Pedagang oleh-oleh khas
Banten diboyong ke pabrik batik sehingga kami tidak usah susah-susah mencari
buah tangan, aku sempat membeli 2 buah sate bandeng ternyata hanya itu otak-otak
bandeng yang tersisa.
Dari lokasi batik kami
menuju restoran taman dengan berjalan kaki, kuat? Iyalah, Cuma 20 meter sudah
sore pula. Dua acara terakhir ini diadakan gara-gara aku protes ke bunda.
Begini nih, si bunda mengirimkan itinerary ke panitia melalui email, aku sendiri
nggak tahu mengapa aku juga dikirimi padahal aku bukan panitia apalagi bunitia.
Kelihatannya mereka cuma manggut-manggut,
seminggu kemudian mereka masih manggut-manggut, nggak tahan aku sampaikan
keberatan, “Neng, pulangnya kecepetan!, masa masih sore udah sampe Jakarta,
paling cepet pulang dari Serang abis magrib”.
Ternyata bacotku menyuarakan
bacot hati kawan-kawan, waktu di bis saat pulang mereka berharap jalan macet
terus sampai Jakarta, supaya bisa berlama-lama bercengkerama.
Di restoran taman kami
makan icip-icip, sate ayam, sate bebek beserta lontongnya, nasi sumsum, dan
bakso. Icip-icip kok banyak banget!. Semuanya enak terlebih sate bebek, sayang baksonya
nggak enak.
Aku curiga baksonya
bakalan nggak enak sejak pramusaji meraciknya. Daun sawi dan toge tidak direbus
tetapi hanya disiram dengan kuah bakso yang suam-suam kuku, jadi yang aku makan
sayuran mentah. Kalau ini kuliner baru aku akan menamakannya selada bakso,
bukan berarti setelah aku namakan makanan ini menjadi enak.
Sebelum matahari jatuh
kepelukan malam, kami berfoto berjamah yang dilakukan oleh Wawan Gumay Senja,
dan seperti biasa banyak titipan kamera gurem. Saat kamera gurem beraksi, gaya
kami gurem juga, kalau kamera serius sudah pasti kami serius juga.
Aku berpesan untuk
mengacungan jempol pada pose terakhir, saat itu tiba Wawan sang photographer
berkata, “Ini yang terakhir”, seolah mengintruksikan, “Mana jempolnya …, mana
jempolnya …”.
Jadinya keren ya!.
Untuk acara berikutnya
bagaimana kalau aku usulkan berpose dengan gaya, “Mana mata genitnya …, mana
mata genitnya …”, sambil ngedip-ngedipin mata. Aku yakin Neni ’87 pasti ngiri.