Selepas menonton
pertunjukan matahari terbit, kamipun mengambangi mobil masing-masing. Aku masih
dengan mobil yang sama yang dikemudikan oleh pak Martono. Dari agamanya, Hindu,
bisa dipastikan pak Martono keturunan Majapahit yang menyingkir ke pegunungan
Tengger akibat serangan pasukan Raden Patah yang memporak-porandakan Majapahit.
Lagi-lagi pak Martono
mempertunjukan keahliannya mengemudi, kalau kamu takut cerita horror kamu bisa
melompat ke alinea berikutnya. Bagaimana nggak horror?, coba bayangkan pak Martono bilang begini saat di turunan curam, “Nah, mas sekarang saya pakai
perseneling 4 kali 4, nggak pakai rem”.
“Whaattttt ……..!!! Nggak
pakai rem ……!!!”.
Sampailah kami di padang
pasir Bromo, tempat tukang kuda menawarkan tunggangannya menuju kawah Bromo.
Kami bermain game untuk menghilangkan kepenatan dan stres akibat naik mobil
nggak pakai rem.
![]() |
Endang Mariani Tuh... oom Omen... Urer su Reri Wulandari udah nyaut... tinggal jeng Vini Zainal sama Mpok Nurachmi Yunus ... niiiiyyy...
|
Tak lupa berfoto-ria,
dengan berbagai gaya termasuk lompat-lompatan, dan kini aku tampilkan foto gaya
melompat yang terbaik. Nggak deng, itu foto aku tampilkan gara-gara ada akunya
kok.
Kami nggak menuju kawah
yang harus mendaki 250an anak tangga, maklum sudah pada lewat setengah abad.
Kami nggak naik kuda di
sini, sebagai gantinya naik kuda di bukit Teletubbies. Aku pikir dinamakan
Teletubbies karena tempatnya berpelukan, tapi percuma juga yang dipeluk
nenek-nenek. Ternyata nama Teletubbies karena bukit di Bromo seperti bukit dalam
film Teletubbies.
Naik kuda di sini separuh
dari harga naik kuda menuju kawah Bromo, karena jarak tempuhnya lebih dekat. Yang penting bisa fotoan dengan (tukang) kuda.
Tujuan selanjutnya Pasir
Berbisik yang ada batu Singa, batu yang dilihat dari kejauhan persis Singa.
Nama Pasir Berbisik sesuai penjelasan pak Martono (ayo masih inget nggak pak Martono itu siapa?), pasir di sini kalau tertiup angin mengeluarkan suara seperti
berbisik. Tapi kali ini nggak soalnya semalam hujan turun di Bromo sehingga
pasir di sini basah sulit diterbangkan oleh angin, jangankan bersisik, buka
mulut aja nggak mau.
Rasanya males banget
beranjak meninggalkan Bromo kalau saja pak Martono nggak mengingatkan kami bahwa
sarapan menanti di Java Banana paling lambat jam 10.
Aku kasih tahu ya kepada
kamu semua, kalau ada kesempatan, berwisata deh ke Bromo, bagus banget!, dari
semua gunung yang pernah aku lihat, Bromo yang paling bagus!.
“Emang elu pernah ke gunung apa aja Men?”.
“Anak gunung ditanya gitu!, kalau aku sebutin jangan kaget ya!, .............. baru Bromo doang!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar