Mungkin aku orang yang
paling beruntung dalam Baksos Kacamata Smandel 81 yang bertajuk "Mata Sehat Jendela Dunia", soalnya Amita
saat memeriksa pasien cilik selalu mengucapkan, “Coba matanya lihat om yang
ganteng”, om yang ganteng dimaksud Amita tentu saja aku. Waktu aku ceritakan
kepada kawan-kawan saat di dalam bis, terdengarlah paduan suara, “Terang aja …!
Mata Amita katarak …!”.
Keberuntung masih berpihak
kepadaku, baru 5 menit menjadi asisten Amita, aku sudah mendapatkan gelar DMG
alias Dokter Mata Gadungan.
Nah, enaknya lagi, aku
nggak perlu lari-lari untuk dipotret, sebab Amita kan salah satu bintang Baksos
kali ini, kamera selalu menuju ke arahnya, kalau dia dipotret paling nggak aku
kena cipratan lampu kilatnya. Hal itu yang membuat kawan-kawan merasa aneh,
soalnya biasanya kan aku selalu ada di lapak foto mereka.
“Waduh Men, kita foto-fotoan
elo nggak ada!”.
“Bukannya elo pada seneng kalau
nggak ada gue-nya”.
“Justru sebaliknye, kalau
nggak ada elu-nya, kite-kite siapa nyang nyeritain!”.
Ilmu tentang kesehatan
mata menarik banget, Amita dengan senang hati menjelaskan persoalan yang
dihadapi pasien cilik kita.
“Anak tadi menurut
pemeriksaan seharusnya dapet kacamata, tapi aku nggak kasih, percuma soalnya saraf
matanya harus diperbaiki dulu, waktu masih kecil kena (virus) Tokso... Coba
lihat deh, mata anak ini ada (lapisan lebar) katarak, musti cepet dioperasi
sebentar lagi kataraknya sampai ke tengah padahal umurnya baru 9 tahun, nggak sesuai teori kan kalau katarak
itu penyakitnya orang tua... Anak barusan pasti nggak bisa ngikutin pelajaran
walaupun dia punya kacamata, kacamatanya masih yang 3 tahun lalu, sekarang
matanya kiri-kanan minus 10, sementara kacamatanya masih minus 3... Anak ini
masih bisa ngeliat dengan jelas tapi kasihan matanya yang kerja cuma 1, yang
kiri normal sementara yang kanan minus 6, sebentar lagi (dengan kacamata) kita
buat matanya kerja bersama-sama... Coba lihat mata kanannya sayu karena syaraf
matanya lemah”.
“Anak ini dianterin
orang-tuanya, kita sampein aja ke orang-tuanya sekalian”, saranku.
Bapak si anak seneng
banget, penyebab keluhan mata si anak kini terjawab sudah.
Ada satu anak yang matanya
normal dari pemeriksaan awal oleh Smandelers, tetapi bapaknya ngotot karena kadang-kadang
anaknya kesulitan membaca, bahkan bukunya diletakan di dekat matanya saat
membaca, akhirnya diperiksa ulang oleh crew Aini. Dari staf perempuan, sebut
saja namanya Suster, dia bilang kepadaku begini, “Dok, tadi ada anak laki-laki
waktu saya periksa pertama bisa baca, eh belakangan kesulitan, kami
berkesimpulan anak itu maling ring. Kalau mau tahu jelasnya bisa tanya dokter
Amita”.
“Maling ring?. Maling ya
maling!. Anak tadi sebetulnya matanya normal cuma pura-pura ada kelainan di
matanya supaya dapet perhatian orang tuanya ”, Amita menjelaskan.
Nggak lama setelah
pemeriksaan berakhir, Suster mendekatiku, kalimat yang keluar dari mulutnya
membuatku lemas, “Dok, 1 dari 3 berkas
pemeriksaan hilang”. Nah loh! Bagaimana mau bikin kacamata kalau berkas pemeriksaannya hilang.
Aku coba membantu mencari,
nggak lama Suster mendekatiku lagi, “Dok, berkasnya sudah ketemu”.
Kini aku mengerti apa yang
dinamakan maling ring, jangan-jangan Suster mailing ring juga!. Kok, aku jadi
ge-er sih, siapa tahu berkas tadi hilang beneran!.
Alat yang kami bawa
cangih-cangih, biar baksosnya nggak setengah-setengah. Ada alat yang namanya
aku lupa, fungsinya untuk melihat isi bola mata, ibarat mau melihat daging
kelapa yang berwarna putih kita nggak perlu membuka sabut dan membelah
batoknya, canggih ya!.
Aku meminta Amita
memeriksa bola mataku dengan alat yang baru aku ceritakan, yang hasilnya membuat jantungku hampir copot.
“Waduh, gawat!. Matanya
musti cepet-cepet dioperasi!”, suara Amita.
“Jangan nakut-nakutin gitu
dong!”.
“Ih, beneran … musti dioperasi”.
“Emang kenapa?”, sambil
menahan jantung biar nggak copot betulan.