Sabtu, 23 Mei 2015

Bermain Siluet di Gunung Papandayan



Dari pinggiran kota Garut kami mulai dikawal vooreijder, serasa jalanan punya sendiri, mendengar bunyi, “Nguing … nguing ….”, kendaraan lain menepi, namun sang supir Elf membatasi kecepatan kalau nggak bisa-bisa kami terombang-ombing, coba yang diangkut Elf berupa sayur pak supir bisa tancap gas dengan kecepatan 200 km/jam, walau kecepatan maksimum Elf cuma 120, emang bisa?.


Pengawalan nggak kami minta, tapi semua kawan ingin membantu, ya apa boleh buat “Nggak ada akar, rotanpun jadi”.

Sampai Camp David, kawasan perkemahan, sudah berdiri 4 buah tenda kami, berikut isinya, Nina, Adip dan Igar, emak dan anaknya, serta Amy, Dedes, dan Yani, yang menjadi tim advance

Aji satu per-satu mengeluarkan peralatan memasaknya yang menjadikan kami malam ini mengusir dingin dengan dengan kopi, jahe dan minuman hangat lainnya.


Semua orang mengaku nggak bisa tidur termasuk Furqon, padahal dia asyik mendengkur di tendaku.
“Eh, siapa tuh yang ngorok”, terdengar suara dari tenda lain.
“Bukan gue!”, jawabku yang takut dituduh mendengkur padahal tidur aja nggak.
Kami semua tertawa, lebih tepatnya tertawa sedih nggak bisa ikutan tidur.

Pukul 3.30 pagi kami sudah bersiap mendaki, percuma juga dipaksain tidur, nggak bakalan bisa karena si udara dingin terus menggoda. Eh, kang Dani, sang pemandu alias vooreijder untuk urusan naik gunung datangnya jam 4.30. Pemandu yang warga lokal dibutuhkan untuk meningkatkan safety factor, karena kami bukanlah pendaki berusia muda.

Beberapa menit berjalan tiba waktu subuh, kami shalat subuh berjamaah bergantian. Sebagai pecinta alam, kita nggak boleh mencintai alam aja, tetapi haruslah mencintai pencipta dan penjaga alam ini, Tuhan pencipta langit dan bumi beserta isinya.

Warna horizon berubah pertanda sang mentari segera terbit, saat yang kami tunggu. Sang vooreijder menunjukan tempat yang paling bagus, puncak Welirang, untuk memandang benda langit yang bernama matahari, itu untungnya menggunakan pemandu, jadi kami bisa mendapatkan foto siluet yang bagus seperti ini.


Kamu pasti ingin tahu berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk bisa sampai ke Papandayan, kira-kita satu orangnya 300 ribu rupiah untuk pantungan Elf, termasuk pemandu 400 K, tiket masuk aku lupa, nggak bayar soalnya gara-gara dikawal tentara si pejaga tiket nggak berani minta, tangannya hanya memberi aba-aba ke mobil kami untuk melanjutkan perjalanan, bukan kami niat nggak bayar loh!.

Rombongan kami berjumlah 18 orang, emak, bapak, anak, teteh, nenek. Ini bukan iklan ya, karena memang beneran ada Riry yang sudah jadi nenek. Kami, Smandelers, adalah alumni sekolah terbaik di Indonesia, SMA Negeri 8 Jakarta, almamaternya anak ranking. Smandelers trekking bersama anak kami dengan sebutan Boyband, Prita, Budi, Adip, Igar, Andri dan Annissa.


Angkatan yang paling muda 1983 Nina, Riry, Betty, Furqon, Niken, Dedes, Amy, Yani, Aji dan istrinya Wati sedangkan aku sendiri tahun 1981 lulusnya. Kami semuanya berumur di atas 50 tahun. Jadi jangan remehkan kami karena kami bukan pendaki baru, kami adalah pendaki lama, bahkan lama banget …………… yang lama banget nyampenya!.

1 komentar:

nina adriani mengatakan...

hahaha.....Laaaaamaaaaa amat nyampenya
Kang Deny hanya senyum waktu ditanya pernah bawa group kayak gini nggak. Jawabnya justru "nggak apa-apa" ......hahaha
Kalau anakku bilang "wah, kudu manasin lagi nih" .... setiap kali habis istirahat lama .....hahaha