Kawan-kawan menjauhiku, mereka semalam kembali ke pulau Jawa, Nina, Aries, Rachma, Cien, Yati, Raihan, Adip, dan Daset, sementara pagi ini aku masih di Kawasan Tamel, Katmandu. Hari ini aku menjadi solo traveler gara-gara telat beli tiket, jadi dapat yang mahal, mending terbang keesokan hari yang tiketnya lebih murah.
Jam 9 pagi
aku telpon Ram, yang mengatur perjalanan kami di Katmandu dan Pokhara, soalnya sedan
berkaliber 2000 cc yang aku pesan belum datang, dijawabnya “Kan kamu cuma pingin
ke Dubar Square dan Garden of Dreams, jalan kaki aja paling cuma 15 menit dari satu
ke tempat yang lain”.
Saran itu aku lakoni, eh bener baru 15 menit 7 detik terlambat 7 detik
dari prediksi Ram, aku sudah berada di pintu masuk Katmandu Dubar Square. Ada
diskriminasi di sini, turis asing bayarnya lebih mahal banyak, sialnya posisku
sekarang jadi turis asing.
Oleh salah satu pemandu aku ditawari bertemu Kumari. Kamu tahu apa itu Kumari?
Kumari dalam bahasa Sangsekerta berarti Putri. Kumari adalah dewi hidup, living
goddess bahasa kerennya. Kalau nggak melihat wujudnya kamu bisa lukiskan
nggak di benakmu, perempuan cilik yang
punya ciri pahanya seperti paha rusa, dadanya lebar seperti dada singa dan bulu
matanya seperti bulu mata sapi, Sudah bisa membayangkan belum?, jangan-jangan
yang kamu bayangkan perempuan jadi-jadian.
Garden of Dreams, disebut juga Garden of Six Seasons, bergaya neo
klasik, dibangun tahun 1920 tempatnya enak banget buat nongkrong menunggu waktu
yang pas untuk ke bandara, tiduran di rumput di bawah naungan banyang pohon
besar, ditemani cerpelai yang lucu, tapi kamu jangan ikuti lucunya tingkah si
bajing ya, nanti kamu jadi bajingan. Aku nggak berani terlalu dalam untuk
memejamkan mata, takut tidur beneran.
Aku kembali ke kawasan Tamel, untuk berbelanja oleh-oleh, kaos bersablon
Nepal, tas, dan baju ala Nepal yang sekali cuci langsung berubah ukurannya dari
XL menjadi M, mungkin aku yang kurang teliti bahwa baju yang kubeli ada tulisan
Nepalnya yang aku nggak bisa baca, sekali pakai.
Awalnya aku berencana menghabiskan hari terakhir untuk berwisata
kuliner, nggak jadi terlaksana karena cita rasanya makanan Nepal kurang cocok
di lidah, makan siang terakhirku di restoran halal India.
Taksi tanpa argometer yang kupesan pagi, sore ini sudah siap membawaku
ke bandara, mobil mungil buatan India, tarif yang ditentukan pak supir setara
dengan 50 ribu rupiah.
Aku setuju aja ketika mas supir bilang bahwa lewat jalan raya bakalan
telat, maka jadilah kendaraan mungil ini menjadi mobil off road, melintasi
pasar, jalan tikus, terbanting-banting, mungkin mas supir mengangapku sekarung
beras. Selesai off road di depanku Tribhuvan International Airport. Solo
travelling berakhir di sini.
Pesan istriku aku perhatikan banget, jangan jalan kayak turis entar
dirampok, makanya aku berjalan aku usahakan semirip mungkin dengan cara
berjalan orang Nepal.
Awalnya mereka menyapaku dengan, “Apa kabar?”, tahu kalau aku turis
Melayu. Aku ubah berjalanku biar disapa, “Namaste”.
Usahaku membuahkan hasil, kini aku tidak lagi disapa dengan, “Apa kabar?”,
melainkan disapa dengan, “Ni hao”.
Waduh tambah parah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar