai 9 (sembilan) di atas ijazah SMA terbaik di Indonesia.
Senang? Nggak juga. Aku bahkan sedikit menyesal, mengapa waktu itu nggak kepergok pak Sunyoto lagi makan ketoprak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar