Selepas shalat Jumat aku
mengemas pakaian dan barang yang aku perlukan ke dalam ransel yang akan aku
bawa untuk acara trekking di gunung Papandayan bersama alumni Smandel lintas
angkatan.
Berhubung takut macet aku
diturunkan di Rest Area KM 19 jalan tol Jakarta menuju Cikampek oleh istrinda
saat jarum jam belum menunjukan angka 4. Kicauan di grup WA untuk urusan keberadaan
masing berkali-kali mengudara, aku menjawab dengan copy & paste pernyatanku
“Aku sudah di KM 19”, paling sedikit 7 kali.
Aku menunggu di Burger
King dengan hanya memesan lemon tea, soalnya belum lapar, dan sebetulnya nggak
perlu-perlu amat itu pesanan karena di backpack-ku bercokol 2 botol air
mineral kemasan 330 cc. Tapi masa sih numpang ngadem di ruangan ber-AC nggak
keluar duit.
Kawan pertama yang aku
jumpai Aji yang datang dengan Grand Max bersama istri dan anaknya, lumayan ada
tempat penitipan barang selama aku shalat Magrib. Barang yang ada di Grand Max
lengkap banget, ada tenda, kompor, segalon air mineral, pokoknya lengkap deh,
seperti keluarga yang diusir dari rumah kontrakan karena lama nggak bayar.
Bada magrib barulah Elf
sewaan menjemput, dengan Betty yang duduk di kursi depan bersama sang supir,
persis seperti kenek, co-driver bahasa kerennya. Aku dipersilahkan memilih
tempat, aku suka di kursi paling belakang yang di depannya lorong alias nggak
berkursi sehingga kaki belakangku bisa selonjoran ke depan. Kok aku nulisnya
kaki belakang, emang ada yang namanya kaki depan?.
Jalan tol cukup padat
dipenuhi mereka yang baru pulang dari kantor, dari mal, dari nonton bioskop,
dari belanja, dari sekolah, dari kuliah, dari bengkel, dll. Kok yang kayak ginian diceritain!, nggak
penting amat!.
Aku mendapat telpon yang
nomornya nggak aku kenal, suaranya nggak jelas, dua kali, jangan-jangan
vooreijder dari salah satu kesatuan yang akan mengawal kami dari pinggiran Garut. Aku coba berkomunikasi melalui sms, untuk memberitahukan posisi kami
karena hal itu yang ditanyakan, dan berkali-kali si lawan sms-ku yang berpangkat Kapten menjawab, “Siap
pak!”.
Keluar tol Cilenyi kami
mampir di warung “Seda” alias seadanya. Masakan sup iga dan buntutnya enak banget, juga tahu gorengnya, sayang
satenya keras.
Makan selesai, bayar
beres, masih banyak makanan yang tersisa, sayang kalau nggak dimanfaatkan. “Dibungkus
aja buat nasi goreng pagi-pagi”, usul yang baik. Jadilah 2 mangkok sup, 2 porsi
sate, satu bakul nasi, satu porsi tahu goreng masuk dalam kantong plastik.
Setelah berbenah baru
teringat bahwa makan si supir belum dibayar, kami tanyakan kepada sang pelayan.
“Mbak, makanan supir udah
diitung belum?”.
“Makanan supir nggak
dihitung, nggak perlu bayar”.
Waduh, nyesel, tahu gitu Betty
makan bareng supir jadi nggak perlu bayar, kan Betty keneknya.
2 komentar:
Hi-hi-hi... geli baca Betty jadi kenek Elf.
Betty nggak boleh digeser Men...
Itu udah aturan dalam perjalanan....
Kalau di pesawat jangan diajak ngomong...jatahnya tidur selama perjalanan karena kapten pilot nggak perlu kenek ....hahaha
Posting Komentar