Kalau melihat kontur tanah di Nepal yang naiknya tinggi banget turunnya
dalam banget sayang kalau tidak menikmatinya dari udara. Banyak yang
ditawarkan, naik pesawat beneran atau helikoper di antara puncak tertinggi di
dunia, terjun payung, ultralight, atau paragliding.
Naik pesawat atau helikopter nggak dibolehin istriku, terjun payung nggak
deh gara-gara melihat youtube ada yang meninggal mendadak saat terjun tandem.
Di Pokhara kami harus memilih paragliding atau ultralight, nggak bisa
keduanya karena harus lanjut ke acara trekking setelah itu. Dua orang nggak ikut,
Nina dan Rachma karena takut ketinggian. Hanya aku yang mengambil paragliding
dengan harga USD 85, Daset, Adip, Raihan, Cien, Aries dan Yati ultralight
seharga USD 195/30 menit, USD 295/60 menit. Aku memilih paragliding konon kata
orang, “Lelaki sejati terbang nggak pakai mesin”.
Kami memesan dari Jakarta, “Nina, tolong bilangin Ram aku pesen paragliding,
pilotnya perempuan cantik ya”. Ram, contact
person kami di Nepal untuk urusan pelesiran bersama Smandelers.
“Kalau pilotnya perempuan cantik, aku juga mau”, Daset berubah pikiran.
“Men, kata Ram, kamu dapet pilot perempuan cantik, kalau Daset lagi
diusahakan”, Nina memberikan laporan, “Men, bilang apa dong aku kan udah dapetin
pilot cantik buat kamu?”, Nina melanjutkan.
Aku berikan jawaban kekinian, “Rejeki anak sholeh”.
Subuh tadi kami dijemput menuju Sarankot untuk menyaksikan matahari mulai
menerangi Annapurna range, pengunungan Himalaya, cakep!. Paragliding lepas
landas dari puncak tertinggi Sarankot, jadi aku harus kembali ke mari bersama Daset.
Jalannya terjal, satu kali kami harus turun dari mobil karena nggak kuat
menanjak. Dari puncak Sarankot terlihat danau Pea Wa, danau terbesar di
Pokhara, tempat kami mendarat.
Menunggu angin baik yang membawa kami lepas landas, aku bilang apa ya?, “Up
up and away” seperti Superman apa “To infinity and beyond”, kayak Buzz Lightyear.
Aku pilih, “Bismillah” dengan ditambah doa dalam hati, “Mudah-mudahan nggak
ngompol”, soalnya aku kebelet pipis nih.
Pilotku berpesan agar aku tetap berlari sampai lepas landas, kalau nggak
nanti keseret parasut bisa cedera parah karena badanku berat. Tugas itu aku
lakukan dengan baik dan benar, akhirnya melayang di udara, asyiknya.
Keren banget, aku terpesona sampai kusadari ada kamera foto dan video,
penyakit narsis kambuh lagi, sip banget.
Paragliding bukan pilihan utamaku, sebetulnya aku ingin banget
parahawking, ber-paragliding sambil memberi makan elang. Tangan kiri kita
dibalut sarung tangan kulit, elang jenis Volture dari Mesir terlatih akan
hinggap di tangan untuk diberi makan saat kita di udara, keren banget kan!.
Sedih amat loh waktu Nina bilang, “Men, parahawking sejak 6 bulan lalu
sudah dilarang karena dianggap melanggar hak asasi binatang oleh pemerintah Nepal”.
Nah, buat kamu penggemar bonsai bersiap deh karena sebentar lagi bonsai
dilarang karena melanggar hak asasi tanaman.
2 komentar:
Haha....untung nggak ngompol ya diatas
Seru juga ya paragliding.. Chormen beneran akhirnya dapat pilot perempuan cantik? Itu di foto tangannya kekar amat yaaa... Hahaha...
Posting Komentar