Pada setiap kesempatan aku
berusaha mendapatkan cerita lama yang penuh kenangan untuk aku tuliskan. Katanya
yang diucapkan menghilang, yang dituliskan abadi.
Sekarang aku mau berbagi
cerita yang aku dapatkan di acara Temu Jidad Apadela HBH 2012, pertemuan yang
berbandrol 10 ribu rupiah. Bercanda terus lama-lama perut lapar, kawan-kawan
pada bilang, “Men, kita nggak mesen makan nih?”.
“Lah, bayar 10 ribu kok
pake makan!”.
Sambil menikmati sapi lada
hitam aku bicara dengan Syamsi, “ Syamsi, cerita di kereta waktu kita study
tour ke Jogja gue masukin blog ya?”.
“Eh, jangan! Nanti di
kantor pada ribut, aku jadi ketahuan dulunya gimana?”.
Waduh, menunggu Syamsi pensiun
masih lama, 5 tahun lagi.
Untunglah Syamsi penuh
pengertian, dia mau membarter cerita dengan yang nggak kalah serunya, semuanya
tertawa ketika mendengarnya. Kini giliran kami berbagi tawa dengan kamu.
Di angkatanku 81, ada 2
orang yang memiliki ranking tertinggi, Hasahatan dan Sugiarto. Kebetulan Syamsi
berhubungan dekat dengan Sugiarto, dia punya kesempatan mencontek habis si
orang pandai ini. Pernah Syamsi menginap selama seminggu di rumah Sugiarto
untuk menjiplak cara belajar, cara makan, cara tidur bahkan cara mandi
Sugiarto.
Nggak cukup sampai di situ, kali ini mereka
pulang bersama berjalan kaki dari sekolah ke rumah Sugiarto di gang Padang, aku
menduga Syamsi tengah meniru cara berjalan Sugiarto.
“Jalan Padang deket dong!
di Manggarai!”, aku berkomentar.
“Itu mah jalan Padang!,
ini gang Padang di deket stasiun Jatinegara”,Syamsi menimpali.
Dari rumah Sugiarto
perjalanan dilanjutkan sendirian ke rumahnya di Prumpung.
“Tahu nggak Prumpung di
mana?”, pertanyaan Syamsi untukku.
“Gue nggak tahu”.
“Prumpung tuh di
Cipinang!”, Syamsi menjelaskan.
Dari jalan raya Syamsi
harus menyusuri gang sepanjang 500 meter sebelum sampai di rumahnya. Perjalanan
panjang di bawah terik matahari sudah pasti membuatnya dahaga. Secara logika
kita akan menuju kulkas untuk mendapatkan minuman dingin, tetapi tidak
dilakukannya soalnya Syamsi nggak punya kulkas. Ternyata ada juga anak Apadela
yang nggak punya kulkas.
Karena ngak punya kulkas
kebiasaan di rumah Syamsi adalah air masak yang sudah dingin dipindahkan dari
ceret ke dalam panci, ceret digunakan untuk memasak air lagi.
Nggak mungkin dong
kehausan dan kepanasan justru minum air panas, sakin hausnya Syamsi langsung
menerjang isi panci dan meminumnya. Tapi kok rasanya aneh!.
Dilihat … airnya kok
butek!.
Diteliti … kok ada
gumpalan merah dan ada sedikit darah. Yak!.
Syamsipun bertanya kepada
sang bunda tercinta.
“Mak, yang di panci air
apa?”.
“Syamsi itu air mentah,
air itu untuk masak daging!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar