Cerita liburanku bersama keluarga kali ini memang
sedikit agak horor, abis selain naik pesawat aku juga naik kursi roda, ini
bukan bercanda loh!.
Kali ini aku hanya duduk manis, nggak mengurus
tiket, penginapan dan transportasi, semuanya sudah diatur oleh sang EO, Karra,
Karris dan ibu Inka. Urusanku cuma mengemas pakaianku sendiri, yang disupervisi
setiap hari oleh wanita yang menemaniku berumah tangga lebih dari seperempat
abad, “Udah ngepak belum?”, atau “Kok, belum ngepak juga!”, bayangkan setiap
malam padahal Belandanya masih jauh!. Di malam terakhir sebelum kami berangkat
ke esokan harinya, 24 Desember 2015, tugas mengemas pakaian aku selesaikan
nggak lebih dari 5 menit.
Pesawat penerbangan kedua sehari menjelang Natal yang
bertempatan dengan libur Maulid Nabi Muhammad SAW, terlambat satu jam.
Sesampainya di tujuan sudah lewat tengah hari, mobil sewaan yang dikemudikan
oleh Komang sudah menanti, “Mang, ke Ubud” kata istriku yang menjadi pelanggan
Komang, putra Bali asli. Karris juga memanggil Mang tidak hanya kepada Komang tetapi kepada semua lelaki Bali yang disapanya. Emangnya di Sunda manggil Mang.
Ubud menjadi tujuan paling jauh liburan kami kali ini,
selebihnya pantai-pantai di daerah selatan, Pandawa salah satunya. Jujur aja aku
sebetulnya kurang suka pantai abis panas dan pliket, apa boleh buat aku nggak
ikutan bikin itinerary-nya.
Selepas makan siang dengan nasi Bali, check in penginapan,
mengunjungi museum Blanco, dilanjutnya dengan acara ngupi-ngupi di Pomegranate Café.
Yang terakhir aku sebutkan ini mencarinya agak susah, banyak yang nggak tahu
lokasinya walaupun penduduk asli Ubud sekalipun.
Untung aku membawa handphone pintar keluaran terbaru,
sudah tentu cocok dengan orang pintar sepertiku. Katanya dari museum kami harus
berjalan kaki, emang nggak bisa naik mobil?.
Bisa sih naik mobil tapi nggak berapa lama ketemu gang
yang hanya bisa dilalui naik motor atau berjalan kaki, “Nggak salah nih?”
kuucapkan pertanyaanku.
“Nggak salah pak, emang ini jalannya” begitu ucapan
yang terlontar dari jawabannya. Kamu jangan buru-buru bilang, “Hebat banget HP
pintarmu Men!”, karena jawaban yang kuterima tadi memang bukan dari HPku tapi
dari wanita Bali yang naik motor nggak pakai helem.
Nah, jalan kakinya menurut google maps selama 21
menit, mana harus bolak-balik menyusuri jalan setapak yang di kiri dan kanannya persawahan Ubud, bagus banget, padahal keseleo di kakiku belum sembuh
betul, ini salah satu penyebabnya aku sesampainya di Bandara Soetta harus naik
kursi roda sampai taksi, hiks.
Sakitnya hati ini, eh sakitnya kaki ini terbayar
dengan liburan menyenangkan, menapak-tilasi bulan madu 25 tahun lalu, namun sekarang bersama 2 buntut.
Nah, beberapa tahun lalu kami juga ke Bali dengan
oleh-oleh kakiku pincang sesampainya rumah nggak bisa jalan, gara-gara asam
urat, mungkin karena enaknya berkuliner di Bali. Berhubung itu pertama kali
kena asam urat, jadi aku nggak mengira karena penyakit tetapi karena pengaruh
mistis.
“Jangan nakut-nakutin gitu
dong! Emang pengaruh mistis apa!”.
“Gara-gara aku nginjek sajen di Pasar Sukowati”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar