Hapeku berbunyi, Azwardi tertera, dia mau ke rumah Oeoen tapi nyasar
sampai Cinere, aku nggak ngerti daerah sini, aku kasih Oeoen aja untuk memandu.
Selain Azwardi ada beberapanya yang tiba-tiba nongol, Made, salah satu diantaranya.
Sehabis shalat Zhuhur berjamaah, rombongan 1983, NinAd, Sita, Furqon, Betty, dkk membesuk rekannya di
rumah sakit, Dani 1980 dan keluarga ada acara lain. Sisanya lanjut dengan Jalan
Jalan Sore.
Rasanya masih kurang susah berhujan-hujanan di UI Depok, atau karena
perut sudah diisi lontong sayur lengkap dengan telur, ati, empela dan usus,
kawan-kawan masih mau jalan jalan sore di Setu Babakan diajak Jaya.
“Emang ada apa di Setu
Babakan?”, kalau itu yang kamau tanyakan, artinya sama dengan pertanyaanku juga.
“Setu Babakan itu danau, ada rumah Betawi yang dilestaikan, kita bisa
foto di rumah itu, kalau mau makan di sekeliling danau banyak yang jual
makanan, tapi gerobakan ya”, demikian penjelasan Jaya.
Kuliner Betawi kami rasakan bukan di Setu Babakan tapi agak keluar dari
lokasi, kasihan Azwardi nanti dia tersinggung masa meneraktir kita makan
gerobakan. Nggak lengkap kalau nggak minum bir pletok.
Berhubung akhir pekan Setu Babakan ramai dengan pengunjung, tempat
rekreasi yang murah karena nggak pakai bayar kecuali biaya parkir ke tukang parkir
tak resmi.
Di danau tersedia sepeda air dengan badan sepeda air berbentuk bebek,
naga, kelinci dan binatang lainnya, sayang nggak ada yang berbentuk onta, kalau
ada aku mau menaikinya.
Jajanan Betawi banyak tersedia di sini, kue rangi yang panas keluar dari
panggangan di hargai 4.000 rupiah per loyang. Kerak telor pastinya ngggak
ketinggalan. Jajanan dari zaman Jakarta
masih bernama Batavia atau bahkan Sunda Kelapa juga ada, seperti sagon, kembang
goyang, rengginang dll.
Minumannya selain bir pletok ada es selendang mayang, Betawi banget ya!.
“Budaya Betawi nggak lengkap kalau
nggak ada ondel-ondel, bisa ngibing bareng nggak di Setu Babakan, bisa nonton ondel-ondel nggak di sana?”.
“Nggak perlu, ondel-ondelnya bawa sendiri”.