Setelah ishoma di rumah Tatik, kami melanjutkan perjalanan menuju
Cipanas untuk berendam air panas. Kebetulan arah yang dilalui melewati sentra
kulit Garut. Rike yang mewakili Bupati Garut berkata, “Pada mau mampir beli
kerajinan kulit nggak?, mumpung kita lewatin”.
Gayungpun bersambut.
Kebetulan aku lagi butuh sepatu formal karena sepatu kulitku mangap,
sedangkan sepatu yang lainnya hilang satu gara-gara jatuh dari mobil. Oalah, bisa-bisanya jatuh dari mobil.
Aku beruntung ditemani orang yang punya Garut, Rike, nggak tahu deh
pedagangnya kalau melihat Rike harganya jadi murah, sayangnya sepatu nomor 43
nggak ada. Kasihan deh.
“Mas Omen, mas Omen ...., harganya murah banget!”, komentar Indil yang mendapatkan tas dan
jaket kulit warna merah Ferrari. Beli jaketnya dulu abis gitu beli mobilnya ya
Indil. Nggak dapat sepatu kulit akhir aku hanya beli kerupuk kulit.
Kawan yang lain nggak kalah gesit berburu kerajinan kulit, ada yang bertigaan
beli sedal kulit yang sama, Nilam, Rosana dan Mundi. Seketika kaki mereka naik
kasta dari bersandal jepit kini bersandal kulit.
Nggak terasa sudah lebih dari 10 jam meninggalkan Jakarta, kawan-kawan
tetap semangat dan tidak terlihat lelah. Tidak menggantuk apalagi tertidur. Kalau
nggak percaya ini buktinya, mereka tetap bugar kan?.
Matahari sudah hampir tenggelam dan hujan rintik-rintik menemani kami
memasuki tempat pemandian air panas milik hotel Tirta Gangga dengan bandrol 25
ribu seorang, baik berenang atau jaga Pos 1, alias jaga barang. “Aku aja yang
jaga Pos ! karena aku lagi nggak berendem”, kata NinAd. Itulah Ilalang Smandel,
di mana-mana selalu rebutan jaga Pos 1.
Tempat berendamnya ada beberapa dengan temperatur yang berbeda, kolam
renang dengan air suam-suam kuku, kolam kecil yang airnya panas banget ketika baru
menyelupkan anggota badan, setelah beradaptasi rasanya mantap banget, pegel-pegel
bisa hilang. Ada pula pancuran yang memancarkan air panas dari atas dan ke arah
punggung, serasa dipijit jadinya. Buat yang malu-malu kucing bisa berendam di
dalam bilik rendam.
Selesai beredam aku ke kamar ganti lengkap dengan ranselku, ada 4 buah
kamar mandi dan harus mengantri. Antri!!!, nggak juga, antri belum menjadi
budaya negeri ini. Ketika aku menyiapkan shampo dan sabun cair, tiba-tiba kamar
mandi giliranku disambar orang lain.
Aku siap-siap jangan sampai diserobot lagi, bener juga ada yang
nyerobot, kini karakter anak Berlan aku tunjukan. “Pak, rasanya saya duluan deh
yang ngantri di sini”.
Tuh orang, buka kunci kamar mandi, keluar untuk memberikan kesempatan
kepadaku.
“Berani juga loh Men!, namanya
juga anak Berlan!”.
“Bukan begitu kawan, tuh orang badannya jauh lebih kecil”.
Buat semuanya aku kasih tahu ya Arief selesai berendam nggak mandi, dia
ganti baju aja, “Gue ganti baju aja, semua barang gue bawa, odol, shampo,
sabun, kamera, gitar, sound system, eh handuk gue nggak bawa”, tutur Arief
kepadaku.
Ketika aku beberes di Pos 1, nggak sengaja sebuah payung kesenggol
tanganku dan jatuh, aku pungut dan bertanya kepada Dhyta yang berdiri di
sampingku, “Dhyta, yang jatuh ini payung siapa?”.
“Punya Indil, udah elo tarok aja di sini”, sambal tangan kanannya
menepuk meja.
“Bukan gitu!, ini payung jatohnya pas di jari kaki gue!, sakiiiit
bangeetttt!”. Sakitnya tuh di sini!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar