Minggu, 27 Desember 2015

Liburan Naik Kursi Roda



Cerita liburanku bersama keluarga kali ini memang sedikit agak horor, abis selain naik pesawat aku juga naik kursi roda, ini bukan bercanda loh!.


Kali ini aku hanya duduk manis, nggak mengurus tiket, penginapan dan transportasi, semuanya sudah diatur oleh sang EO, Karra, Karris dan ibu Inka. Urusanku cuma mengemas pakaianku sendiri, yang disupervisi setiap hari oleh wanita yang menemaniku berumah tangga lebih dari seperempat abad, “Udah ngepak belum?”, atau “Kok, belum ngepak juga!”, bayangkan setiap malam padahal Belandanya masih jauh!. Di malam terakhir sebelum kami berangkat ke esokan harinya, 24 Desember 2015, tugas mengemas pakaian aku selesaikan nggak lebih dari 5 menit.

Pesawat penerbangan kedua sehari menjelang Natal yang bertempatan dengan libur Maulid Nabi Muhammad SAW, terlambat satu jam. Sesampainya di tujuan sudah lewat tengah hari, mobil sewaan yang dikemudikan oleh Komang sudah menanti, “Mang, ke Ubud” kata istriku yang menjadi pelanggan Komang, putra Bali asli. Karris juga memanggil Mang tidak hanya kepada Komang tetapi kepada semua lelaki Bali yang disapanya. Emangnya di Sunda manggil Mang.


Ubud menjadi tujuan paling jauh liburan kami kali ini, selebihnya pantai-pantai di daerah selatan, Pandawa salah satunya. Jujur aja aku sebetulnya kurang suka pantai abis panas dan pliket, apa boleh buat aku nggak ikutan bikin itinerary-nya.


Selepas makan siang dengan nasi Bali, check in penginapan, mengunjungi museum Blanco, dilanjutnya dengan acara ngupi-ngupi di Pomegranate Café. Yang terakhir aku sebutkan ini mencarinya agak susah, banyak yang nggak tahu lokasinya walaupun penduduk asli Ubud sekalipun.

Untung aku membawa handphone pintar keluaran terbaru, sudah tentu cocok dengan orang pintar sepertiku. Katanya dari museum kami harus berjalan kaki, emang nggak bisa naik mobil?.
Bisa sih naik mobil tapi nggak berapa lama ketemu gang yang hanya bisa dilalui naik motor atau berjalan kaki, “Nggak salah nih?” kuucapkan pertanyaanku.


“Nggak salah pak, emang ini jalannya” begitu ucapan yang terlontar dari jawabannya. Kamu jangan buru-buru bilang, “Hebat banget HP pintarmu Men!”, karena jawaban yang kuterima tadi memang bukan dari HPku tapi dari wanita Bali yang naik motor nggak pakai helem.

Nah, jalan kakinya menurut google maps selama 21 menit, mana harus bolak-balik menyusuri jalan setapak yang di kiri dan kanannya persawahan Ubud, bagus banget, padahal keseleo di kakiku belum sembuh betul, ini salah satu penyebabnya aku sesampainya di Bandara Soetta harus naik kursi roda sampai taksi, hiks.


Sakitnya hati ini, eh sakitnya kaki ini terbayar dengan liburan menyenangkan, menapak-tilasi bulan madu 25 tahun lalu, namun sekarang bersama 2 buntut.

Nah, beberapa tahun lalu kami juga ke Bali dengan oleh-oleh kakiku pincang sesampainya rumah nggak bisa jalan, gara-gara asam urat, mungkin karena enaknya berkuliner di Bali. Berhubung itu pertama kali kena asam urat, jadi aku nggak mengira karena penyakit tetapi karena pengaruh mistis.

“Jangan nakut-nakutin gitu dong! Emang pengaruh mistis apa!”.
“Gara-gara aku nginjek sajen di Pasar Sukowati”.

Tidak ada komentar: