Kalau aku kasih judul Bidadari Turun dari Surga nanti kamu protes kok
bidadarinya begitu aja. Kalau aku juduli Bidadari Turun dari Neraka nanti kamu
bilang mana ada bidadari di neraka, atau menghina bidadarinya.
Kisah ini kami peroleh saat perjalanan dari Kathmandu menuju Pokhara
jaraknya nggak jauh, sepadan dengan Jakarta ke Bandung, tetapi waktu tempuhnya
2-3 kali lipat, sekitar 8 jam disebabkan macet di Kathmandu, jalanan rusak dan
relatif sempit padahal boleh dibilang yang dilalui bukan lagi antar kota antar
propinsi melainkan antar kota antar propinsi antar negara, karena banyak sekali
kendaraan besar berpelat nomor India berseliweran.
Kami beristirahat 3 kali, pertama di rest area, kedua restoran Hill Top
untuk makan siang dan yang mau aku ceritakan segera yaitu di air terjun di tepi jalan.
Aku turun sebetulnya males-malesan karena air terjunnya pendek dan
kecil, aku pikir air terjunnya kayak gimana gitu, ini kan Nepal gitu loh!.
Temenku juga begitu nggak ada yang bawa kamera kecuali Adip, maklum dia punya
kamera baru.
Aku melepaskan sandal gunungku
sebelum kakiku merasakan dinginnya air terjun, cuci muka seger banget. Semuanya
melepaskan penatnya perjalanan, tertawa kecil sampai cekakak-cikikik dan
tiba-tiba terdiam.
Wanita Nepal setengah baya, sebut saja namanya Bidadari, muncul seketika
seolah turun dari langit menjadi penyebabnya, marah-marah kepada Nina, Cien, Aries, Rachma dan
Yati, perempuan rombongan kami.
Wah, ada yang beres nih!, mungkin kami memasuki tempat suci mereka dan
melanggar tata tertib ritual. Aku menyingkir mencari sandalku, kok nggak ada,
perasaan aku taruh di sini deh, aku cari sampai 3 kali nggak ada juga.
Bismillah, jangan-jangan diumpetin makluk halus. Eh, itu sendal ada lagi di
tempat semua, “Kok tadi aku cari di sini nggak ada”.
“Tadi dipake perempuan itu om”, jawab Adip.
Aku pakai sandalku, dan ….. eng,
ing, eng ….. tiba-tiba perempuan yang kuberi nama Bidadari ada dihadapanku,
perasaanku jadi nggak enak, awalnya dia pasang muka senyum, kemudian mupeng, lalu
dia mengucapkan kata-kata yang tidak aku mengerti, jangan-jangan jampi-jampi pelet.
Pram, supir lokal kami menerjemahkan, dia memahami beberapa kata bahasa Indonesia,
“She said, aku cinta padamu, I love you”. Mendengar kata itu aja aku
sudah merinding apalagi Bidadari memperagakan porno aksi, kawanku tidak ada
yang melihat karena ada di belakangnya.
Aku bejalan ke kanan, dia ke kanan sambil merentangkan kedua tangannya, aku
ke kiri dia ke kiri. Kami seperti bermain Galasin, dia jadi gala-nya, aku asin-nya.
Aku nggak bisa pulang kalau begini, padahal aku nggak minum air terjun.
Anehnya pada saat genting seperti itu pikiranku justru melayang ke
cerita Jaka Tarub yang memperistri bidadari setelah mengambil selendang
incarannya, jangan-jangan aku jadi suami Badadari yang memilih sandalku.
TIDAK, aku harus pulang, sebagai superhero Briptu the O, karena belum
naik pangkat jadi Kapten, aku pakai senjata terbaik andalanku dan satu-satunya
yang aku punya, maki-maki.
Bidadari sedikit menyingkir mencari sasaran baru, lelaki bermotor. Wah, cewek
matre juga nih si Bidadari, kesempatan ini aku ambil, lari ke mobil, kunci
pintu. Kawanku mengikuti.
Ada yang mengetuk-ngetuk jendelaku, eh, si Bidadari lagi, “Jalan …,
jalan”, Pram menjalankan mobilnya meninggalkan Bidadari, sedih juga baru dapat
1 penggemar di Nepal sudah ditinggalkan.
“Sudah terbukti dari semua cowok di sini yang paling ganteng Chormen”,
kata Nina sementara yang lain mengamini.
“Jangan lupa bikin blog-nya ceritanya pasti seru!”.
Aku jadi teringat bukti autentik, foto.
“Eh, tadi ada yang motret nggak?”, aku bertanya.
Adip yang paling bertanggung jawab karena hanya dia yang membawa kamera
menyahut, “Om, kita semua nggak sempet motret karena terpesona dengan kejadian
tadi”.
Ternyata ada juga yang bawa kamera
Aries “Tetep foto bidadarinya gak ada ya.. keburu pada 🏃🏻♀🏃”
Rachma, “Iya foto bidadari nya gak ada krn datangnya tiba-2 dan kita
semua pd ketakutan jd gak pd fokus unt foto”.
1 komentar:
Kocak... Masih terbayang Chormen lari, dikejar sampai ke mobil.. Hahaha
Posting Komentar