Puas baku-poto, kami
melanjutkan perjalananan menuju Tegal Alun, ada 2 pilihan melalui Dead Forest
atau Hober Hoet dan Pondok Saladah, kami mengambil pilihan kedua mengingat faktor
U(mur) dan mengikuti alur Fun Trekking.
Hober Hoet adalah Pos 2
Fun Trekking Papandayan, sesampainya di sini kami disambut dengan minuman
hangat dan sarapan pagi, “Hebat bener ya
pengolahnya, kalian pasti VVIP?”.
“Ya enggak lah!”, mereka
adalah para pedagang yang kadang ngeselin karena bolak-balik naik motor yang mengambil jalur pendakian kami.
![]() |
Mind over matter... — with Eka Adip Pradipta, Darmayani Utami, Ni' Ken, Chormen Omen, Rosmini Nasution, Dedes Savitri and Nina Adriani. |
Dari Pos 2 menuju Pos 3,
Pondok Salada, mulai main susul-susulan dengan pendaki muda kerena kebanyakan
dari mereka membawa beban yang berat, perlahan namun pasti aku bersama Boyband
sampai duluan di Pondok Salada tanpa tersusul oleh beberapa rombongan anak
muda, ini yang membuat aku bangga.
“Baru sekali nih denger
ada yang bilang bangga, dari tadi dengernya cape, cape … aja!”, saut Igar, anak
Nina, mengomentari ceritaku.
Nah, yang ngeselin nih kita
kelelahan sampai di Pondok Salada, eh di sini bertebaran warung makanan, ada
mie instan, gorengan, cilok bahkan bakso pikul, ngehe banget bakso pikul sampai
sini!, bener-bener ngeledek!.
Kami beristirahat lumayan
lama, sembari bergantian ke toilet, ada 3 buah. Toiletnya berbentuk kapsul,
dengan toilet jongkok dan bak mandi yang cukup besar, air bersih asli
pengunungan mengalir terus. Tesedia bangku kayu untuk para pengantri,
kebanyakan perempuan, karena lelaki cukup ngumpet di balik pohon sudah bisa
pipis, lega .....!.
Aji dan keluarga sarapan
mie instan di salah satu pondok, yang lainnya tidur-tiduran sampai tidur beneran.
Kalau sudah begini perlu lama untuk manasinnya.
Next stop Pos 4, Tegal
Alun, surganya pohon Edelweiss. Berapa dari kami menyanyikan lagu Edelweiss
yang liriknya mereka hafal di luar kepala, bukan di dalam kepala, makanya banyakan lupa
dari ingetnya.
Dead Forest tempat
berikutnya sebelum kembali ke Camp David, sebagai pendaki gaya bukan pendaki
gagah, kami mengandalkan perbekalan terakhir …. Kebaya, baju Dayak, dan Batik.
Gagah faktor umur, sedangkan gaya nggak ada matinya. Gayanya kayak orang kondangan.
Perjalanan sudah molor
dari jadual, kasihan Tatik yang menyediakan makan siang untuk kami di rumahnya
di Garut. Aku pernah akan siang di rumahnya tahun lalu bersama Apadela, 2 IPA
8, kelasku dulu. Makanannya
berupa nasi liwet yang enak banget.
![]() |
I like the mountains because they make me feel small. They help me sort out what's important in life. -Mark Obmascik — with Darmayani Utami, Nina Adriani, Chormen Omen, Ni' Ken, Rosmini Nasution and Dedes Savitri. |
Kini topik pembicaraan
mengarah ke Tatik yang kelamaan menunggu kami nggak turun jua, timbullah dialok
imajier seperti ini.
“Tatik, ini dendengnya
enak amat!”.
“Itu sup iga, tapi karena
nunggunya kelamaan dan aku panasin berkali-kali itu sup iga berubah jadi
dendeng deh!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar