Kisah 2 sahabat yang nyaris tewas di Gunung Gede
Menuju bibir hutan pinus kami berjalan perlahan, beberapa kawan wajahnya memutih bukan karena krim pemutih tetapi karena mukanya pucat kekurangan oksigen, cerita pendakian tempo dulu bersama Apadela mencuat.
Menuju bibir hutan pinus kami berjalan perlahan, beberapa kawan wajahnya memutih bukan karena krim pemutih tetapi karena mukanya pucat kekurangan oksigen, cerita pendakian tempo dulu bersama Apadela mencuat.
Willem Teddy Usmany Maju terus Apadela...!! |
Seperti biasa ketika turun gunung
aku bersama Aria selalu bersama, kali ini kami menyapu Pipin dan Ita. Nggak
seperti biasa Deden turut menemani. Turun gunung sambil makan coklat dan
cemilan bawaan Pipin dan Ita enak banget sehingga mengundang Deden berkomentar,
“Pantesan elo sama Aria kalau turun belakangan melulu! Makanannya enak-enak”
Selalu kami mencoba jalan yang
belum pernah dilalui, “Simpangan pertama belok kanan, belokannya nggak jelas
karena jalannya baru”, pesan teman yang jalan di depan.
Kini kami berada mungkin di
simpangan yang dimaksud.
“Bukan jalannya!” kata salah
seorang dari kami.
“Tadi Sulis bilang jalannya nggak
jelas!” Aria berargumen, “Ya udah kita coba! Gue sama Deden turun. Men, elo
jagain Pipin sama Ita. Belatinya elo pegang, kali-kali ada apa-apa”, seraya
Aria memberikan belati stainless steel buatan Jerman kalau gagangnya diputar
180 derajat bisa berubah jadi pisau. Keren banget!.
Aria dan Deden menuruni “jalan
baru” yang cukup terjal, Aria sedikit berpesan “Kalau 10 menit gue nggak balik
lagi artinya ini jalan bener! Nanti elo nyusul!”
Tak berapa lama terdengar
teriakan Aria dari bawah, “Men, jangan turun! Disini jurang bukan jalan! Jalan
yang tadi gue turunin nggak ketemu, elo dimana?”
Pipin, Ita da aku bergantian
memberikan petunjuk posisi kami, Aria dan Deden berusaha kembali berpedoman
suara kami.
Tinggal sedikit lagi, suarapun Aria
berkumandang, “Men, gue nggak bisa naik lagi karena nggak ada yang bisa dibuat
pegangan, turun juga nggak bisa karena dibawah gue jurang. Tolongin gue! Gue
udah kecapean”.
“Lari Men, kejar yang turun
duluan”, Pipin meminta dengan suara panik.
“Percuma Pin, mereka lari.
Kalaupun terkejar naiknya lagi lama”
Dalam kondisi seperti ini kuncinya
"Jangan Panik!". Aku melihat sekeliling.
Jaket ada 3 kalau dibuat tali nggak cukup. Tenang! Pikir lagi!.
Ini dia! Kulihat seutas akar
muncul ke permukaan tanah mungkin karena erosi, akar yang panjang
melingkar-lingkar sebelum masuk kembali ke dalam tanah. Aku tarik kira-kira
panjangnya 5 meter, aku cabut ujungnya, tidak kuat. Untung ada belati bagus
buatan Jerman. Memotong ujungnya sulit sekali karena sang belati ternyata
tumpul dan akarnya alot.
![]() |
Berdiri dakika: Agus, Erico, Deden, Willem, Darius, Pipin, Umbul, ? duduk dan nungging: Ade, Aria, Jidong, Sulis, Azwardi, ?, Pacet, O, Gaok, Dedi |
“Sebentar, Chormen lagi motong
akar!”, suara Pipin menenangkan Aria dan Deden.
“Buruan Men, pohon kecil yang gue
pegang takut nggak tahan lagi”, Aria melaporkan.
“Men, gue tau elo suka becanda,
tapi jangan gue udah mau mati elo juga masih becanda”, pinta Deden memelas.
“Belatinya tumpul!”, reportase
Pipin akurat.
“Jangan becanda Men, buruan!”,
kini giliran suara Aria.
“Men, gue udah nggak tahan lagi!
Di bawa gue jurang”, Deden masih memelas.
Setelah 3 menit akhirnya akarpun
putus, aku tarik untuk menguji kekuataannya sebelum kulemparkan ke jurang. Akar
berpegang erat pada pangkalnya.
“Den, elo duluan”, terdengar
suara dari bawah, tak lama kulihat wajah Deden yang kelelahan.
“Kalau telat dikit gue udah mati!
Orang mau mati elo masih becanda”, Deden kesal.
Giliran Aria naik, wajahnya sama
kelelahannya dengan Deden, “Men, kalau kejadian begini lagi elo jangan pake
becanda”.
“Belatinya tumpul, elo coba aja”,
kataku sambil menyerahkan kepada mereka untuk mencoba memotong akar, dalam hatiku bukannya terima kasih malah ngomel-ngomel.
“Emang tumpul kok”, Deden bilang ke
Aria.
“Ini belati tongkrongannya keren
nggak taunya tumpul”, komentar Aria setelah mencoba.
“Men, kalau nggak ada elo, gue
sama Aria udah mati! Terima kasih ya!”, ucap Deden.
Kamipun melanjutkan perjalanan,
pasti sudah tertinggal jauh dengan yang di depan.
Tak berapa lama Deden mengoreksi
kalimat syiriknya, “Men, gue sama Aria masih hidup bukan gara-gara ditolong
sama elo, tapi karena Allah yang menyelamatkan”.
Karena kuasa Sang Maha Pencipta,
kami bisa tetap bersahabat hingga kini.
Diperjalanan kami sepakat untuk
merahasiakan kejadian tadi, khawatir kisah ini diketahui pihak sekolah,
sehingga larangan mendaki gunung semakin menjadi.
Setelah 32 tahun lebih, rahasia
aku ungkapkan melalui blog, untuk itu maafkan aku ya Aria, Deden, Pipin dan Ita
kalau rahasia kini terkuak.
Kalau dipikir jaket, baju dan celana
kami bisa disambung menjadi seutas tali, tapi masa sih aku meminta Pipin dan
Ita menanggalkan pakaian mereka. Sebetulnya sih nggak apa juga, kan dalam keadaan
darurat!.
Chormen Omen Rasanya ikut, tapi turun duluan bareng Erico, Agus, Sulis dan anak kelas 1 IPA 811 hours ago ·
Chormen Omen Rasanya ikut, tapi turun duluan bareng Erico, Agus, Sulis dan anak kelas 1 IPA 811 hours ago ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar