Nggak semua kawan
menghabiskan pagi hari mereka menemaniku mencari gituan di Malioboro, ada yang
asyik berburu tas Dowa, ada yang lebih suka main benteng-bentengan di Vredeburg, dan ada
yang memilih meyeruput kopi dalam naungan SCC, Smandel Coffee Club. Foto-foto
ini bisa menggambarkan selera mereka.
Sambil menunggu semua
peserta kembali ke dalam bis yang diparkir di dekat kantor pos beberapa teman
makan bakso di tenda kaki lima, jauh-jauh ke Jogja kok makan bakso.
Kami semua menuju Huma
sebuah restoran yang dikomandani Marhaendra yang terletak di jalan Sangaji.
Restorannya menempati rumah tua dengan langit-langit yang tinggi dan tembok
yang tebal, persis rumah masa kecilku di Berlan, rumah zaman kolonial.
Aku memesan steak iga sapi
yang rasanya enak banget, kamu jangan kaget kalau aku menyebutkan harganya yang
18 ribu per porsi, sedangkan minuman aku pilih jus alpukat dan teh es.
Setumpukan flash disc di
meja tempat Eneng, Aria, Heppy dan Dea yang tengah mengunduh foto ke dalam
gadget untuk selanjutnya di-copy ke dalam flash disc yang bejibun itu, pasti ada
yang diprioritaskan, dan aku nggak perlu khawatir karena flash disc-ku
didahulukan. Bukan apa-apa, ini perkara narasi, foto-foto kan perlu narasi biar
lebih berbicara, ya nggak?.
Kawan SMPku, Yani Wage,
ikut nimbrung di Huma, ketika kembali kami diberikan sekardus aneka keripik,
tenkyu banget. Kami juga ngasih tengkyu kepada Ira yang meneraktir di Huma.
Aku berputar dari ruangan
ke ruangan karena meja makan kami terpisah di beberapa ruangan, untuk mendapat
cerita yang pantas aku masukan ke dalam blog, kudapat dari Didut.
“Men, elo masih inget
nggak guru menjahit?”, Didut bersedia membuka aibnya.
“Gue mana tahu? Laki-laki
kan nggak dapet pelajaran menjahit”, belakangan kami ingat bahwa guru yang
dimaksud ibu Anidar.
Hari itu bu Anidar
mengambil nilai daster yang dibuat masing-masing murid, dipanggil sesuai nama
dalam buku nilai dari atas ke bawah, giliran Diah Krisdianti kok dilompati, “Ada
yang nggak beres?”, Didutpun mengendap-endap ke samping meja guru, yang nggak
beres ternyata menguntungkannya karena persis di samping namanya tertulis nilai
7 koma 5. Dia tersenyum, karena yang nggak beres ternyata terlalu beres.
Didut kembali ke mejanya
untuk memasukan satu per-satu potongan daster yang belum dijahit, potongan itu
yang tadinya dipasrahkan untuk dinilai, paling nggak ibu Anidar memberikan
ongkos menggunting, dengan pola yang nggak tahu siapa yang buat.
Didut berdiam diri, diam adalah emas, sambil bertanya dalam hati, siapa yang berbaik hati meberikan nilai
daster untuknya.
Sekarang giliran Liza
dipanggil ibu Anidar.
“Liza Soenar”.
“Bu, kan tadi daster saya
sudah dinilai”.
Oh, rupanya nilai daster
Liza masuk ke tempat Didut, akhirnya daster Liza dinilai ulang dan mendapatkan
nilai 7.
“Liza pinter ngejahit dong
Dut!”.
“Semua orang bilang
begitu, tapi elo tahu sendiri kan Men, Liza dipanggil Okem, mana bisa dia ngejahit!.
Dia nyuruh pembantunya ke penjahit di pasar Cijantung sambil ngebilangin, mbak
bilangin sama penjahitnya jangan bagus-bagus takut nanti ketahuan”.
Diah Krisdianti Men... gw mesti berterima kasih sama Liza.... mana mesin jahitnya yang pake kuno pula.... mana kubisa....2 hours ago · · 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar