Awan
panas alias wedus gembel tahun 2002 lah yang membuat Dead Forest seperti ini, unik
jadinya. Perlu waktu lama untuk kembali seperti semula, sekarang aja
sudah 13 tahun masih sedikit tanaman yang tumbuh.
Sebaiknya kamu sudah harus mengisi botol minum di Pondok Saladah sebelumnya, karena Dead Forest si hutan mati gersang dan kering. Perlengkapan "musim dingin" nggak berlaku di sini.
![]() |
Laksmi Dewanti Haryanto Riry, the road is always further than it looks. The mountain is always taller than it looks. And the journey is always, always harder than it looks... |
Aku kasih tahu ya perlengkapan apa yang kamu harus bawa untuk ke trekking di gunung Papandayan. Pertama yang perlu ada di kepala
berupa topi, slayer, atau payung, kacamata hitam, jangan lupa
mengoleskan sun block di kulit dan lips gloss untuk menghidari bibirmu
dari kekeringan.
Berikutnya pakaian berupa
kaos lengan panjang yang menyerap keringat, celana panjang, dan sarung
tangan tipis kalau perlu. Kaos kaki, dan bawa juga cadangannya, sepatu
trekking, botol minum dan obat-obatan pribadi.
Berhubung banyak penjual makanan dan minuman, kamu nggak perlu membawa banyak bekal dari bawah, alat masak, kompor apalagi membawa kulkas, walaupun nggak ada larangan membawa kulkas saat mendaki gunung Papandayan.
Kalaupun aku nggak tulis celana dalam bukan berarti kamu ke sini nggak pakai celana dalam ya. Oh, iya jangan lupa kantong kresek untuk tempat sampah.
"Nah, itu penting banget", kata Niken.
Dengan kantong kresek yang selalu menempel di pinggang, Nikenpun
membuktikan bahwa dialah yang memunguti sampah paling banyak diantara
kami selama dalam perjalanan. Salut! Ini baru yang namanya pecinta alam.
Aku
lanjutkan ceritanya, akhirnya kami sampai di bibir Dead Forest berupa jalanan menurun yang
curam, tapi nggak usah khawatir turunan yang terjal nggak panjang. Di sini ada
beberapa pohon yang rindang yang bisa dibuat tempat berteduh.
Getting to the top is optional. Getting down is mandatory. - Ed Viesturs
Berhubung rombongan ini banyak emak-emaknya, awalnya kami ragu-ragu dan kepikiran untuk kembali ke Pondok Saladah dan melewati jalur yang sama saat mendaki artinya kami harus memutar, no way!, jauh banget soalnya. Namun setelah dijalani nggak terlalu sulit.
Dari sini kembali ke Pos 2, Hober Hoet paling cuma 20 menit, yang lama justru ngumpulin niatnya.
Bagaimana
nih emak-emak berbaju dayak dan kebaya menuruni turunan yang cukup curam?, aku kasih tahu rahasianya;
mereka menggunakan dengan jurus yang sama yang dipakai oleh si hantu kondang, Suster Ngesot.
![]() |
Crossing the unique tree bridge... — with Darmayani Utami, Ni' Ken, Ros Watini and Triadji Putut Pratikto. |
Nina Adriani menulis,
Hober
Hoet, Pondok Saladah adalah sebagian tempat peristirahatan saat mendaki
Papandayan. Keberadaan mereka sangat menolong kami yg lapar dan haus
dalam perjalanan mendaki meski disatu sisi keberadaan mereka di
ketinggian itu membuat anakku tersenyum sambil bilang "wah, cape2
mendaki udah ada tukang indomie disini" ....haha. Tapi
aku melihat dari sisi lain yg membuat hatiku terharu melihat perjuangan
mereka dalam mencari nafkah sampai harus berjualan ditempat setinggi
itu. Tentunya mereka bermalam disini saat musim pendakian. Terbayang
dinginnya ..... Semoga Allah SWT meridhoi usaha kalian.
04.30 -06.00 Berburu matahari terbit, puncak Welirang
06.00-07.00 Pos 2, Hober Hoet, ngopi, ngeteh dan sarapan
07.00-09.30 Pos 3, Pondok Saladah, Camping Area, brunch, sarapan lanjutan
09.30-11.00 Pos 4, Tegal Alun, Foto dengan Edelweiss
11.00-12.30 Dead Forest
12.30-13.30 Pos 2, Hober Hoet, ngebakso, tempura alias gorengan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar