Pukul 10 malam sudah lewat,
mata sudah suam-suam kuku, posisi tendaku dekat dengan bale-bale yang
tadi ditiduri Gembel, bisa terbayang akan susah tidur karena dekat
bale-bale tempat nongkrongnya angkatan 85 dan 86, pasti bakalan berisik.
Ternyata dugaanku salah, mereka tertib kok kalau soal tidur.
Acing
dan Titi datang lagi kali ini membawa sebuah tempat nasi berisi nasi
pepes dan beberapa asesoris berupa lalapan, sambal, ayam goreng dan
rendang JENGKOL. Kenapa aku tulis jengkol dengan huruf kapital nanti aku
kasih tahu deh. Jangan khawatir aku baik kok orangnya.
Kecuali
mentimun bawaan Acing dan Titi yang lain tidak aku jamah maklum sudah
kenyang. Kucluk-kucluk mereka pulang tanpa lupa berpamitan.
Aku
menyempatkan diri ke musholah untuk menyikat gigi dan menunaikan Isya
melewati (dulunya) cewek-cewek angkatan 80 yang asyik berjoget selama 2
jam walau lagu yang diputar itu-itu juga. Mereka berhenti berjoget
gara-gara musiknya dimatikan oleh Yudis ’85 karena sudah jam 12 lewat.
Aku tidak berani mendekat karena mereka bukan muhrim. Cieh sok alim!
Itu emak-emak tidur? Nggak bok! Mereka ngoceh sampai pagi, mungkin gara-gara mereka memakai batere alkalin.
Jarak
tenda mereka dengan punyaku cukup jauh jadi berisik mereka nggak
terdengar, aku masuk tenda suasana sudah sunyi, bahkan dengkur di tenda
tetangga, PinkQ, Gopang ’85 dan anak-anak tidak terdengar mungkin mereka
belum tidur atau mendengkurnya bisik-bisik.
Matras
sudah aku gelar, kantong tidur sudah siap, bantal angin sudah kutiup,
pintu tenda sudah aku tutup, tinggal mata dipejamkan dan menghitung
domba. Kali ini domba-dombaku tidak mengembik tetapi bersuara,
“Jreennnnk ....!”. Bukan karena si domba tercekik tetapi yang barusan
aku dengar rupanya suara dawai gitar listrik Idrus ’80 mulai dipetik.
Suaranya ngejreng
banget sebab jaraknya lebih dekat daripada titik pinalti ke tiang
gawang, sudah pasti gol apalagi kalau yang menendang Fernando Torres.
Masih ditambah suara Iik ’82 dan Fifi ’91 yang menyanyi memakai mik.
Jujur aja suara mereka kadang-kadang bagus.
Jam
3 pagi mereka berhenti, kalau sudah jam segini aku nggak bakal bisa
tidur. Subuh tiba haripun mulai terang. Badanku terasa remuk karena
nggak bisa tidur, tetapi aku masih bisa tersenyum bila membayangkan suasana di tenda Pipi yang persis di depan moncong speaker.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar