Selepas makan nasi liwet,
bukan berarti acara berakhir, masih ada satu acara lagi yaitu makan duren.
Sementara banyak kawan yang mengeluh karena sudah terlanjur kekenyangan, aku justru senang
soalnya di perutku masih tersedia satu kapling lagi, sudah pasti untuk si
duren.
![]() |
With Riry Syarifah. |
Adalah Prio yang bersedia
untuk membeli duren diantar oleh Agus supirnya Azis, kawan yang lain terima
bersih, sudah mager alias malas gerak.
Prio yang ditunggu nggak
pulang-pulang, mungkin di tengah jalan bertemu dengan bang Toyib, jadi dia
nggak mau pulang. Namun
Prio punya alasan mengapa dia lama banget, rupanya berhubung disupirin Prio cuma
duduk manis, nah si supir nggak tahu jalan, dia main asal jalan aja rupanya
jalan yang dilalui memutar, eh nongolnya ke rumah Pamela lagi.
Menunggu lama nggak
percuma sebab duren yang dipilih Prio semuanya bicara manis. Kata Azis dari 15
duren yang dibeli ada 20 yang manis. Nggak usah protes!, namanya juga lulusan
IPB, Institut Pesantren Bogor.
![]() |
Lupa semuanya .....nyem...nyem |
Tatik dan Andy sudah
pulang duluan, maklum Tatik harus segera kembali karena rumahnya paling jauh,
di Garut. Sementara beberapa yang lain nggak bisa pulang gara-gara mobil mereka
terhalang mobil Prio. “Nggak jadi pulang …!, nggak jadi pulang ….!”, ejek Riry sambil
bergoyang pinggul.
Walaupun nggak bisa pulang,
mereka tampak senang bisa merasakan duren yang enak beeng.
Selesai makan duren Prio
dan Yani, melakukan ritual, yaitu mencuci mulut dengan wadah kulit duren. “Tuh
kan langsung ilang bau durennya”, kata Prio.
Aku ditawari Prio untuk
mencoba, tapi aku nggak lakukan soalnya selama ini abis makan duren terus makan
camilan itu bau duren hilang dengan sendirinya, lagian kayak kelenik aja
kumur-kumur dengan kulit duren.
Eh, jangan salah rupanya
banyak klenikers di Smandel, Azis ngajarin minum kopi yang dicelupin duren,
boleh dibilang kelenik modern. Nina ngasih tahu keleniknya, abis makan duren
terus minum susu. Nah, biar nggak dibilang sok alim, aku coba klenik minum
susu.
Sebelum pulang Sita
menawarkan aku pisang rebus, pastel, manggis selalu aku tolak dan aku jawab, “Nggak
ah udah kenyang”. Rupanya tawaran itu bukan untuk dimakan di tempat tapi untuk
dibawa pulang, wah rugi gue!.
Untung masih ada tawaran
berikutnya dari Sita, nggak boleh aku sia-siakan.
“Men, mau risoles nggak?”.
“Mau dong!”.
“Mau berapa?”.
“Empat aja”.
“Nggak boleh empat,
soalnya empat genap, harus ganjil”.
“Harus ganjil ya!, kalau
gitu risolesnya dua puluh satu aja deh!”
"Gimana mau dua puluh satu ....!!!, risolesnya tinggal lima belas!".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar