Sampai di Yogyakarta agak
terlambat mungkin karena penumpang keretanya berisik jadi jalannya pelan. Percaya nggak
di kereta ber-AC kami sempat keringatan. Gara-gara AC mati, atau dimatikan, siapa tahu
si petugas kesal karena kami terlalu berisik sudah begitu jarang yang jajan
soalnya makanan dan minuman lengkap kami bawa dari Jakarta.
Panitia Yogyakarta berbaju
merah menyambut, mereka para pembual besar nggak menepati janji, tega-teganya
mereka menipu kami!!!. Mana karpet merahnya … !!!.
|
Kami nggak langsung menuju
Soto Kadipiro sesuai yang tertera dalam jadual acara tetapi menuju Wisma Bimo
tempat panitia penyambutan menginap, memberikan kesempatan kepada kami untuk
bersih-bersih. Pemilik wisma sudah bisa diterka seorang purnawirawan berbintang,
beberapa foto ukuran besar terpampang di ruang makan bahkan ada juga yang
bercokol di teras.
Aku menawarkan baju merah
kepada Aria, diapun menjawab, “Gue udah bawa, gue sangka warnanya harus polos”.
Jadilah si baju merah
ngeberat-beratin bawaanku.
Di meja saji tersedia nasi
gudeg dengan setoples plastik besar kerupuk kampung, aku ambil separuh kerupuk, enak
banget. Aku bolak-balik ke meja saji sampai lebih dari 5 kali, akhirnya aku
putuskan mengambil 2 sendok nasi putih, sesendok gudeg, sesendok sambal kerecek,
separuh telur, dan sesuir besar ayam, separuh kerupuk dan segelas teh hangat.
Masa sih sampai Jogja nggak makan gudeg. Kalau nanti kekenyangan sarapan Soto
Kadipiro, itu mah urusan ning buri.
|
Waktu aku bergudeg-ria, beberapa kawan masih rebutan kamar mandi, aku nggak perlu antri seperti itu, aku kan the O. Maksud lo!
Saat tiba aku langsung bertanya
kepada penjaga wisma.
“Kamar mandinya di sini”,
penjaga wisma memberi-tahu. Tanpa melepas ransel aku menuju kamar mandi, kloter
pertama, nggak pakai antri. Guyuran pertama membasahi kepala, rasanya segar
banget. Gantungan baju di pintu kamar mandi pakunya copot satu karena nggak kuat
menahan beban ransel. Cerminnya sombong.
“Mirror … mirror on the
wall, siapa orang yang paling ganteng?”.
Si cermin tidak menjawab.
“Cermin … cermin di
dinding, siapa orang yang paling ganteng?”.
Tetap tidak menjawab,
jangan-jangan cerminnya budeg gara-gara kebanyakan makan gudeg, aku ulangi sedikit lebih
keras.
“Cermin … Cermin Di
Dinding, Siapa Orang Yang Paling Ganteng?.
Tetap nggak menyahut.
Aku nggak putus asa, aku
coba sekali lagi.
“Koco … koco nang dinding,
sopo sing paling ayu?”, loh kok ayu sih aku menyebutnya, maklum bukan orang
Jawa.
“Sampeyan …”, jawabnya. Ternyata
cerminnya asli Jogja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar