Penantian panjang berakhir
juga, nggak lama sepulang Temu Jidad Apadela, the Great Wall di awal tahun 2014
rencana temu jidad berikutnya di Jogja mulai digarap, makanya aku nggak ikutan
saat diajak kawan eSeMPeku, jadi kurang seru kalau ke Jogja keseringan.
Dress-code Temu Jida
Apadela, Pulang ke Kotamu 21-23 November 2014, sudah dibuat sejak lama, dan
sudah aku siapkan di lemari kapan tahu. Selepas mandi pagi aku sudah memakai
Pakaian Dinas Lapangan Apadela lalu mengemas pakaian ke dalam back-pack yang
aku masukkan ke dalam koper, biar sesampainya di Jogja kopernya beranak.
Sayangnya yang di dalam
perut belum mau segera keluar, aku pancing dengan setengah cangkir kopi,
untungnya berhasil kalau nggak bisa galau sepanjang perjalanan, dengan
konsekuensi sampai terminal Damri di Bekasi Barat sudah terlalu terang.
Waduh gawat nih jalanan
macet, kawan-kawan selalu memantau posisiku mulai dari Rawamangun, Ancol,
Terminal 1, Terminal 2, sampai Terminal 3 Bandara Soetta tempat parkir pesawat
Batik Air yang kami tumpangi. Sesampai bandara langsung menuju tempat pemeriksaan barang
bawaan, bayar airport tax, boarding, bener-bener just in time.
Lama penerbangan kami ditambah
15 menit oleh pak pilot. Pesawat muter-muter tujuh keliling di atas danau yang
belakang aku tahu bernama danau Kulonprogo. Kata pak pilot akibat padatnya
penerbangan menuju Jogja, padahal kami tahu alasan sebenarnya yaitu pesawat
selalu miring ke kiri, dimiringkan ke kanan kembali miring ke kiri lagi, musti
dibalancing di bengkel. Penyebabnya apalagi kalau bukan 3 wanita berpostur
aduhai, Anna, Ratih, dan Tatik yang
duduk di bangku bagian kiri.
Cerita seru justru aku
dapatkan di dalam bis Damri yang mengantarku ke bandara. Ceritanya begini.
Begitu bis keluar terminal dicegat calon penumpang kebetulan masih ada 2 bangku
yang kosong, disebelahku dekat jendela kanan dan satu baris di belakangku,
dekat jendela kiri. Naiklah 2 orang penumpang, sepasang suami istri. Nah, si
ibu duduk di sampingku, sang suami di tempat kosong yang lain. Tampaknya usia
mereka lebih tua dariku.
Si ibu, sebut saja namanya
Nan Tulang, meminta suaminya, sebut saja namanya Tulang, menghubungi anaknya
agar tidak perlu mengantar handuk dan sandal yang ketinggalan karena bis sudah
berangkat. Dari logat suaranya mereka berasal dari Tapanuli.
Dengan Bahasa Batak mereka
berkomunikasi, rasanya kalau aku sebulan tinggal bersama mereka aku bisa
menjadi penerjemah Bahasa Batak bersertifikat. Aku dapat menangkap isi
pembicaraan, Nan Tulang kecewa dengan Tulang yang tidak memberitahukan berita
meninggalnya saudara Nan Tulang di Sumatra Utara semalam dengan segera,
akibatnya Nan Tulang pagi ini harus tergopo-gopo terbang ke Kuala Namu dan nggak
bisa bareng keluarga yang lain.
Untungnya huru-hara tidak
berkepanjangan, apalagi sampai terjadi pertumpahan darah, kini suasana mejadi
tenang tenteram. Alhamdulillah.
Eit …! Tunggu dulu,
rupanya Nan Tulang mulai menanggis. Rasanya aku ingin membujuk sambil memeluknya,
namun aku takut kalau tiba-tiba si Tulang lantas membacokku dari belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar