Selesai makan di Soto
Gerabah, Solo, sebelum menaiki kendaraan sang pemilik Soto Gerabah menanyai
kami, bagamana kami tahu tentang keberadaan tempat kuliner ini. Syamsi yang
mewakili kami menjawab bahwa, Soto Gerabah terkenal banget sampai di Jakarta,
kami mendapatkannya setelah ngubek-ngubek internet”.
Si pemilik sudah pasti
girang banget, padahal yang sesungguhnya nggak seperti itu, ceritanya begini.
Mas Fajar, penunjuk jalan
dan merangkap supir siang ini kami minta untuk mencarikan tempat nasi liwet
yang paling top di Solo. Ada 3 tempat dan tiga-tiganya nggak ketemu, yang
pertama tutup karena bukanya cuma malam, yang kedua pindah alamat, yang ketiga
nggak ketemu karena kesasar. Ya sudah cari yang ada aja dan makanan apa aja,
berhubung sudah laper banget.
Di suatu jalan, mas Fajar
memberhentikan mobilnya di depan restoran sepi, “Cari yang lain, sepi, nggak
laku!”. Tanya tukang parkir katanya mundur 10 meter di seberang ada yang
makanannya lengkap, sepi juga dan kayak warung mak Etek di samping sekolah kami
dulu, cari lagi. Di jalan yang sama ada tulisan Soto Gerabah, tempatnya agak
terbuka dengan interior yang unik, Jawa banget!. Tempatnya sepi. Mengapa semua
tempat makan di sini sepi, namanya juga jam setengah tiga!.
Ada andong di dalam ruangan,
nggak tahu deh andong keramat apa nggak?, atau andong biasa untuk rakyat biasa,
yang pasti si andong menjadi korban narsis kami.
Soto yang menjadi andalan
di Soto Gerabah disajikan di dalam mangkuk gerabah dengan warna yang senada
dengan warna sendok dari batok kelapa dengan tangkai kayu yang disatukan dengan
anyaman bambu, unik!.
Minuman yang aku pilih es
jeruk ori, tanpa gula, istilah di sini, disajikan dalam gelas gerabah. Di atas
meja tersaji di atas piring gerabah aneka makanan bercita rasa manis yang cocok
dengan lidah orang Jawa, ada ati rempela, sate telur puyuh, sate usus yang aku
nggak jamah, kolesterol rek!. Selain itu aku coba semuanya.
Ketika ditanya sama
pelayan dengan suara halus, ciri orang Solo, “Tambahannya?”. Nah, ini dia, aku
harus jawab apa adanya.
“Kerupuk 1, tempe kering
1, batagor 1, tempe biasa 1, pergedel 1, sosis Solo basah 2, sosis Solo kering
2, dan ….. sotonya 2”. Busyet deh banyak amat!. Lahap apa Kalap?, bedanya cuma satu
huruf.
Lain lagi Syamsi ketika si
pelayan bilang, “Nuwun sewu”, eh dia dengarnya, “Neng Sewu”, pura-pura budek
apa emang budek beneran, atau karena genitnya keluar.
Berpikir positif aja lah,
mungkin karena suara orang Solo halus, jadi ngomongnya nggak jelas,
bisik-bisik apa kumur-kumur.
Kalau kamu mau ke sini,
memang agak sulit. Kamu harus kesasar dulu soalnya.