Sabtu, 23 Mei 2015

Ada Suster Ngesot di Papandayan

Awan panas alias wedus gembel tahun 2002 lah yang membuat Dead Forest seperti ini, unik jadinya. Perlu waktu lama untuk kembali seperti semula, sekarang aja sudah 13 tahun masih sedikit tanaman yang tumbuh. 

Sebaiknya kamu sudah harus mengisi botol minum di Pondok Saladah sebelumnya, karena Dead Forest si hutan mati gersang dan kering. Perlengkapan "musim dingin" nggak berlaku di sini. 
 
Laksmi Dewanti Haryanto Riry, the road is always further than it looks. The mountain is always taller than it looks. And the journey is always, always harder than it looks...
Aku kasih tahu ya perlengkapan apa yang kamu harus bawa untuk ke trekking di gunung Papandayan. Pertama yang perlu ada di kepala berupa topi, slayer, atau payung, kacamata hitam, jangan lupa mengoleskan sun block di kulit dan lips gloss untuk menghidari bibirmu dari kekeringan. 

Berikutnya pakaian berupa kaos lengan panjang yang menyerap keringat, celana panjang, dan sarung tangan tipis kalau perlu. Kaos kaki, dan bawa juga cadangannya, sepatu trekking, botol minum dan obat-obatan pribadi. 

Berhubung banyak penjual makanan dan minuman, kamu nggak perlu membawa banyak bekal dari bawah, alat masak, kompor apalagi membawa kulkas, walaupun nggak ada larangan membawa kulkas saat mendaki gunung Papandayan. 

Kalaupun aku nggak tulis celana dalam bukan berarti kamu ke sini nggak pakai celana dalam ya. Oh, iya jangan lupa kantong kresek untuk tempat sampah. 
"Nah, itu penting banget", kata Niken. 
Dengan kantong kresek yang selalu menempel di pinggang, Nikenpun membuktikan bahwa dialah yang memunguti sampah paling banyak diantara kami selama dalam perjalanan. Salut! Ini baru yang namanya pecinta alam. 


Aku lanjutkan  ceritanya, akhirnya kami sampai di bibir Dead Forest berupa jalanan menurun yang curam, tapi nggak usah khawatir turunan yang terjal nggak panjang. Di sini ada beberapa pohon yang rindang yang bisa dibuat tempat berteduh. 

Getting to the top is optional. Getting down is mandatory. - Ed Viesturs 
Berhubung rombongan ini banyak emak-emaknya, awalnya kami ragu-ragu dan kepikiran untuk kembali ke Pondok Saladah dan melewati jalur yang sama saat mendaki artinya kami harus memutar, no way!, jauh banget soalnya. Namun setelah dijalani nggak terlalu sulit. 

Dari sini kembali ke Pos 2, Hober Hoet paling cuma 20 menit, yang lama justru ngumpulin niatnya. 

Bagaimana nih emak-emak berbaju dayak dan kebaya menuruni turunan yang cukup curam?, aku kasih tahu rahasianya; mereka menggunakan dengan jurus yang sama yang dipakai oleh si hantu kondang, Suster Ngesot. 
 

Crossing the unique tree bridge... — with Darmayani Utami, Ni' Ken, Ros Watini and Triadji Putut Pratikto.


Nina Adriani menulis, 
Hober Hoet, Pondok Saladah adalah sebagian tempat peristirahatan saat mendaki Papandayan. Keberadaan mereka sangat menolong kami yg lapar dan haus dalam perjalanan mendaki meski disatu sisi keberadaan mereka di ketinggian itu membuat anakku tersenyum sambil bilang "wah, cape2 mendaki udah ada tukang indomie disini" ....haha.  Tapi aku melihat dari sisi lain yg membuat hatiku terharu melihat perjuangan mereka dalam mencari nafkah sampai harus berjualan ditempat setinggi itu. Tentunya mereka bermalam disini saat musim pendakian. Terbayang dinginnya .....  Semoga Allah SWT meridhoi usaha kalian. 
04.30 -06.00  Berburu matahari terbit, puncak Welirang 
06.00-07.00   Pos 2, Hober Hoet, ngopi, ngeteh dan sarapan 
07.00-09.30   Pos 3, Pondok Saladah, Camping Area, brunch, sarapan lanjutan 
09.30-11.00   Pos 4, Tegal Alun, Foto dengan Edelweiss  
11.00-12.30   Dead Forest 
12.30-13.30   Pos 2, Hober Hoet, ngebakso, tempura alias gorengan 
13.30-14.30   Pos 1, Camp David, beberes tenda

Tidak ada komentar: