Sabtu, 23 Mei 2015

Kondangan di Gunung Papandayan



Puas baku-poto, kami melanjutkan perjalananan menuju Tegal Alun, ada 2 pilihan melalui Dead Forest atau Hober Hoet dan Pondok Saladah, kami mengambil pilihan kedua mengingat faktor U(mur) dan mengikuti alur Fun Trekking.

Hober Hoet adalah Pos 2 Fun Trekking Papandayan, sesampainya di sini kami disambut dengan minuman hangat dan sarapan pagi, “Hebat bener ya pengolahnya, kalian pasti VVIP?”.
“Ya enggak lah!”, mereka adalah para pedagang yang kadang ngeselin karena bolak-balik naik motor yang mengambil jalur pendakian kami.

Mind over matter... — with Eka Adip Pradipta, Darmayani Utami, Ni' Ken, Chormen Omen, Rosmini Nasution, Dedes Savitri and Nina Adriani.

Dari Pos 2 menuju Pos 3, Pondok Salada, mulai main susul-susulan dengan pendaki muda kerena kebanyakan dari mereka membawa beban yang berat, perlahan namun pasti aku bersama Boyband sampai duluan di Pondok Salada tanpa tersusul oleh beberapa rombongan anak muda, ini yang membuat aku bangga.
“Baru sekali nih denger ada yang bilang bangga, dari tadi dengernya cape, cape … aja!”, saut Igar, anak Nina, mengomentari ceritaku.

Nah, yang ngeselin nih kita kelelahan sampai di Pondok Salada, eh di sini bertebaran warung makanan, ada mie instan, gorengan, cilok bahkan bakso pikul, ngehe banget bakso pikul sampai sini!, bener-bener ngeledek!.
 
One of many breathtaking views on the way up...
Kami beristirahat lumayan lama, sembari bergantian ke toilet, ada 3 buah. Toiletnya berbentuk kapsul, dengan toilet jongkok dan bak mandi yang cukup besar, air bersih asli pengunungan mengalir terus. Tesedia bangku kayu untuk para pengantri, kebanyakan perempuan, karena lelaki cukup ngumpet di balik pohon sudah bisa pipis, lega  .....!.

Aji dan keluarga sarapan mie instan di salah satu pondok, yang lainnya tidur-tiduran sampai tidur beneran. Kalau sudah begini perlu lama untuk manasinnya.

Next stop Pos 4, Tegal Alun, surganya pohon Edelweiss. Berapa dari kami menyanyikan lagu Edelweiss yang liriknya mereka hafal di luar kepala, bukan di dalam kepala, makanya banyakan lupa dari ingetnya.


Dead Forest tempat berikutnya sebelum kembali ke Camp David, sebagai pendaki gaya bukan pendaki gagah, kami mengandalkan perbekalan terakhir …. Kebaya, baju Dayak, dan Batik. Gagah faktor umur, sedangkan gaya nggak ada matinya. Gayanya kayak orang kondangan.

Perjalanan sudah molor dari jadual, kasihan Tatik yang menyediakan makan siang untuk kami di rumahnya di Garut. Aku pernah akan siang di rumahnya tahun lalu bersama Apadela, 2 IPA 8, kelasku dulu. Makanannya berupa nasi liwet yang enak banget.
I like the mountains because they make me feel small. They help me sort out what's important in life.

-Mark Obmascik
— with Darmayani Utami, Nina Adriani, Chormen Omen, Ni' Ken, Rosmini Nasution and Dedes Savitri.

Kini topik pembicaraan mengarah ke Tatik yang kelamaan menunggu kami nggak turun jua, timbullah dialok imajier seperti ini.
“Tatik, ini dendengnya enak amat!”.
“Itu sup iga, tapi karena nunggunya kelamaan dan aku panasin berkali-kali itu sup iga berubah jadi dendeng deh!”.

Tidak ada komentar: