Dari pinggiran kota
Garut kami mulai dikawal vooreijder, serasa jalanan punya sendiri, mendengar
bunyi, “Nguing … nguing ….”, kendaraan lain menepi, namun sang supir Elf
membatasi kecepatan kalau nggak bisa-bisa kami terombang-ombing, coba yang
diangkut Elf berupa sayur pak supir bisa tancap gas dengan kecepatan 200
km/jam, walau kecepatan maksimum Elf cuma 120, emang bisa?.
Pengawalan nggak kami
minta, tapi semua kawan ingin membantu, ya apa boleh buat “Nggak ada akar, rotanpun
jadi”.
Sampai Camp David, kawasan
perkemahan, sudah berdiri 4 buah tenda kami, berikut isinya, Nina, Adip dan Igar, emak
dan anaknya, serta Amy, Dedes, dan Yani, yang menjadi tim advance
Aji satu per-satu
mengeluarkan peralatan memasaknya yang menjadikan kami malam ini mengusir dingin dengan
dengan kopi, jahe dan minuman hangat lainnya.
Semua orang mengaku nggak
bisa tidur termasuk Furqon, padahal dia asyik mendengkur di tendaku.
“Eh, siapa tuh yang
ngorok”, terdengar suara dari tenda lain.
“Bukan gue!”, jawabku yang takut dituduh mendengkur padahal tidur aja nggak.
Kami semua tertawa, lebih
tepatnya tertawa sedih nggak bisa ikutan tidur.
Pukul 3.30 pagi kami sudah
bersiap mendaki, percuma juga dipaksain tidur, nggak bakalan bisa karena si
udara dingin terus menggoda. Eh, kang Dani, sang pemandu alias vooreijder untuk
urusan naik gunung datangnya jam 4.30. Pemandu yang warga lokal dibutuhkan untuk
meningkatkan safety factor, karena
kami bukanlah pendaki berusia muda.
Beberapa menit berjalan
tiba waktu subuh, kami shalat subuh berjamaah bergantian. Sebagai pecinta alam,
kita nggak boleh mencintai alam aja, tetapi haruslah mencintai pencipta dan
penjaga alam ini, Tuhan pencipta langit dan bumi beserta isinya.
Warna horizon berubah
pertanda sang mentari segera terbit, saat yang kami tunggu. Sang vooreijder menunjukan
tempat yang paling bagus, puncak Welirang, untuk memandang benda langit yang bernama matahari, itu untungnya menggunakan
pemandu, jadi kami bisa mendapatkan foto siluet yang bagus seperti ini.
Kamu pasti ingin tahu
berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk bisa sampai ke Papandayan, kira-kita
satu orangnya 300 ribu rupiah untuk pantungan Elf, termasuk pemandu 400 K,
tiket masuk aku lupa, nggak bayar soalnya gara-gara dikawal tentara si pejaga
tiket nggak berani minta, tangannya hanya memberi aba-aba ke mobil kami untuk melanjutkan perjalanan,
bukan kami niat nggak bayar loh!.
Rombongan kami berjumlah
18 orang, emak, bapak, anak, teteh, nenek. Ini bukan iklan ya, karena memang
beneran ada Riry yang sudah jadi nenek. Kami, Smandelers, adalah alumni sekolah
terbaik di Indonesia, SMA Negeri 8 Jakarta, almamaternya anak ranking. Smandelers trekking
bersama anak kami dengan sebutan Boyband,
Prita, Budi, Adip, Igar, Andri dan Annissa.
Angkatan yang paling muda
1983 Nina, Riry, Betty, Furqon, Niken, Dedes, Amy, Yani, Aji dan istrinya Wati sedangkan
aku sendiri tahun 1981 lulusnya. Kami semuanya berumur di atas 50 tahun. Jadi jangan remehkan kami karena kami bukan pendaki baru, kami adalah pendaki lama, bahkan lama banget ……………
yang lama banget nyampenya!.