Begitu asyiknya ngupi-ngupi di Pomegranate Café sampai lupa kalau tak
lama lagi matahari mulai terbenam padahal acara berikutnya menonton tari Kecak,
Mau ke Uluwatu atau Batubulan kejauhan, cari aja di sekitar Ubud, dapatlah di
salah satu Puri yang mempertunjukan tari Kecak setiap Kamis malam.
Tari Kecak kali ini agak berbeda, Kecak Misbar namanya, lakonnya tentang
Rama dan Shinta. Aku awalnya agak malas-malasan menontonnya, mau menunggu di
mobil kelamaan, akhirnya aku ikutan menonton sendratari yang berbandrol 75 ribu
per orang, berempat dengan Inka, Karra dan Karris. Apalagi aku belum pernah
menyaksikan Kecak Misbar.
Penotonnya nggak banyak, hanya kursi bagian depan yang ditata berbentuk
huruf U yang terisi. Sementara pemainnya ratusan. Bagi-bagi honornya bagaimana
ya?, urusan merekalah.
Cak …, cak …., cak …., rombongan pemain lelaki bertelanjang dada mulai
memadati arena, cerita Rama dan Shinta dimulai, sayang bulan purnama tertutup
awan, dan si awan semakin pekat dengan ditandai gerimis kecil.
Mailaikat yang menurunkan hujan seolah memutar tombol cuaca yang merubah
gerimis kecil membesar, aku sempat pindah duduk ke tempat yang beratap sebelum
pimpinan sendrati tari memperbolehkan penonton berbaur dengan pemain utama
berfoto-ria.
Kami menuju mobil dengan Komang yang siap di belakang kemudi, aku baru
sadar kalau kalau lakon tadi belum sampai Rama membebaskan Shinta dibantu
Hanoman. “Tariannya dipotong pak karena hujan”, Komang menjelaskan.
Aku teringat pada dahulu kala ada yang bernama bioskop misbar, kali ini
aku menyaksikan tarian Kecak Misbar, ya ada embel-embel misbar alias gerimis
bubar.
Gerimis masih menemani kami berbelanja dan memasuki kamar hotel, yang
dipilihkan dengan lokasi yang terbaik oleh sang receptionist. Paginya
pilihannya terbukti di depan kamar dengan teras yang luas bertengger kolam
renang di tepi sawah dengan padi yang merunduk, bagus banget.
Alunan musik hidup gamelan memeriahkan peresmian pura baru di hotel yang
kami diami, persis di hari Natal 2015, aku duduk di teras kamar menyaksikan
beberapa rombongan bergantian membawa sajen dan menyipratkan air suci di
beberapa tempat.
Suara gamelan Bali seolah menyeretku ke arahnya, beberapa tarian Bali
dipentaskan, bagus banget, dan gratis nggak pakai gerimis.
Beberapa pendeta Hindu berdoa di posisinya masing-masing, sesekali aku duduk di
pelataran tempat pendeta muda dengan tumpukan sajen mengelilinginya. Hari ini
puncak upacara yang digelar sejak seminggu lalu.
Seorang perempuan menyuguhkan minuman berupa teh dan kopi, pisang goreng
dan kue basah. Sudah nonton pertunjukan gratis, nggak pakai gerimis dapat
kudapan pula, asyik nggak tuh!.
Semula aku ragu mengambilnya, karena kamu tahu kan Bali selalu menjaga
keindahan. Nah, cangkir minuman ditutup dengan anyaman, apalagi kudapannya,
piring kecil dimasukan ke dalam ayaman yang cantik sekali, Bali banget pokoknya.
Itu yang membuat aku ragu dan terperangah sejenak, karena aku kira disuguhi
sajen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar